Foto: keluarga Pondok Pesantren Nurus Siroj Babat Jawa Timur.

Tebuireng.online– Lamongan- Semasa hidup KH. Hasyim Asy’ari, banyak santri yang kemudian menjadi ulama dan terlebih dahulu belajar ke Kiai Hasyim di Pesantren Tebuireng Jombang, Jawa Timur. Salah satu santri yang rajin mengaji ke Kiai Hasyim adalah KH. Nur Salim.

Kiai Nur Salim berasal dari Desa Tritunggal, Kecamatan Babat, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Bahkan saat putra kandungnya lahir, Kiai Nur masih sedang mengikuti pengajian Kiai Hasyim Asy’ari. Kejadian itu terjadi pada hari Jumat Legi tanggal 18 Syawwal 1355 H atau bertepatan pada tanggal 1 Januari 1937 M.

Saat itu KH. Nur Salim masih meneruskan mondok di pesantren Tebuireng Jombang setelah menikah. “Sehingga terpaksa harus disusul ke sana (Tebuireng) untuk memberitahukan kelahiran anaknya,” jelas cicit KH. Nur Salim, Muhammad Fajrul Falah Afandi, Kamis (20/6/19).

Setelah sampai di rumah, istrinya melahirkan seorang putra dan langsung diberi nama Abdul Kholiq. Nama tersebut diberikan karena tafa’ulan dan tabarrukan dengan nama putra Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari.

Sosok Kiai Hasyim Asy’ari bagi keluarga KH. Nur Salim begitu berarti. Pendiri Nahdlatul Ulama tersebut menjadi rujukan setiap problem yang dihadapi. Kiai Nur Salim aslinya bernama Soko, ia menikah dengan Kasiyat putri H. Siroj atau Kamso.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Cerita pernikahan ini berawal saat ia pulang dari nyantri di Pondok Pesantren Tebuireng Jombang dan Pondok Pesantren Sidogiri Pasuruan. Saat itu H. Siroj sangat terkesan dengan sosok santri yang sudah dikenal sifat bagus dan kealimannya, sehingga kemudian dinikahkan dengan anaknya.

H. Siroj juga sangat mendukung menantunya, baik secara mental maupun material dalam langkah perjuangan KH. Nur Salim. KH. Nur Salim memiliki 11 putra-putri, yaitu Ghozi (meninggal waktu kecil), Ashari (meninggal waktu kecil), Abdul Kholiq, Abdul Wahid (meninggal waktu kecil), Hasyim Bisyri, Hasan Bisyri, Siti Aminah, Masda’i, Ni’mah, Muhsin dan Abdullah Munif.

Salahsatu putranya yang bernama KH. Abdul Kholiq kemudian hari kelak menjadi tokoh ulama yang mendedikasikan dirinya untuk Nahdlatul Ulama (NU) KH. Abdul Kholiq tercatat pernah menjadi Wakil Rais Syuriyah Majelis Wakil Cabang (MWC) NU Babat tahun 1980, Rois Syuriyah MWC NU Babat tahun 1985. Kemudian menjadi Wakil Rais Syuriyah Pimpinan Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Lamongan. Hingga akhirnya menjadi Rais Syuriyah PCNU Lamongan, menggantikan KH. Abdullah Iskandar. Pernah juga menjadi Ketua Rabithah Ma’ahidil Islamiyyah (RMI) PCNU Lamongan.

Akan tetapi beliau KH. Nur Salim tidak berkehendak mendirikan pesantren secara institusi seperti umumnya santri KH. Hasyim Asy’ari saat itu. Ia cukup mendirikan musallah untuk berjamaah dan mengajar ngaji bagi masyarakat yang membutuhkannya. Itupun masih sangat sederhana, ngaji sorogan, bandongan sampai ia wafat pada tanggal 09 Romadlon 1386 H atau 22 Desember 1966 M. Dalam berdakwah, Kiai Nur Salim banyak dibantu oleh putranya KH. Abdul Kholiq.

Suatu hari KH. Abdul Kholiq berkeinginan mendirikan madrasah akan tetapi masih kurang direspon oleh ayahnya. Saat itu sang ayah mengatakan “Liq, gawe madrasah opoh mane ngopeni teruse iku abot, wis sing penting kapan ono sing njalok wulang ngaji yo diulang (kalau buat madrasah apa lagi mengurusinya itu berat, yang penting kapan ada yang minta diajar ngaji ya diajar).”

“Begitulah karakter KH. Nur Salim yang tidak ingin neko-neko (ambil resiko),” ujar pria yang akrab disapa Gus Falah ini.

Seiring dengan perjalanan waktu dan perubahan keadaan masyarakat, banyak yang mendesak KH. Abdul Kholiq untuk mendirikan pesantren, diantaranya KH. Ahmad Marzuqi Zahid dan KH. Abdulloh Faqih Pengasuh Pesantren Langitan. Waktu sowan ke KH. Ahmad Marzuqi Zahid dan KH. Abdulloh Faqih oleh KH. A Marzuqi Zahid, Kiai Kholiq dikatakan kiai yang tidak pantas.

