Oleh: Muhammad Makmun-Abha
Indonesia tengah mangalami sindrom yang cukup menghawatirkan yaitu goncangan nasionalisme dan integritas yang akhir-akhir ini semakin meledak. Digempurnya kebhinekaan dengan ”makhluk rakus” bernama ”neoliberalisme”, dicemarinya keragaman dengan pengaruh sebuah sekte yang menghancurkan khazanah-khazanah lokal, adanya aksi-aksi teror yang dilancarkan oleh beberapa komunitas baik muslim maupun non muslim, munculnya bom bunuh diri di pusat-pusat keagamaan dan sosial sehingga karenanya juga kemajemukan yang elok itu menjadi buruk rupa dan penuh dengan kekerasan adalah salah satu bukti nyata ancaman terberat bagi nasionalisme dan integritas bangsa ini.
Karakter bangsa Indonesia yang dikenal santun dan menghargai perbedaan dengan falsafah Bhineka Tunggal Ika-nya telah sejak dulu membuktikan sebagai negara yang penuh nuansa pulralisme dan multikulturalisme. Umat bergama bisa membangun sebuah peradaban komunikasi yang sehat, peradaban kemasyarakatan yang rukun serta peradaban keagamaan yang toleran. Hal ini bisa dijumpai misalnya dalam proses penyebaran dan pengembangan Islam di Indonesia. Agama Islam masuk ke Indonesia dengan damai melalui percaturan dunia ekonomi, percaturan budaya dan percaturan peradaban. Namun seiring dengan mulai gencarnya upaya-upaya pemecah belah kini karakter bangsa ini sedikit demi sedikit mulai mengikis.
Di saat-saat tercabik-cabiknya bumi nusantara inilah mustinya bangsa ini tidak melupakan sebuah institusi yang memiliki peran besar dalam mengawal sejarah kebesaran bangsa ini, dialah pesantren. Tiada yang menyangkal bahwa pesantren adalah cerminan bagi “model” ke-Islaman di nusantara. Karena diakui atau tidak penyebaran Islam di Indonesia yang diprakarsai oleh walisongo tidak bisa lepas dari sebuah institusi pesantren sebagai tempat atau pusat dakwah mereka.
Tradisi Pesantren adalah dunia yang sangat unik. Pesantren memiliki jati diri sebagai sebuah lembaga yang sukses dalam mengolaborasikan unsur-unsur asli lokal yang baik dengan unsur ke-Islaman. Dengan demikian pesantren (dan lembaga yang memiliki nama sejenis) dapat menjustifikasikan diri sebagai sebuah lembaga yang asli (indegous) nusantara tetapi ruh yang ditiupkan dalam kehidupan intelektualnya adalah Islam yang rahmatan lil ‘alamin yang penuh semangat toleransi tanpa harus kehilangan dasar-dasar kebenaran keilmuan.
Ketika di satu sisi pesantren diidentikkan dengan lembaga yang terbelakang dan tradisional justru di sisi lain pesantren dengan salah satu keunikannya mampu menampilkan diri sebagai lembaga yang “modern” dalam bersikap. Pesantren selalu membekali santrinya dengan jiwa dan sikap tawassut, tawaazun, ta’aadul dan tasaamuh. Sikap tersebut termanifestasikan dalam lini kehidupan sehari-hari di pesantren dengan seorang figur yang sering disebut Kiai dan segudang sistem tradisi yang mengakar di dalamnya.
Contoh sikap “moderat” santri adalah dibekalinya santri mengenai perbedaan cara istinbaath al-ahkaam dari masing-masing mazhab dalam Islam. Dalam bidang fiqh misalnya, santri dikenalkan dengan pola pikir dan background yang melalatarbelakangi munculnya al-mazahib al-arba‘ah. Perbedaan hasil ijtihaad yang terdapat dalam masing-masing mazhab dapat difahami oleh santri sebagai sebuah keniscayaan dari pluralitas dan keragaman model dan cara pandang yang berbeda. Hal ini dapat mengantarkan santri untuk menempatkan diri secara proporsional dengan salah satu mazhab yang diikuti dengan tanpa menghina dan menjelek-jelekkan atau bahkan menyalahkan mazhab yang lain.
Salah satu bukti sikap kemoderatan santri dalam menanggapi setiap keragaman dan perbedaan adalah budaya santun terhadap segala pihak. Civitas akademika pesantren tidak terjebak dalam jurang budaya saling menjatuhkan, menghina dan bahkan mengkafirkan layaknya kelompok gerakan transnasional tertentu yang bermunculan dengan slogan ”back to Al-Qur’an dan Al-Sunnah”. Kaum santri mampu memahami pesan universal Islam yang menyerukan hidup tanpa saling menyalahkan, saling membunuh, dan bahkan saling mengkafirkan. Dan apabila masih terjadi gesekan dan konflik akan diselesaikan dengan cara yang penuh hikmah dan melalui musyawarah.
