“Sepertinya kita lebih baik selesai di sini, berkali kali aku kasih kesempatan ke kamu buat berubah, jangan kayak anak kecil, belajar dewasa sama sama saling ngerti, tapi kamu tetep masih sama kayak gini…”
Laki laki berbadan tegap itu pergi dan mengilang dri pandangan Putri. Kini dirinya diruntuki penyesalan paling besar dalam hidupnya. Melepaskan laki laki yang menjadi first experience dalam kisah cintanya yang baru berjalan sekitar enam bulanan.
Putri melangkah pergi menyusuri koridor kampus C yang penuh dengan rerumptan yang sangat di benci oleh dirinya, tapi kini ia lewati untuk mengenang saat diri nya pertama kali bertemu denagn laki laki itu, iya, Sibawaihi namanya. Seorang kakak tingkat di kampusnya, yang tak sengaja menjalin kisah asmara dan kini harus usai karena perbuatan labil dirinya.
“Mau kemana, Put?”
Langka Putri terhenti, ia mengenali suara itu, iya suara sahabatnya bernama Sabila.
Saat melihat Sabila, Putri langsung berlari dan memeluk sahabatnya dan menangis sejadi jadinay di bahu sahabtnya itu. Melihat tingkat sahabatnya yang aneh, Sabila pun kebingungan sendiri.
Beberapa menit setelah menangis, Putri membuka suara “aku Putus sama kak Siba”
Mendengar itu Sabila pun menarik nafas dan mengelus punggung Putri sembari menenangkan Putri yang masih sesegukan karena Putus cinta.
“Udah nih minum dulu, ditenangin dulu, nanti baru cerita oke cantik.” Putri pun menangguk mantap dan langsung meminum pop ice taro kesukaanya.
“Barusan aku Putus, kayaknya dia marah soalnya aku labil, dan dia gak tahan kayaknya sama aku. Kok dia gitu ya, dia kan tahu gimana berantakanya aku, hidup tanpa peran ayah, tapi kenapa dia gak bisa sabar ngadepin aku,” ucap Putri sembari terus mengusap air mata yang mengalir deras di pipi.
Sabila yang terus focus mendengarkan cerita Putri yang sambil mengusap air mata dan membuang ingus, hanya tersenyu, dan berkata
“Put, kalau emang dia dewasa mah pasti akan paham dan mengerti kamu Put, karena membersamai seseorang seperti kamu pasti sangat sulit, harus kamu tahu, dewasa itu bukan dipandang dari umur, tapi dari bagaimana ia menghadapi suatu permasalahan dan cara menyelesaikan. Kalau dia dewasa tapi kayak gini sih berarti bukan dewasa,” ucap Sabila serius sembari menatap Putri yang masih menangis.
“Dan perlu kamu tahu Put, kalau emang kamu tujuan nya, kamu akan di perjuangkan, meski pun kamu banyak kekurangan, entah itu fisik, ilmu, atau bahkan tingkah laku, dia akan terus mengejar dan menjadikan kamu tujuan akhir, tapi kalau bukan kamu, kamu akan terus di buat merasa sendiri dan pada akhirnya dia menyalahkan kamu biar dia merasa kamu yang buat salah bukan dia,” tambah Sabila.
Mendengar itu Putri makin terdiam, pikiran nya berkecamuk, overthingkingnya makin tinggi benarkah dia bukan tujun, benarkah dia hanya dijadikan pelampiasan karena dia merasa gabut sendirian, sedangkan Putri menerima dia mati matian?
“Sudah jangan ngelamun, jangan sedih, nanti aku cariin kenalan deh biar cepet moveonnya…” goda Sabila sembari menoel baru Putri. Mendengar itu Putri hanya menggelengkan kepala tanda tak mau.
Seperti biasa, Sabila tak menghiraukan gelengan kepala sahabatnya itu. Yang ia tahu Putri adalah sosok orang yang gampang move on dan pasti cepet sembuh dari lukanya.
Life after break up…
Sudah hampir dua minggu lenih Putri menjalani kehidupan tanpa notif dari orang tersayang nya itu. Kehadiran Sibawaihi memang benar benar merubah kehidupan Putri yang sendu menjadi bahagia, kini kembali menjadi sendu untuk selama lamanya sebab, laki laki itu telah kuat pada prinsipnya, kalau hubungan sudah selesai ya sudah, tidak akan kembali menjilat ludah.
Seharusnya tiap pagi, Putri akan selalu mendapat sapaan indah dari kekasihnya itu, kini Putri mencoba untuk bisa hidup sendiri, tanpa kekasih yang selalu mengucapkan selamat pagi cantiknya aku, semangat ya hari ini.
Hari ini Putri ada matkul psikologi perkembangan, seperti biasa, ia akan berjalan sendirian menyusuri ruangan kelas yang berada jauh dibagian selatan. Untungnya hari ini malang sejuk, jadi dirinya tidak terlalu lelah dan sesekali angin tanpa sengaja menerbangkan hijab hingga menutupi wajahnya. Wajah yang dulu selalu ceria dan tersenyum ramah, kini terlihat murung dan selalu menundukkan pandangan.
