Ilustrasi oleh: M. Najib

Oleh: Ustadz Zaenal Karomi*

Assalamu’alaikum Wr Wb     

Bagaimana sudut pandang Islam tentang onani dan cara mengatasinya? Mohon penjelasannya.

Musa, Medan

Wa’alaikumsalam Wr Wb.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Terima kasih kepada penanya, saudara Musa di Medan. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan limpahan rahmat dan ampunan-Nya kepada kita semua. Amiin yaa robbal ‘alamiin. Adapun ulasan jawaban pertanyaan tersebut sebagai berikut:

Onani adalah tindakan pemuasan syahwat dengan merangsang alat kelamin sendiri yang dilakukan oleh laki-laki bisa menggunakan tangan dan lainnya. Menurut penelitian para ahli seksologi onani yang dilakukan oleh laki-laki jauh lebih banyak dilakukan dibanding mastrubasi oleh perempuan. [1]

Onani merupakan perbuatan yang tidak baik dan termasuk dosa besar karena syara’ mencegah dari perbuatan itu dan Rasulullah SAW memperingatkan pada apa yang dilakukan setelahnya, yang nantinya berdampak pada penyakit-penyakit tubuh. Dijelaskan juga, pada masa akan datang (hari kiamat) orang yang melakukan hal itu tangannya dalam keadaan hamil (diibaratkan tangannya terjima’) kemudian menjadi hamil) ketika orang itu belum bertaubat dari dosanya.

Oleh karena itu, dalam Madzhab Imam Syafi’i tidak boleh melakukan onani meskipun khawatir terjadi perbuatan zina. Berbeda dengan Imam Ahmad yang memperbolehkan melakukan onani sebagai alternatif menghindari perbuatan zina. Keterangan tersebut dijelaskan dalam kitab I’anatut Thalibin Juz 3 halaman 340 sebagai berikut:

وقوله لا بيده: أي لا يجوز الاستمناء بيده، أي ولا بيد غيره غير حليلته، ففي بعض الاحاديث لعن الله من نكح يده. وإن الله أهلك أمة كانوا يعبثون بفروجهم وقوله وإن خاف الزنا: غاية لقوله لا بيده، أي لا يجوز بيده وإن خاف الزنا

وقوله خلافا لاحمد: أي فإنه أجازه بيده بشرط خوف الزنا وبشرط فقد مهر حرة وثمن أمة

Dalam keterangan redaksi di atas (Madzhab Syafi’i) tidak diperbolehkan bersenang-senang dengan tangannya (onani) selain halilah (istri atau budak perempuan). Hal itu didasarkan pada sebagian hadis yang menyebutkan bahwa “Allah Swt melaknat orang yang menikahi tangannya (mengambil kesenangan (onani) dengan tangannya). Dan sesungguhnya Allah Swt merusak umat yang bermain alat kemaluan.

Dalam syarh kitab tersebut dijelaskan, Madzhab syafi’i memandang haram melakukan hal itu meskipun khawatir/terjerumus terjadi zina.  Sedangkan Imam Ahmad berbeda pendapat, bahwa boleh melakukan onani dengan syarat khawatir terjadi zina dan ia tidak punya mahar untuk wanita merdeka, dan juga tak punya uang untuk membeli budak (dalam konteks zaman perbudakaan dahulu).

Selain itu juga, dalam redaksi kitab Fiqh ‘ala Madzahib al Arba’ah juz 5 halaman 65, bahwa sebagian ulama madzhab Hanafi memperbolehkan onani apabila khawatir terjerumus zina. Akan tetapi pendapat itu dhoif dan tidak dianggap. Lebih dari itu, perbuatan onani akan berdampak bahaya pada kesehatan badan dan akal pikiran, seperti tubuhnya kurus, kedua matanya cekung dan membiru, wajahnya pucat, dan lain-lain.

اما الضرر الذي يصيب الجسم فقد قالوا ما معناه : إن من استدام عليه اصاب جسمه هزال وساقيه إنحلال وعينيه غور مع إحاطتهما بهالة زرقاء واصطبغ وجهه أصفر فيه زرقة وتبلجت يداه وانكمش جلده و اصاب جسمه قشعريرة عند توجيه اي سؤال إليه. مع انخفاض الرأس و ضعف عضو التناسل ضعفا متناهيا

واما ما يصيب القوي العقلية فإنه يجعل الفكر ساقطا والقريحة جامدة و يسلط على الفكر التهور و الغضب لأقل سبب والعناد و التقلب في الأحوال وعدم الثبات في الأعمال ويجعل صاحبه بعيدا عن إخوانه ، ويحبب إليه الغزلة عن الناس. ولقد قيل أن المرة الواحدة من الإستمناء باليد تساوي إثنتى عشرة مرة من الجماع

Adapun kerusakan yang menimpa pada fisik, ulama mengatakan: “barangsiapa yang melakukan terus menerus tubuhnya akan mengalami kurus (lemah), kaki bagian betisnya kendor, kedua matanya cekung serta membiru, aura wajahnya pucat, kedua tangannya lemah, tulangnya mengecil, badannya gemetar ketika diajukan pertanyaan kepadanya serta kepalanya akan menunduk, dan menyebabkan lemahnya organ produksi (seks).

“Adapun kerusakan pada akal (psikis) akan menyebabkan seseorang cenderung berpikiran lemah/rendah, berwatak keras, ceroboh, sering marah hanya dengan masalah sepele, keras kepala, dan  tidak memiliki pendirian yang tetap pada perilaku, menjadikan jauh dari temannya, dan suka menyendiri. Menurut pendapat, bahwa melakukan satu kali onani sama dengan 12 kali dari jimak.” (Hikmah at Tasyri’ wa Falsafatuhu, juz 2 halaman 191-192).

Dengan demikian, hemat kami, jauhilah perilaku onani, karena dampaknya begitu bahaya baik menurut syara’ maupun kesehatan fisik dan psikis. Lalu bagaimana cara mengendalikan gejala tersebut? Islam mengajarkan cara mengendalikan gejolak seksual dengan berpuasa. Nabi Muhammad SAW mensunnahkan kepada para pemuda yang sudah sanggup berumah tangga agar segera menikah, dan bagi mereka yang belum sanggup untuk menikah karena berbagai sebab, disarankan mendekatkan diri kepada Allah SWT, salah satunya dengan berpuasa, sebagaimana hadis Nabi yang artinya:

“Wahai pemuda, siapa di antara kamu yang telah sanggup menikah, maka menikahlah karena menikah itu lebih merendahkan pandangan dan memelihara kehormatan. Barangsiapa yang belum sanggup menikah, maka berpuasalah, karena berpuasa mengurangi nafsu syahwat.”

Bila puasa dan shalat ditanamkan dan dibiasakan pada anak-anak, bukan hanya kedua ibadah tersebut akan ringan dilakukan anak-anak, tetapi juga pendidikan pengendalian diri akan tertanam sedini mungkin, sehingga anak-anak dapat menbedakan antara perbuatan yang baik dan batil. Dan ketika remaja dan dewasa nanti, anak-anak bisa menekan nafsu syahwatnya, termasuk mencegah mereka dari menjadi generasi gemar onani dan masturbasi, lebih-lebih lagi bebas dari perzinaan. Na’udzubillahi min dzalik.

Sekian jawaban singkat dari kami. Semoga bermanfaat. Wa’Allahu a’lam.


*Alumnus Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng dan kini pembina santri putra Tebuireng


[1] . Dalam buku “Fikih Keluarga: Menuju Keluarga Sakinah Mawaddah Wa rahmah”, karya M. Cholil Nafis, halaman 227.