santri tebuireng mengaji

Kehidupan manusia tidak akan lepas dari masalah, entah masalah ibadah, sosial, atau yang lainnya. Mengapa demikian? Karena manusia hidup selalu berdampingan. Semisal, dalam perihal ibadah manusia berdampingan dengan tuntutan Tuhan, dalam perihal sosial manusia hidup berdampingan dengan manusia lain.

Setiap manusia itu pola pikirnya berbeda-beda. Perbedaan inilah yang memunculkan masalah. Beda orang, beda pula cara mereka menyikapi masalah. Anak kecil akan menangis ketika dia mempunyai masalah. Orang dewasa akan berpikir lebih kritis dengan masalah tentang langkah apa yang akan ia ambil. Sedangkan anak pesantren yang akan membuka kitabnya dalam menyelesaikan masalah. Tetapi, apa bisa santri menyelesaikan masalah di luar pesantren menggunakan kitab-kitab yang ada di pesantren?   

Banyak ilmu di pesantren yang dipelajari menggunakan kitab-kitab. Salah satunya adalah belajar ilmu fikih. Ilmu fikih tidak hanya menjelaskan perihal ibadah, tapi juga membahas tentang permasalahan yang ada di luar pesantren, seperti jual beli, pernikahan, kejahatan, dan masih banyak lagi konsep dalam ilmu fikih yang bisa digunakan untuk menyikapi masalah di luar pesantren.

Seperti contoh dalam permasalahan transaksi tanpa sighot (akad) yang sudah lumrah terjadi, yang disebut bai’ mu’athoh dalam ilmu fikih. Di masa sekarang hampir tidak ada orang yang melakukan transaksi dengan akad. Entah itu karena ketidak tahuan mereka atau memang ribet jika transaksi dengan akad.

Padahal dalam kitab fikih fathul mu’in karangan Syaikh Al-Malibari, yang berbunyi;

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

وقبول من المشتري ولو هزلا وهو ما دل على التملك كذلك: كاشتريت هذا بكذا وقبلت أو رضيت أو أخذت أو تملكت هذا بكذا

وذلك لتتم الصيغة الدال على اشتراطها قوله صلى الله عليه وسلم: “إنما البيع عن تراض” [ابن ماجه رقم: 2185]

والرضا خفي فاعتبر ما يدل عليه من اللفظ فلا ينعقد بالمعاطاة

Imam Syafi’i melarang kegiatan jual beli tanpa sighot. Alasan beliau adalah karena jual beli adalah saling ridho antara penjual dan pembeli. Sedangkan ridho adalah sesuatu yang tidak bisa diketahui secara pasti. Sehingga, muncullah sighot atau akad yang diucapkan oleh penjual dan pembeli untuk menampakkan keridhoan antar keduanya.

Kemudian, bagaimana jika ditabrakkan dengan kenyataan saat ini, yang mana banyak orang yang sudah melakukannya? Apakah fikih bisa menyikapinya?

Maka, pendapat Imam Nawawilah yang relevan digunakan untuk menanggapi permasalahan di atas. Imam Nawawi memperbolehkan transaksi tanpi sighot karena memang tidak ada dalil khusus dalam nash tentang adanya persyaratan sighot. Beliau juga menimbang banyaknya masyarakat luar yang bertransaksi seperti ini. Sehingga kalau tetap dilarang, akan ada banyak orang yang melakukan dosa.   

Permasalahan di atas adalah secuil pembahasan yang ada dalam fikih yang masuk dalam bab muamalah. Masih banyak lagi bab yang ada di fikih guna menyelesaikan permasalahan yang ada di luar. Permasalahan di atas menunjukkan bahwa fikih selalu mempunyai jawaban atas banyak permasalahan yang terjadi, baik di masa lalu ataupun masa sekarang.

Bahkan, untuk permasalahan yang belum terjadi, belajar ilmu fikih bisa menjadi kunci untuk mengatasinya. Seandainya orang sudah mengetahui betapa luasnya ilmu fikih, apakah masih ada keraguan di hatinya untuk mendalami ilmu fikih?

Ada yang berpendapat bahwa “Barang siapa yang paham ilmu fikih, dia telah menguasai separuh dunia.” Maksud dari “menguasai” di sini adalah dia bisa menyelesaikan permasalahan yang ada. Ketika ada orang bertanya kepadanya, dia bisa dengan mudah menjawabnya secara sederhana.

Sebenanya, bagi anak pesantren, tidak cukup hanya dengan paham saja. Karena tuntutan sesungguhnya bagi santri adalah untuk berdakwah di luar pesantren. Ketika santri sudah paham seluk beluk fikih, tetapi dia sulit menyampaikannya kepada masyarakat luar, maka ilmu yang dia dapatkan hanya untuk diri sendiri, tidak untuk orang lain.

Karena untuk menjelaskan kepada masyarakat luar, santri harus bisa menyederhanakan bahasa kitab yang tinggi. Santri harus bisa membumikan bahasa fikih yang melangit agar mudah diterima oleh masyarakat luar.

Banyak santri yang masih berbelit-belit bahasanya ketika ditanya oleh orang luar. Sehingga masyarakat sulit untuk menangkap ilmu yang disampaikan oleh santri. Langkah selanjutnya bagi santri adalah bagaimana membuat ucapannya mudah dipahami oleh masyarakat. Hal ini bisa dicapai dengan memperbanyak membaca buku, menulis, dan masih banyak lagi.

Baca Juga: Bahtsul Masail Menjawab Permasalahan dalam Kacamata Fikih

Ditulis oleh Musthofa Ahmad, Mahasantri Ma’had Aly An-Nur II Malang