sebuah ilustrasi sore dan seseorang. (Ist/dakwatuna)

Sore yang setiap kali menjadi suatu waktu yang begitu hangat dengan terpaan senja yang menerka, di bawah sinar-sinar jingga yang indah, sore bukan perihal apa-apa tentang kehidupan yang siklusnya selalu berputar-putar bagai bianglala. Waktu itu hari Kamis bulan Juli, tahun 1999 orang berbondong-bondong datang ke kuburan dengan wajah yang semerawut dibalut rindu di dadanya, melihat kekasih yang sudah lama tiada atau melihat batu yang bertuliskan anaknya yang telah tiada pun orang-orang tua mereka yang sudah dipanggil duluan ke surga. Hari itu tampak murung, bagi sebagian muslim menganggap bahwa kamis sore jum.at adalah sakral, waktu-waktu ritual yang di jalankan oleh orang yang beragama islam di Indonesia.

Sore itu entah dengan penafsiran apa yang ada di kepala orang-orang atau perasaan-perasaan mereka. Entah hari murung atau hari rindu yang serindu-rindunya kepada kekasih, anak, orang tua atau kakek-nenek, buyut mereka. Yang jelas hari itu menjadi hari yang setiap kuburan atau batu nisan di datangi oleh mahluk yang bernama manusia yang masih di berikan nafas kehidupan oleh maha kuasa. Orang-orang menyebutnya ziarah kubur, atau tempat peristirahatan terahkir atau ada juga yang menyebut persemayaman.

Sore itu perempuan paru baya bergegas, mengunci pintu rumah dan pagarnya. Ia di temani bunga-bunga yang sudah ia beli kemarin di pasar dekat rumahnya, ia tertatih-tati berjalan dengan tongkatnya, menggunakan becak menuju persinggahan kekasihnya yang sudah lama meninggalkannya. Sore itu, selalu menjadi sore yang ia nanti berhari-hari, berbulan-bulan dan bertahun-tahun.

Becak kendaraan roda tiga itu selalu stay di persimpangan jalan tidak jauh dari rumah perempuan paru baya itu, ia membawanya menembus waktu menit demi menit. Jarak rumahnya ke pemakaman membutuhkan jarak tempuh 25 menit dari rumahnya. Ia memandangi apa yang senantiasa luput dari ingatannya, jalanan yang dulu ia lalui dengan kekasihnya kini menjadi jalanan yang penuh dengan deru-biru kenangan. Tata kota yang lumayan bersih ia pandangi di berbagai sudutnya, bunga di tengah-tengah trotoar, pohon-pohon rindang di sekitar berbaris sepanjang jalan. Ia terus memandangi, matanya melongok ke jendela, wajahnya di terpa semilir angin dan sinar jingga.

“Sore ini, sungguh sore yang selalu ku tunggu, Pak.” ucapnya dalam hati, matanya melongok melihat jalanan.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Becak itu mendaratkan perjalanannya tepat di pintu masuk persemayaman. Persemayaman tempat orang-orang datang setiap kamis itu padat. Orang-orang dengan tujuannya masing-masing, membawa bunga, air, dan kitab yang di dalamnya terdapat bacaan mantra-mantra untuk mendoakan. Perempuan paru baya itu melangkakan kakinya masuk, ia tak luput selalu memandangi sekitar, orang-orang  di sekitaran khusyuk mendoakan, mata-mata mereka basa, mulut-mulut mereka berbusa, orang-orang merapal mantra dengan kepercayaannya kepada yang kuasa.

Perlahan-lahan, matanya menyorot tajam, persemayaman kekasihnya itu selalu ia rapikan, ia cabut rumput-rumputnya, ia sirami dengan penuh lirih, dia bersihkan dan ia kasih bunga-bunga segar walaupun bunga itu seketika luntur karena panas dan air hujan yang menerpahnya. Ia duduk dengan seksama, menabur bunga, menyiram tanah kuburannya dan membersikan rumput-rumput yang mengakar di atas tanah kekasihnya.

“Hallo, Pak. Aku rindu.” Ia berucap, selalu mengucapkan rindu.

Kata itu yang selalu ia ucap ketika ia datang dan duduk persis di hadapan kekasihnya setiap kamis, tidak berubah selalu, bertahun-tahun seperti itu.