Di samping itu pesantren memiliki cara pandang yang unik dan sedikit berbeda dengan cara padang kehidupan lainnya, yaitu bahwa tujuan dari kehidupan hanyalah mencari keridlaan Allah SWT. yang secara konkrit direalisasikan dalam bentuk ‘ibadah dalam artinya yang luas. Baik ibadah yang berhubungan dengan hubungan manusia dengan tuhannya (aspek vertikal, arab; Habl Min Allah) maupun yang berhubungan dengan hubungan manusia dengan manusia yang lain (aspek horisontal, arab; Habl Min Al-Naas). Sikap Moderat dan Bersaudara dalam Perbedaan Sejatinya publik percaya bahwa agama Islam membawa peran positif dalam kehidupan sosial.
Meskipun demikian, dimensi dan praktek keagamaan di dalam Islam juga menyimpan potensi besar bagi terjadinya konflik. Secara universal misi yang dibawa oleh Islam adalah dalam rangka meminimalisir konflik dengan menerapkan nilai-nilai ilāhiyyah, bukan sebaliknya memperlebar jurang perbedaan dan kenestapaan umat manusia. Perbedaan memang sengaja dibuat Tuhan agar manusia terdidik menjadi manusia yang sebenarnya yakni mau mengakui kebenaran di luar dirinya.
Dalam hal ini, setidaknya tradisi pesantren dengan paradigma wasathiyah (moderat)-nya bisa dijadikan sebagai solusi untuk menyudahi pertikaian yang terjadi di tengah masyarakat dengan mengatasnamakan agama (Islam) dan aliran-aliran yang ada di dalamnya. Hal ini karena paradigma wasathiyah sebagaimana yang sudah menjadi tradisi pesantren mampu membekali dan memberdayakan para pemeluk agama dengan sudut pandang pluralitas dan persepsi nirkekerasan di dalamnya.
Disadarinya pluralitas sebagai suatu keniscayaan yang muncul seiring dengan perkembangan dan perubahan yang ada dalam agama dan individu manusia adalah hal yang mutlak untuk menghilangkan kecongkaan yang ada dalam setiap elemen. Adanya pluralitas dalam kehidupan masyarakat sesungguhnya membuat kehidupan masyarakat itu semakin dinamis, penuh warna, tidak membosankan dan membuat antara yang satu dengan lainnya saling melengkapi dan membutuhkan. Hal ini merupakan implikasi yang positif karena dalam kehidupan masyarakat yang plural, sikap dasar yang seharusnya dikembangkan adalah sikap bersedia untuk menghargai adanya perbedaan masing-masing anggota masyarakat. Sehingga perbedaan dipandang sebagai hak fundamental dari setiap anggota masyarakat.
Tidak heran karenanya jika para mufassir dari seluruh mazhab sepakat bahwa Al-Qur’ān mengakui adanya puralitas. Lebih dari itu mereka meyakini bahwa dengan ‘illat adanya ikhtilaaf itulah manusia diciptakan Allah SWT. Mereka berkata, “karena mereka berbeda-bedalah maka Allah SWT menciptakan mereka”. Sehingga perbedaan dan kemajemukan yang telah difitrahkan Allah SWT bagi manusaia adalah untuk tujuan himah-hikmah ilaahiyyah yang besar.
Disadari atau tidak, munculnya konflik merupakan anugerah yang tak terhingga jika manusia mampu menerapkan peran sosial dari suatu konflik tertentu. Adanya konflik bukan untuk dijauhi atau ditinggal melainkan untuk disikapi. Sikap seseorang atas konflik tidak terlepas dari asumsi manusia tentang konflik itu sendiri. Sehingga kontekstualisasi konflik dengan paradigma wasathiyah (moderat) dan peradaban multikulturalisme dapat mengantarkan perbedaan sebagai sunnatullah yang dapat membawa rahmat. Oleh karena itulah, selama di tengah konflik masih ada ruang untuk fa ashlihuu baina akhawaikum (maka rekonsiliasilah di antara kamu sekalian), akan berbuah rahmat. Sebaliknya di tengah konflik tertutup celah untuk fa ashlihuu baina akhawaikum, maka itulah bencana.[]
(Penulis adalah Kontributor tebuireng.online Wilayah D.I. Yogyakarta dan Staff pengajar di MA Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta.)