Oleh : Lutfi Bahruddin
Baru-baru ini, media sosial elektronik tanah air di gemparkan oleh pemandangan tak sedap. Seiring dengan meluasnya rekaman yang diunggah di sebuah situs video, dimana Ustadz sinetron, Hariri, melakukan tindak kekerasan, dengan menginjak kepala salah seorang jamaah dengan lututnya. Sebagai juru dakwah, semestinya menampilkan sikap lemah lembut dan berperilaku baik. Tidak saja, untuk mencerminkan pribadi yang baik juga menunjukan bahwa berdakwah itu harus memiliki etika. Tidak sebaliknya, merasa angkuh dan sombong akan pengetahuan yang di milikinya.
Tindakan yang berlebihan itu pun sontan menuai kecaman dari berbagai pihak. Mulai dari MUI, Ulama, masyarakat, hingga pengasuh pesantren. Gus Sholah menjawab pertanyaan salah satu followernya, @AlawiIbnuimam” mengenai perbuatan Ustad Hariri, “Ustadz tersebut jangan lagi muncul sebagai Da’i “. @Gus_Sholah pada Kamis (13/2/2014).
Hemat penulis, hal ini sangat beralasan, mengingat efek negatif dari perilaku ustadz jebolan ajang bakat da’i di sebuah stasiun televisi swasta. Pasalnya perilaku yang ditunjukan Hariri tidak sesuai dengan etika berdakwah. Bagaimana mungkin, seorang ustadz yang sedang memberikan tausyiah nya kepada masyarakat bersikap arogan dan melecehkan harga diri seseorang di hadapan publik. Padahal saat kejadian orang tersebut sudah meminta maaf terlebih dahulu.
Ustadz Karbitan!
Predikat ustadz karbitan layak di alamatkan kepada mereka yang mengaku ustadz. Padahal dari segi keilmuan utamanya mengenai ilmu agamanya harus mendalam. Kemudian, akhlak yang baik. Kedua hal tersebut harus bersinergi. Bukankah, seperti halnya seseorang yang dipanggil ustadz, seharusnya telah mengalami proses panjang pembelajaran agama yang luas, memiliki akhlak yang baik, memiliki kesabaran yang tinggi, serta menjauhkan diri dari sifat semena-mena terhadap orang lain. Tidak ada alasan logis dimana sang ustadz bertindak sewenang-wenang.
Memang, tidak dapat dipungkiri, tindak kekerasan khususnya yang masih berhubungan dengan dunia “ustadz” juga terjadi diberbagai tempat. Predikat ustadz ataupun kiai sudah sepantasnya dapat menjaga diri dengan memberikan teladan akhlak yang baik. Proses penggemblengan ustadz ala pesantren menjadi contoh ideal. Proses pembentukan jati diri seorang “ustadz” yang saat ini menjadi representasi “perkotaaan” orang yang paham agama saat ini memang tak terelakkan. Otoritas penyedia pelayanan agama saat ini pun sudah meluas tidak hanya pesantren ataupun madrasah, ada juga lembaga keIslaman yang memang dibuat dengan pondasi yang tak sekuat mapun selengkap yang ada di pesantren ataupun madrasah. Tentu membuat kita miris melihatnya bukan?
Di pesantren, metode pembelajaran tidak hanya mengajarkan ilmu agama semata, namun juga memberikanpembelajaran langsung bagaimana seharusnya berperilaku melalui pengajaran akhlaq. Para Kiai selalu memberikan teladan yang baik. Implementasi akhlakul karimah benar-benar dijalankan. Sehingga para juru dakwah produk pesantren mampu berdakwah melalui perbuatan dan perkataan. Penyandangan “ustadz” yang terjadi di wilayah perkotaan menjadi pengertian sempit dari idealnya luaran yang dihasilkan pesantren.
Selera media cetak ataupun elektronik dalam mengambil juru dakwah seringkali sesuka hati. Tak jarang orang yang pintar ilmu agama dan bisa berdakwah hanya dilihat dari segi fisiknya saja, semisal masih muda, paras yang menarik, bersorban, dan kemudian sering muncul di acara-acara pengajian televisi. Kesemuanya seolah hanya untuk menaikkan rating perusahaan TV . Tentu, hal yang sedemikian menjadi suatu hal yang keliru. Padahal dalam hal ini, media dapat bekerja sama dengan lembaga-lembaga yang memiliki kredibilitas mengeluarkan para juru dakwa. Baik itu pesantren ataupu lembaga keagamaan lain yang sudah terpercaya. Semoga kedepan kejadian diatas tidak terulang!
Penulis adalah peneliti tetap di Pusat Kajian dan Pengembangan Pesantren (PKP2) Tebuireng.