“Putih-biru, mengantarkan kita pada ketegasan cinta, pada romantisnya hidup, pada indahnya perjalanan, pada cantiknya semesta. Dan aku, Pak. Aku, selalu ingin kembali, kembali pada pelukanmu, pada cium manismu ketika dulu. Waktu itu aku dan kamu masih sama-sama egois untuk suatu perjalanan bersama ketika remaja.” Ia meneteskan air mata, usap lembut tisu yang ia selalu bawa ketika ia berjalan ke persemayaman kekasihnya itu.

“Remaja dulu, Pak. Adalah sesuatu yang kerap menerpaku dalam diam, dalam hening, dalam lirih dalam tidurku, dalam alam bawa sadarku. Kau rindu pasti, kau merindukanku, kau selalu merindukanku kan, Pak.” Ia berkata dengan lirih, air matanya terus menetes.

Masa remaja baginya masa yang sangat-sangat indah, pertemuan ia dengan kekasihnya ketika remaja itu menggemparkan seluruh semestanya, lelaki yang ia pandang selalu sejuk itu membuat ia jatuh cinta hingga akhirnya mereka menikah dan hidup bersama sampai menua.

Perempuan paru baya itu berjam-jam di persemayaman, mengingat-ingat apa yang senantiasa ia luput terus-menerus berucap lirih kepada batu nisan yang ia pandang di depannya. Remaja, kala ia bertemu dengan kekasihnya, ia bak senja yang indah dan kekasihya adalah suatu peraduhan nyata yang sulit ia terka-terka dengan otaknya. Ia mencintanya, lantas ia selalu menjadikan ingatan tentang kekasihnya upaya memasihkan yang masih di hatinya.

“Dalam dekapku, Pak. Kau laksana cinta yang tiada tara besar dan indahnya. Dalam ucapku, Pak. Kau menjadi mantra-mantra yang senantiasa aku sebut di hadapan semesta. Dalam malam-malamku, Pak. Kau senantiasa ada di antara gemerlap bintang-bintang di langit atas sana.”

Itulah. Mengapa ia menjadikan sore itu sebagai anugerah, memupuk rindu, memungut kenangan dan memasihkan yang masih. Temaram tiba, jam sudah menunjukan pukul 17:40 WIB. Orang-orang di persemayaman satu-persatu meninggalkan, isak tangis ia usap, langkah orang-orang membawa ia pada pulang. Ia tau rindu sulit digapai, tapi menurutnya rindu itu sederhana. Sangat-sangat sederhana.

Sebelum bergegas, ia berdiri dengan kedua kakinya dan di bantu dengan tongkatnya. Ia pandangi sekitar, di depan sana di depan makam kekasihnya itu ada remaja berdua. Lelaki dan perempuan duduk berjejer, membaca mantranya dan ia pandangi sekilas, sesekali tidak sengaja terdengar obrolan-obrolannya.

“Semoga ayah dan ibu bahagia ya. Aku mau menikah, aku sudah menemukan kekasihku yang aku percaya dan aku yakin akan hidup bersamanya selamanya.” Obrolan kedua pasangan itu tidak sengaja terdengar olehnya.

Ia kepikiran tentang apa yang di katakan dua muda-mudi tadi tentang kata, “hidup bersamanya selamanya” apakah ia menurutnya akan bisa hidup bersama sampai selamanya. Perempuan paru baya berpikir dan persis kekasihnya yang kini meninggalkannya pun berucap sama ketika dulu, tetapi nyatanya ia ditinggal sendiri, hanya rindu yang ia pupuk terus menerus. Ia lantas tidak memikirkan itu, ia langsung bergegas mengucap salam yang selalu ia ucapkan sebelum ia pulang.

“Aku selalu mencintaimu, Pak. Tunggu aku, di surga. Dimana tempat kebahagiaan semestinya bekerja.” Ucapnya, sebelum ia bergegas pulang.  

Ia melambaikan tangan, becak yang sedikit berkarat berhenti tepat di depan wanita paru baya itu, ia melangkakan kaki masuk, supir memedal ontelnya, ia kembali melihat jalanan, melihat lampu-lampu kota yang sudah mulai dinyalakan, orang-orang yang lalu-lalang pulang, dan pohon-pohon di sekitaran yang di kibas-kibas angin kiri-kanan. Ia pandangi selalu jalanan itu sebelum akhirnya ia sampai di persinggahan rumah tempat dimana ia akan selalu merindukannya entah sampai kapan lamanya.



Penulis: L MALARANGGI

*Pembelajar Sepanjang Hayat, Mahasiswa Aktif, Sering menulis puisi, cerpen dan opini di berbagai media online dan media sosial miliknya bisa di sapa di @malaranggiii.