Oleh: Fawaid Abdullah*
Serupa tapi tak sama. Sama-sama akhiran (nasi). Tapi beda arti dan akibat. Zonasi gampangannya adalah berasal dari kata Zona, wilayah atau tempat, lokasi. Sedangkan Donasi, lebih pada pemberian seseorang kepada orang lain atau lembaga tanpa ikatan (imbal balik tertentu), atau bisa diartikan dalam bahasa sederhana yang lain adalah bantuan materi atau non materi yang tanpa ikatan (tertentu), atau bisa diartikan dalam bahasa familiar yang lain adalah sedekah, atau infak.
Lalu apa kaitan dari keduanya? Bermula dari obrolan santai di sebuah grup WathsApp (WAG) beberapa tokoh, kiai tersohor. Ada Gus Nadir (Prof. Dr. KH. Nadirsyah Hosen, Rais Syuriyah PCINU Australia-NewZeland), Gus Imron Hamid (Rais Syuriyah PCINU Tiongkok), Gus Dr. Ainur Rofiq Al-Amin (Pondok Tambak Beras), Ning Yenni Wahid, dan banyak lagi beberapa tokoh lainnya.
Kami sering ngobrol santai di salah satu grup WathsApp tersebut. Sersan, serius tapi santai. Saya termasuk yang cukup aktif chat, dari puluhan group WathsApp yang ada di android saya. Sampailah pada pembahasan sistem Zonasi yang sedang diributkan itu.
Khusus tentang ini (Zonasi), sudah saya tulis sebelumnya. Tiba-tiba, Gus Nadirsyah Hosen interupsi lewat chatnya: “ke pondok tidak perlu zonasi, cukup donasi wkwkwkwk.” Guyonan beliau ini terus terang sangat menggelitik saya. Itu guyonan sekaligus cambuk keras buat para orang tua yang saat ini meributkan sistem zonasi itu.
Bagaimanatidak? Saya lihat dan amati lewat media sosial, televisi dan surat kabar cetak. Saat ini para orang tua dibuat sibuk, stress dan bela-belain tidak tidur antri semalam suntuk gara-gara antri mendaftar ke sekolah negeri yang dianggap unggulan dan favorit. Bahkan ada yang mengancam memperkarakan, menggugat secara hukum karena dianggap tidak adil, menyalahi aturan perundang-undangan dll. Saya sepakat dengan guyonan Gus Nadir diatas. Daftar ke pondok tidak perlu zonasi, cukup donasi.
Ratusan bahkan (bisa jadi) ribuan pondok pesantren kalau harus jujur, lebih unggul dari sekolah negeri yang diributkan (karena sistem zona) tersebut. Di Jawa Timur saja misalnya, ada banyak pesantren yang luar biasa hebatnya, ada Tebuireng, Tambak Beras, Denanyar, Darul Ulum, Lirboyo, Ploso, Sidogiri, Langitan, dll. Belum lagi pesantren-pesantren lain yang mempunyai keunggulan dan ciri khas dan karakter sendiri-sendiri. Belum lagi, bicara tentang keberkahan, kemandirian, kekuatan spiritual, kecerdasan sosial dan emosional. Tentu pesantren tidak diragukan lagi.
Lalu, tentang ajaran berinfak dan bersedekah atau istilah Gus Nadir diatas dengan sistem “Donasi”. Pesantren tidak hanya mengajarkan nilai-nilai keluhuran akhlak dan moral. Tetapi juga mengajarkan nilai-nilai ber-donasi, atau berinfak atau bersedekah. Sejalan dengan hadits Baginda Nabi bahwa, “Tangan di atas itu lebih baik daripada tangan yang di bawah”, memberi itu lebih baik dari meminta, apalagi (mengemis).
Sekalilagi saya mengajak para orang tua (yang sedang ribut dan galau) akibat sistem zonasi (itu). Marilah perlahan kita rubah cara berpikir dan cara pandang kita, rebutan memasukkan putra-putrinya masuk sekolah favorit dan unggulan (menolak sistem zona) itu. Seakan-akan kalau tidak diterima di sekolah negeri pilihannya, dunia terasa “kiamat”? Justru menurut saya sebaliknya, putra-putri anda akan lebih “kiamat sughro”, kalau putra-putri anda tidak pernah nyantri, tidak pernah mondok, (bahkan) tidak pernah ngaji.
Akibatnya, kita bisa saksikan saat ini. Banyak ustadz-ustadzah “dadakan” yang sering muncul di mana-mana, di media sosial, di YouTube, di layar televisi (itu), hampir pasti karena latar belakang pendidikan agamanya sangat minim dengan ilmu-ilmu agama (apalagi kutubussalaf, kitab kuning). Sehingga, ketika mendadak “hijrah”, dunia selain dunianya (mereka) anggap hitam dan gelap.
Semua selain (mereka) menjadi salah, apabila tidak sesuai dengan ilmu yang dipelajarinya. Bagaimana tidak semua jadi salah? Disiplin ilmu agama yang mereka pelajari hanya dari terjemahan, semua serba instan. Itulah akibat dari cara orang tua yang “kurang tepat” memasukkan putra-putrinya dalam pendidikan berjenjang sebelum menapaki dunia perguruan tinggi, atau kuliah.
Waktu SD, SMP, lalu SMA atau SMK hanya dicekoki pelajaran-pelajaran umum, tidak pernah ngaji. Tiba-tiba ketika naik dan masuk ke perguruan tinggi, ketemu dengan senior yang “salah jalan”. Hari-harinya hanya diisi “cuci otak”, doktrin-doktrin semi radikal dan terorisme, wahabisme dan atau cingkrangisme.
Hal-hal seperti ini, seringkali para orang tua lalai dan sering tidak terpikirkan. Baru sadar, ketika sang anak lalu berubah sikap, janggal dan ada banyak kelainan-kelainan tidak seperti biasanya. Sistem zonasi yang diributkan (itu) telah melalaikan cara berpikir sehat kita. Menganggap salah sistem yang sedang di uji coba, itu bagian dari kekalapan dan irasional. Sebaliknya, dengan donasi, mengajarkan nilai-nilai kesetaraan, egaliter, berbagi, memberi, berinfak dan bersedekah. Sistem zonasi itu menurut saya sudah baik, kalau ada kekurangan sebaiknya ada tambal sulam dan perbaikan, bukan malah mendistorsi apalagi menghapusnya. Yang lebih baik itu ya donasi.
Perbanyak memberi, berinfak dan bersedekah. Islam mengajarkan “Sedekah itu melancarkan rezeki dan menolak balak”. Memilih sekolah itu tidak (harus) negeri. Sekolah bisa dimana saja, jauh atau dekat. Karena ukuran keberhasilan seseorang itu tidak dilihat dimana ia sekolah atau belajar (apalagi ada dikotomi negeri atau swasta). Yakinlah bahwa dengan memasukkan ke pondok pesantren, InsyaAllah akan lebih jelas dijamin banyak kelebihan dan keberkahannya.
Wallahu A’lam.
*Khadim PP. Al-Aula Kombangan. Bangkalan Madura. Kombangan, 21 Juni 2019 Jam 18.30 WIB.