Dalam rangka menunjang peradaban manusia, salah satu konsep yang tidak bisa dielakkan adalah bagaimana supaya manusia satu dengan lainnya saling melengkapi untuk melakukan hal yang positif dan juga untuk meninggalkan hal yang negatif pula. Semua agama pun juga memiliki konsep demikian.
Islam sendiri memiliki misi perjuangan menuju cita-cita yang telah dirumuskan, yakni li i’lai kalimatillah dan Izzu al-Islam wa al-muslimin. Oleh karena itu, Islam juga memiliki konsep yang masyhur, yakni “amar ma’ruf nahi munkar”. Secara literalnya, amar ma’ruf memiliki arti perintah untuk melakukan hal yang positif, sedangkan nahi munkar memiliki arti larangan melakukan hal yang negatif.
Sejauh ini, konsep amar ma’ruf nahi munkar hanya dikenal dalam ruang lingkup yang sempit, yakni hanya diaplikasikan dalam interaksi kecil. Seperti memerintah anak untuk shalat, melarang teman untuk mabuk, mengajak orang untuk berbagi, melarang teman berjudi, dan sebagainya. Padahal, konsep ini sebenarnya bisa diaplikasikan ke ruang lingkup yang lebih luas.
Presiden Republik Indonesia ke-4, KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam buku “Kiai Menggugat, Gus Dur Menjawab” yang ditulis RMI-NU, menuturkan bahwa untuk memperluas lingkup konsep amar ma’ruf nahi munkar perlu dikaitkan dengan prinsip Mabadi’ Khaira Ummah (prinsip kesejahteraan umat).
Mabadi Khaira Ummah
Mabadi Khaira Ummah merupakan prinsip kesejahteraan umat, mulanya gerakan ini adalah upaya untuk menanggulangi kesenjangan ekonomi umat yang dirumuskan dalam Muktamar NU di Magelang pada tahun 1939 yang dikenal dengan mabadi khaira ummah al- tsalatsah. Di antara poin-poin utamanya adalah:
- Al-shidqu (kejujuran)
- Al-wafa bi al-‘ahd (menepati janji), dan
- Al-ta’awun (tolong-menolong).
Lalu, pada Munas & Konbes NU di Lampung pada 1992, ditambah dua poin hingga menjadi lima poin yang dikenal dengan mabadi khaira ummah al-khamsah, yakni ‘Adalah (keadilan) dan Istiqamah (konsistensi).
Amar Ma’ruf Nahi Munkar Berlandaskan Mabadi’ Khaira Ummah
Menurut Gus Dur, sejauh ini amar ma’ruf nahi munkar baru diaplikasikan dalam lingkup legal-formal, yakni menegakkan syariat Islam secara utuh baik individu maupun kelompok, sehingga ada tuntutan bahwa syariat Islam selain ditegakkan di dalam agama Islam sendiri harus diformalkan ke pemerintahan, hingga konsep ini akan diklaim perjuangan Islam saja.
Penggabungan antara kedua konsep tersebut merupakan penerapan dari interpretasi Q.S. Ali Imran (3): 110 yang berbunyi:
كُنْتُمْ خَيْرَ اُمَّةٍ اُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ
“Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah…”
Akibatnya lagi, pemahaman tersebut akan menimbulkan pemikiran bagi umat Islam bahwa nasionalisme tidak sesuai dengan tuntunan syari’at. “Pancasila adalah Thaghut”, “Solusi dari semua permasalahan umat adalah Khilafah Islamiyah”, itu merupakan contoh dari produk pemikiran legal-formal tersebut.
Hal tersebut tentunya akan menyebabkan timbulnya kesenjangan antara aspirasi Islam dan aspirasi nasional. Padahal menurut KH. M. Hasyim Asy’ari, nasionalisme dan religius adalah dua kutub yang tidak bisa dipisahkan karena keduanya saling berkaitan. Bisa diibaratkan pula nasionalisme merupakan sebuah produk arsitektur yang di dalamnya memakai rancangan dan material yang sesuai dengan nilai religius.
Jadi, selain dalam dimensi legal-formal, amar ma’ruf nahi munkar sebenarnya bisa diterapkan dalam dimensi yang lain, seperti dalam ideologi, falsafah, ekonomi, budaya, politik, dan sebagainya. Itulah yang dimaksud Mabadi’ Khaira Ummah jika disederhanakan.
Untuk mengaitkan antara amar ma’ruf nahi munkar dan mabadi’ khaira ummah sebenarnya juga perlu untuk mengaitkan juga dengan prinsip maqashid al-syari’ah, yakni al- kulliyat al-khams.
Al-kuliyyat al-khams yaitu lima tujuan dari kehadiran syariat, yakni jaminan keselamatan agama, nyawa, akal, harta, dan keturunan/keluarga. Untuk menjamin lima hal tersebut, maka diperlukan keseimbangan antara agama dengan ilmu pengatahuan dan teknologi. Sehingga Islam tidak lagi kaku menolak segala hal yang berasal dari luar.
Dalam menyempurnakan konsep ini, menurut Gus Dur harus dipertimbangkan beberpa persoalan berikut:
- Kecenderungan egalitarian atau etisnya watak sosial dan implikasinya.
- Kecenderungan kultural atau strukturalnya sistem hubungan individu dengan masyarakat.
- Saling ketergantungan atau otonomi (bergerak sendiri-sendiri) antara hubungan keimanan, ilmu pengetahuan, dan teknologi.
- Hubungan Islam sebagai ideologi atau pandangan hidup, apakah dikelola secara subordinatif atau komplemente
Empat pertimbangan tersebut menjadi titik kritis dalam kesejahteraan umat. Oleh karena itu, diperlukan rumusan-rumusan yang matang supaya gagasan bisa menjadi lebih utuh dan mudah diaplikasikan dalam kehidupan umat.
Namun, sedikit lebih sederhananya, mabadi khaira ummah di Indonesia bisa diterapkan dalam beberapa hal. Pertama, setiap warga negara harus bisa memahami dan membagi wilayah antara urusan agama dengan urusan negara. Artinya, bahwa kalau suatu negara, seperti Indonesia bukan merupakan negara Islam (teokratis), bukan berarti pemerintahan Indonesia tidak mendukung tegaknya syariat Islam bagi warga negaranya yang muslim, begitu juga kepada umat agama lain. Begitu juga sebaliknya, negara dengan mayoritas warga beragama Islam, bukan berarti menjadi tuntutan untuk mendirikan sistem negara yang teokratis.
Harus juga dipahami bahwa kebebasan umat menjalani agamanya harus atas dorongan spiritualnya dan tidak harus menunggu disuruh pemerintah. Kalau dalam tasawuf, akan lebih tinggi nilainya ibadah atas dorongan spiritual dibanding ibadah atas dorongan material.
Kedua, diperlukan upaya untuk menanggulangi kebijakan yang terkesan negatif, terutama dalam hal birokrasi yang cenderung mengambil keuntungan sepihak dan mempersulit pihak lain yang sebenarnya akan berdampak negatif pada kehidupan negara ini pula.
Ketiga, meningkatkan SDM internal umat Islam itu sendiri, seperti membantu kesejahteraan ekonomi yang tidak melanggar syariat Islam. Dan yang tidak kalah penting adalah memberikan pendidikan yang memadai sebagai upaya untuk mematangkan wawasan kultural Islam dan wawasan sekuler sehingga umat bisa mengerti batasan-batasan antar keduanya.
Wallahu a’lam.
Baca Juga: Gus Dur: Nilai Tauhid dan Kemaslahatan di Muka Bumi
Penulis: Izzulhaq At Thoyyibi