Pak Yasin memberikan cerita dan motivasi kepada para penulis muda Tebuireng di kantor UPPT, tadi pagi (17/11/2015).
Pak Yasin memberikan cerita dan motivasi kepada para penulis muda Tebuireng di kantor UPPT, tadi pagi (17/11/2015).

tebuireng.online— Tak banyak media era 60/70-an yang bertahan hingga sekarang. Tekanan pemerintah saat itu, yang masih membatasi gerak ruang media dan pers sebagai tonggak opini publik, turut membuat media-media tersebut, pasang surut, bahkan gulung tikar, paling buruk diberendel. Majalah Tempo salah satu yang tetap bertahan, dan satu-satunya yang tidak berafiliasi dengan pemerintah. Wartawan Senior Tempo, Pak Yasin, berkunjung ke Tebuireng, untuk bercerita dan memberikan motivasi kepada para penulis muda di Kantor Unit Penerbitan Pesantren Tebuireng (UPPT), pagi tadi (17/11/2015).

Pak Yasin yang merupakan Alumni Pesantren Tebuireng era 60-an tersebut menceritakan pengalamannya dari nyantri di Tebuireng hingga menjadi wartawan di berbagai media nasional. Sahabat sebangku putra KH. Abdul Kholik Hasyim, Gus Hakam, tersebut mengaku terjun di dunia jurnalistik karena kebetulan. “Saya sebetulnya jadi wartawan karena by accident,” ceritanya. Pertama bekerja sebagai wartawan, Pak Yasin berlabuh ke koran NU, Duta Masyarakat. Ia menjadi kontributor untuk wilayah kediri dan sekitarnya.

Sebelum di Tempo ia melanjutkan pengembaraan medianya di Harian KAMI, bersama Goenawan Mohamad, pelopor jurnalisme sastrawi Indonesia. Setelah beberapa tahun bekerja di KAMI, Yasin muda melanjutkan karir kewartawanannya di Majalah Tempo bersama beberapa beberapa maestro lainnya, seperti Goenawan Mohamad, Fikri Jufri, Cristianto Wibisono, dan Usamah.

Genre Tempo yang serius dan berat, membuatnya mulai bosan. Akhirnya ia mendirikan Harian Djajakarta dibantu pemerintah DKI Jakarta yang beraliran santai dan lifestylis. Ia memandang, media-media saat itu hampir semua beraliran seperti Tempo, sehingga perlu untuk diadakan penyegaran. Selain itu, pria yang mengaku dekat dengan Gus Dur tersebut, mengatakan bahwa ada perbedaan mencolok antara media sebelum dan sesudah tahun ’85.

Sebelum tahun ’85 media berafiliasi dengan pemerintah, sehingga segala kebutuhan ditanggung pemerintah. Hal ini sebagai bentuk penekanan dan pembatasan pemerintah terhadap kebebasan pers. Sebelum terbit, sebuah media harus mendapatkan surat izin terbit terlebih dahulu dari pemerintah. Tempo yang terkenal tajam, tak mau menuruti, dan terus melakukan kritikan-kritikan menohok, hingga tahun 1982, majalah besar tersebut dibrendel pertama kalinya oleh rezim Soeharto.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Pasca ’85, lanjutnya, media sudah menjadi organisasi komersil dan diswastakan. Kebebasan pers semakin longgar dan lari semakin jauh dari kungkungan pemerintah. Apalagi, pasca reformasi, media sudah menemukan singgasananya yang pas. Namun, ia sekarang mengkritik Tempo yang menurutnya sudah sedikit bergeser orientasinya. “Dulu tempo memang sangat memperhatikan proses tabayun isu-isu yang diangkat, sekarang Tempo malah membenturkannya,” terangnya. Baginya, tabayun atau klarifikasi adalah proses yang tidak bisa ditawar oleh sebuah media.

Pria 72 tahun tersebut, bercerita, motivasinya untuk menjadi wartawan adalah sebuah ayat yang pernah disampaikan oleh gurunya di Tebuireng semasa menempa diri dahulu. “Idza ja’akum fasiqun binaba’in fatabayyanu …(Jika datang kepadamu orang fasiq menyebarkan isu-isu fitnah, maka klarifikasilah isu tersebut!),” katanya mencuplik ayat tersebut. Di depan para penulis muda Tebuireng yang tergabung dalam Sanggar Kepoedang, ia berharap para penulis dan jurnalis pesantren belajar keras dan menempa diri di dunia jurnalistik, sehingga kelak menjadi insan media yang menjunjung tinggi tabayun. (abror)