Kemudiania memberanikan diri bertanya kepada Kiai Marzuqi “apa maksud kiai yang tidak pantas, yai? ”. Jawab Kiai Marzuqi “kamu itu ‘Alim, kamu tidak pantas kalau tidak punya pondok,” lalu Kiai Marzuqi menyuruh untuk mendiriikan pesantren. Hal ini kemudian dihaturkan ke romo KH. Abdulloh Faqih, oleh KH. Abdulloh Faqih, rencana tersebut didukung bahkan diberi modal uang untuk segera membangunnya.

Namun baru setelah benar-benar yakin dan mantap, tepat pada tanggal 1 Robiul Awwal 1406 H atau 14 November 1985 M dibentuklah panitia pembangunan pondok yang diberi nama Nurus Siroj.

Nurus Siroj diambil dari gabungan dua kata yaitu NUR nama dari ayahnya yaitu KH. Nur Salim dan SIROJ nama dari kakeknya yaitu H. Siroj. Dengan tujuan mengenang keduanya telah berjasa atas keberadaan dirinya secara material, mental, dan spiritual.

Putra KH. Nur Salim bernama KH. Abdul Kholiq ini memang sudah kelihatan memiliki keunggulan sejak usia remaja. Seperti ketekunan, kerja keras, kepemimpinan, dan kemauan yang keras untuk mencapai cita-cita. KH. Abdul Kholiq meninggalkan rumah untuk menimba ilmu pada awal tahun 1950-an, ia berangkat menuju rumah Kiai Abdul Hadi Zahid, saat itu menjadi Pengasuh Pondok Pesantren Langitan, Tuban, Jawa Timur. Belum puas dengan keilmuan yang telah dimiliki, pada tahun 1954 ia melanjutkan perjalanan menimbah ilmu kepada Syaikh Masduqi Lasem Rembang, Jawa tengah.

Di pesantren asuhan KH. Masduqi inilah ia mendapatkan banyak ilmu dan pengalaman, yang dikemudian hari sangat mempengaruhi kehidupan KH. Abdul Kholiq. Ia juga berhasil menguasai dengan baik kitab-kitab besar seperti: Jam’ul Jawami’, Uqudul Juman, Al Asybah Wan Nadlo’ir, Fathul Wahhab, Ad Dasuqi.

“Dalam menambah pengetahuan dan pengalaman, ia menyempatkan berguru thoriqot ke KH. Romli At-Tamimi asal Pondok Pesantren Darul Ulum Rejoso Jombang,” tambah Gus Falah.

Setelahbanyak menghabiskan waktunya dari pesantren satu ke pasantren yang lain. Akhirnya KH. Abdul Kholiq melangsungkan pernikahan dengan gadis dari Desa Mulyo Agung Singgahan Tuban, bernama Siti Masruroh.

Dalam pengabdianya dan menyebarkan ilmunya, KH. Kholiq tetap berusaha menata ekonomi keluarga, diantaranya mendirikan usaha-usaha seperti membuka tokoh di pasar Moropelang (1966), membuat penggilingan padi/selep (1980) di beberapa daerah, membuat setrum accu (1981), mendirikan pabrik tahu (1983).

KH. Abdul Kholiq termasuk seorang yang mempunyai kecintaan yang sangat dalam kepada tanah kelahiranya, seorang tokoh masyarakat yang mengabdikan hidupanya untuk desa tempat kelahirannya.

Banyak kemajuan-kemajuan Desa Tritunggal berkat langkah-langkah strategisnya. Ia juga sangat dekat dengan masyarakat dan suka membantu. Maka tak heran keluarga KH. Nur Salim dan KH. Abdul Kholiq sangat disegani, dihormati, dan dicintai warga masyarakat Tritunggal dan sekitarnya.

Pada tahun 1966 KH. Kholiq berangkat haji dengan transportasi kapal laut, selama kurang lebih 3 bulan. Dalam perjalanan ia bertemu dengan seorang perempuan tua (Syehoh Abbasiyyah) yang ia anggap sebagai guru dan orang tua sendiri.

Karena kebaikan budi pekerti KH. Abdul Kholiq, perempuan itu memberi hadiah yaitu tambahan nama Afandi yang berarti As-Sayyid (Tuan) sehingga menjadi KH Abdul Kholiq Afandi. Kamis legi 5 shafar 1425 H atau 25 Maret 2004 M ba’da Ashar KH. Abdul kholiq Afandi wafat di rumah sakit Islam Nasrul Ummah Lamongan. Dan dimakamkan setelah salat Jumat di sebelah timur Pondok Putra Nurus Siroj.

Hingga kini masih sangat banyak masyarakat dari berbagai kalangan berdatangan untuk ziarah dan memberikan penghormatan kepadanya. “Semoga santri Pesantren Nurus Siroj bisa meneruskan perjuangan KH. Nur Salim dan KH. Abdul Kholiq Afandi,” tandas alumni Pondok Pesantren Bahrul Ulum Jombang ini.

Pewarta: Syarif Abdurrahman

Publisher: RZ