Pada Kamis (15/09/22) koran Republika menerbitkan satu tulisan Prof. Azyumardi Azra. Hari itu adalah tiga hari sebelum beliau disemayamkan di peristirahatan terakhir. Dalam tulisannya itu, Azra mencoba untuk mengingatkan kembali bahwa perjalanan 100 tahun Nahdlatul Ulama (NU) di Indonesia adalah Islamic-based civil society. 100 tahun yang patut disyukuri, sekaligus persiapan 100 tahun ke-depan, begitu ungkapnya.

NU 100 Tahun (2); Koran Republika, Resonansi

Oleh: Azyumardi Azra

Nahdlatul Ulama (NU) segera berusia 100 tahun atau satu abad atau satu milenium—usia yang tak singkat; jauh lebih tua dari pada umur NKRI. Dalam penanggalan hijriyah, harlah NU 100 tahun tercapai pada 16 Rajab 1444 atau 7 Februari 2023. Hampir dua bulan setelah itu, 100 tahun NU menurut tahun masehi akan dirayakan pada 31 Januari 2026.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Jelas dalam usia satu abad, NU sebagai organisasi beserta kiai-kiai, tokoh-tokoh, dan umat Nahdliyyin telah memberi banyak sumbangsih kepada umat-bangsa di tengah penjajahan Belanda kemudian Jepang. Kiprah NU berlanjut pada masa pasca kemerdekaan dan kontremporer.

Banyak disyukuri NU dalam perjalanan panjangnya. Sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia atau bahkan dunia Islam secara keseluruhan, NU bersama banyak ormas lain, seperti Muhammadiyah, Jami’at Khair, al-Irsyad al-Islamiyah, Al-Washliyah, (Perti) Tarbiyah Mathla’ul Anwar, Persis, PUI, Nadhalatul Wathan, Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, al-Khairat, dan banyak lagi, berperan penting dalam membina dan memperkuat wasathiyah Islam Indonesia.

Sulit dibayangkan Indonesia tanpa NU, yang beserta ormas-ormas Islam menjadi faktor stabilisasi dan kohesi sosio-religius, religio-kultural, dan religio-politik Indonesia. NU khususnya bersama Muhammadiyah juga memainkan peran signifikan sebagai Islamic-based civil society, yang membuat berbagai perubahan politik yang berlaku cepat dan berdampak luas.

Ini terjadi sejak revolusi kemerdekaan 1945, turbulensi G30S/PKI 1965 sampai pada Reformasi 1998-1999, yang dapat berlangsung dengan biaya sosial-politik relatif terkontrol—tidak menciptakan kegaduhan, konflik, dan pertikaian politik berkepanjangan.

Indonesia bahkan menjadi salah satu—jika tidak satu-satunya—negara berpenduduk mayoritas Muslim, yang transisinya dari otoritarianisme menuju demokrasi berlangsung lancar. Namun, NU juga bukan tanpa gejolak internal, khususnya dalam masa Orde Baru.

Depolitisasi dan deideologisasi partai-partai, termasuk Partai NU, sejak awal 1970-an yang mencapai titik krusial pada 1973 dengan fusi partai, mendorong NU kembali mengorientasikan diri sebagai gerakan Islam kultural melalui dakwah dan pendidikan khususnya.

Reorientasi dikukuhkan dalam Muktamar Situbondo 1984 ini dikenal sebagai kembali ke ‘Khittah 1926’, yang terbukti menjadi momentum bagi penguatan dan konsolidasi kelembagaan dan sumber daya manusia NU. Dalam perubahan dan kemajuan sosial-budaya dan agama yang sangat cepat sepanjang masa pembangunan Orde Baru, NU menjadi salah satu penerima manfaat terbesar.

Seperti dikemukakan banyak Indonesianis, Islamisis internasional dan pakar nasional, warga Nahdliyyin yang ketika itu kebanyakan masih terpusat di perdesaan, mendapat limpahan peningkatan ekonomi. Pemerintah Orde Baru berhasil mengangkat sekitar 50 juta warga dari keterbenaman dalam lumpur kemiskinan, berkat pembangunan ekonomi, kepala dan bahu mereka sudah di atas lumpur kenestapaan ekonomi.

Warga NU, baik yang di perdesaan maupun di perkotaan juga menjadi penerima manfaat terbesar peningkatan ketersediaan pendidikan, yang dilakukan pemerintahan Presiden Soeharto. Pada tingkat dasar dan menengah, pemerintah memperbanyak jumlah dan memperbaiki sekolah, terutama SD dan SMP melalui Inpres No 10 Tahun 1973; selain itu memperbanyak jumlah guru.

Proyek inpres tersebut dipandang banyak pengamat dan peneliti pendidikan sangat berhasil. Anak-anak muda NU juga menjadi penerima manfaat terbesar ketika pemerintah Orde Baru memperbanyak perguruan tinggi negeri (IPTN Umum dan PTN Islam, khususnya IAIN). Banyak PTN kedua kategori didirikan di luar ibu kota provinsi di Pulau Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan NTB.

Banyak santri dari perdesaan melanjutkan pendidikan di PTN, yang berdiri sejak paruh kedua 1960-an-membuka mobilitas intelektual, ekonomi, dan sosial bagi generasi muda NU yang mulai menemukan momentum eksplosi sejak 1990-an sampai sekarang ini. Dalam retrospeksi seperti itu, harlah akbar NU 100 tahun disyukuri dan dirayakan. Pada saat yang sama juga merumuskan langkah 100 tahun ke depan untuk terus meningkatkan kemajuan NU.

Ketua Umum PBNU Yahya Staquf menyatakan: “Itu (perayaan harlah 100 tahun NU) adalah momentum yang kita tetapkan sebagai penanda masuknya NU ke dalam era abad kedua.” Ketua Peringatan Harlah Satu Abad NU, Yenny Wahid menjelaskan, peringatan hari Lahir NU terdiri atas sembilan klaster. “Ada beberapa agenda strategis, yang pastinya ingin kita capai dalam perayaan tersebut. Yang paling utama melakukan kontekstualisasi ulang dari berbagai gerakan yang menjadi dasar NU selama ini”.

Harlah 100 tahun NU dengan Sembilan klaster mencakup: Religion 20 (R20), muktamar internasional, festival tradisi Islam Nusantara, gerakan kemandirian NU, teknologi NU, pekan olahraga NU, anugerah tokoh, pembentukan ‘NU Women’, dan resepsi harlah 100 tahun NU. Selamat.


Rewrite: Yuniar Indra