sumber: https://twitter.com/urusanatehr/status/639433581652119554

Oleh: Rofiqotul Anisa*

“Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Dan hanya pada hari kiamat sajalah diberikan dengan sempurna balasanmu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, sungguh, dia memperoleh kemenangan. Kehidupan dunia hanyalah kesenangan yang memperdaya”.

(Q.S Ali Imron: 185).

Seperti itulah firman Allah SWT dalam kitab suci-Nya. Perlu disadari bahwa hidup hanyalah sementara yang mana setelah kehidupan di dunia,  akan ada kehidupan kedua di akhirat yang kekal nanti. Tidak sedikit dari manusia yang terlalu memikirkan urusan dunianya daripada urusan akhiratnya, sehingga menyebabkan lalai terhadap tugasnya yang utama, yaitu menghamba kepada Sang Pencita alam semesta dan menjadi khalifah di bumi ini.

Mereka malah mementingkan pekerjaan lainnya yang bersifat duniawi. Manusia diperintahkan oleh Allah agar memahami bagaimana cara untuk menyeimbangkan keduanya. Menggapai dunia untuk menggapai akhirat.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Dalam ktitab Ihya’ Ulumiddin Imam Al-Ghazali mengatakan, “Sebaik-baik manusia adalah jika mengingat kematian dengan hati yang sibuk,  tidak tampak bekas di dalamnya. Caranya dengan memikirkan perjalanan yang direncanakannya di darat atau di laut,  karena yang menguasai hatinya adalah merenungkan kematian dan mempersiapkan untuk menghadapinya. “

Menjalankan hidup bukan semata-mata untuk kesenangan dunia saja,  tidak hanya untuk kepuasan yang bersifat sementara,  dan tidak pula untuk sekedar berhura-hura.  Akan tetapi bagaimana beramal saleh sebagai bekal di akhirat nanti dan tidak tergoda dengan tipu daya dunia yang hanya bersifat sesaat.  Karena amal kitalah yang akan dibawa dan dipertanggungjawabkan. Bukan rumah mewah, kendaraan mahal, berhektar-hektar tanah, ataupun jabatan tinggi yang akan mengiringi kita ke akhirat nanti.

Lalu bagaimanakah dengan hadis, “Bekerjalah kamu untuk kepentingan duniamu seolah-olah kamu akan hidup selamanya, dan bekerjalah kamu untuk kepentingan akhiratmu seolah-olah kamu akan mati besok”. Hadis ini sangat populer dan menjadi dalil legitimasi bahwa manusia harus terus-terus mencari harta duniawi seakan dia hidup selamanya.

Almarhum Prof. Dr. Ali Musthofa Ya’qub menjelaskan, menurut Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, hadis redaksi seperti ini tidak memiliki sanad sama sekali (lâ ashla lah) artinya tidak berasal dari Nabi SAW (hadits mauqûf). Meskipun demikian, makalah ini ternyata sangat popular di kalangan masyarakat.

Syaikh Abdul Karim al Ghazzi, pengarang kitab al-Jidd al-Hatsîs fi Bayân Mâ Laysa bi Hadîts (yaitu kitab yang memuat ungkapan-ungkapan yang diklaim sebagai hadits padahal bukan) ternyata tidak memasukkan hadis itu di dalam kitabnya. Dalam kitab al Zuhd karya Ibn al Mubarok, hadis tersebut ditemukan dengan sanadnya, hanya saja tidak bersumber dari Nabi Muhammad SAW, melainkan dari sahabat Nabi yakni Abdullah bin Amr bin Ash. Dalam disiplin ilmu hadis ini masuk hadis mauquf bukan hadis marfu’.

Hadits mauquf dapat memiliki status sama dengan hadits marfu’ apabila ia berkaitan dengan turunnya Al Quran, misalnya seorang menerangkan bahwa ayat ini diturunkan dalam peristiwa ini, dan sebagainya ataupun hal itu tidak berkaitan dengan masalah ijtihadiyah. Masalah ijtihadiyah adalah hal-hal yang merupakan pemikiran para sahabat sendiri, baik yang berkaitan dengan hukum atau yang lain.

Dari segi matan atau substansinya, ungkapan di atas juga perlu ditinjau kembali. Sebab ungkapan tadi mengandung perintah agar kita mencari harta dunia dengan luar biasa seperti akan hidup di dunia ini selamanya. Hal ini sangatlah berlawanan dengan ajaran Islam secara umum yang menghendaki agar manusia bersikap zuhud dan agar selalu ingat mati serta tidak melamun untuk hidup di dunia ini selama-lamanya.

Dalam ayat Al Quran misalnya ada dua ayat yang disebut sebagai berkaitan dengan mencari dunia. Tetapi apabila dicermati masalahnya tidaklah seperti itu. Surat al Qashas ayat 77 berbunyi, “Carilah dari apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu untuk kebahagiaan negeri akhirat dan janganlah kamu lupa bagianmu di dunia”. Ayat ini mulanya merupakan ucapam Nabi Musa as kepada Qarun, justru menyuruh manusia untuk mencari bekal akhirat, sementara untuk masalah dunia hanya dikatakan dan janganlah kamu lupa.

Banyak orang sekarang yang justru terbalik pemahamannya, sehingga ia sering member nasihat, “Carilah dunia sebanyak-banyaknya, tetapi jangan lupa kepentingan akhiratmu”. Dalam surat al Jumu’ah ayat 10 disebutkan, “Maka apabila telah ditunaikan Shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak agar kamu beruntung.”

Ayat ini tidaklah menyebutkan “carilah harta”, atau “carilah dunia”, melainkan ia hanya menyebut, “carilah kemurahan Allah” sesuatu hal yang tetap berkonotasi ukhrawi. Hadis-hadis Nabi SAW justru sarat dengan peringatan-peringatan agar manusia hati-hati dan waspada terhadap harta dan dunia. Kenyataannya tanpa ada satu ayat atau hadis pun yang menyuruh manusia untuk mencari dunia, manusia ternyata sudah menggebu-gebu dalam mencari dunia.

Oleh karena itu, tidak heran jika banyak manusia yang tampak gelisah ketika menghadapi persoalan yang bersifat duniawi  menyedihkan, merugikan, ataupun menyakitkan.  Padahal apabila kita mampu merubah kerugian tersebut menjadi keuntungan,  menjadikan setiap musibah yang terjadi sebagai nikmat yang dihadiahkan Allah kepada kita, supaya sabar dan kuat.  Maka mari mengingat bahwa pada surga yang seluas langit dan bumi yang akan menjadi rumah abadi dan memberikan kesenangan yang sempurna, kegembiraan yang agung,  dan semerbak wangi yang membuai hidung.


*Mahasantri putri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari


Sumber:

Ihya’ Ulumiddin karya Imam al Ghazali

Artikel Prof. Dr. KH. Ali Musthofa Ya’qub di Majalah Tebuireng yang dimuat ulang di: https://tebuireng.online/cinta-dunia/