Sudah beberapa minggu ini, sudah ada beberapa kakak tingkat yang mengajak nya kenalan, tapi sama sekali tidak di hiruakan. Ia tahu ini adalah rencana zabila agar dirinya tidak terus larut dalam kesedihan dan kegalauan.
Sesampainya di kelas, ia langsung menuju kekursi dan duduk serta mengikuti pelajaran dengan seksama.
Sudah berjalan sekitar satu jam an, akhirnya dosen memberikan beberapa wejangan sedikit kepada seluruh mahasiswa
“Setiap manusia membutuhkan waktu 15 bulan dan 27 hari untuk melupakan seseorang yang kamu cintai sepenuh hati. Untuk itu cara cepat move on ya sibukan diri kamu dengan kegiatan apa pun yang positif, perbaiki diri agar menjadi pribadi yang lebih baik,” ucap bu Asriana sebagai penutup matkul.
“Dan jangan lupa, jangan pernah mencari sosok dirinya di dalam diri orang lain, karena samapi kapan pun kamu tidak akan menemukan sosok nya pada orang lain.”
Kalimat bu Asriana benar benar menampar diri Putri. Ternyata ia benar, meskipun banyak orang baru yang datang dirinya tak bisa nyaman karena terus mencari sosok Sibawaihi di dalam diri orang lain padahal hal seperti itu tidak akan dan sangat mustahil untuk ada dan sama persis.
Kelas pun selesai dan semuanya pun bubar. Tapi Putri ingin mampir lebih dulu kekantin. Pas lewat di depan kelas Sabila, keduanya pun pergi beberangan kekantin untuk makan siang. Keduanya melangkah dan diselingi sedikit candaan. Tanpa di duga, kedua nya melihat sosok laki laki yang sama sama mereka kenali. Iya Sibawaihi. Laki laki yang telah minggalkan Putri beberapa minggu lalu, kini berjalan dan menggandeng tangan wanita tanpa kerudung di sebelahnya.
Langkah keduanya terhenti, jantung Putri seperti behenti berdetak, badannya lemas seperti tak bertulang, matanya panas dan akhirnya air matanya mengalir membahasi pipi manisnya. Ia tak perah menyangka, orang yang sangat ia cintai dengan cepatnya menemyukan sosok pengganti.
Melihat Putri menangis, Sabila bergegas menggandeng tangannya dan pergi secepat mungkin untuk menjauh . sesampainya diruang perpus, keduanya duduk dan saling berhadapan. Sabila membiarkan Putri untuk mengeluarkan semua air mata dan menangis sejadi jadinya. Pikirnya, mungkin dengan menangis menjadi cara agar ia lega dengan perasaan sakit hatinya.
Ternayta hampir 30 menitan Putri menangis, hingga kedua matanya benar benar bengkak sangking lama nya menangis
“Udah dulu, sini minum dulu,” ucap Sabila sambil memberikan air mineral.
“Sudah jangan nangisin cowo kayak dia, yang menyakiti kamu aja setenang itu lantas mengapa kamu sehancur ini saahbat ku,” tambah Tiara.
“Susah tau melupakan seseorang yang menjadi first experience dan punya semua love language lagi,” bela Putri.
“Put, kamu tuh gak boleh memaksa seseorang untuk mencintaimu, hanya karana kamu sangat tulus kepadanya.”
Benar apa yang di bilang oleh bu Asriana dan Sabila benar, ia harus bangkit dan sesegera mungkin buat ikhlas dan melupakan ya meskipun melupakan itu adalah hal tersulit yang harus dilakukan.
Terima kasih atas sepintas bahagia, atas sepintas luka atas tak tuntas nya segala rencana rencana kita.lanjutkan perjalanan mu, karena aku pun begitu, hidup lah dengan baik bersama orang barumu. Maaf kalau aku kurang bisa memahamimu dengan baik. Alangkah baiknya, jangan saling menyalahkan takdir, tapi terimalah kenyataan bahwa kita ini hanya sekedar mampir.
Meski pada akhir cerita kau melupakan jalan kembalimu pada ku, semoga hal hal baik selalu mengiringi langkahmu. Diringankanlah beban berat yang sedang kau pikul itu,semoga dipertemukan dengan seseorang yang benar benar tuhan rencanakan untukmu. Dari kejauhan dan dalam ruang yang hening, aku yang menyayangimu.
Tulisnya pada catatan kecil di buku diary pemberian Sibawaihi untuk dirinya.
Putri dan Sabila pun pergi dari perpus untuk pulang kerumah masing masing, yang pasti, Putri pulang kepada rumah yang menjadi sandaran atas setiap cobaan yang ia hadapi, yakni kembali bersujud kepada sang pencipta yang maha membolak balikkan hati.
Penulis: Wan Nurlaila Putri