Sumber gambar: https://aslibumiayu.net/8788-ternyata-bulan-sabit-dan-bintang-bukan-simbol-islam-lalu-berasal-dari-mana.html

Oleh: Hilmi Abedillah*

Simbol artinya sama dengan lambang. Ia berasal dari bahasa Yunani symballo melempar atau meletakkan bersama-sama ide atau gagasan objek yang kelihatan, sehingga objek tersebut mewakili gagasan. Simbol diwujudkan dalam bentuk, gambar, gerakan atau benda yang mewakili suatu gagasan.

Islam memiliki banyak simbol, walau sebenarnya sebagian simbol itu bukan berasal dari ajaran agama, bukan pula ada di zaman Rasulullah, melainkan dibuat oleh orang-orang di beberapa masa setelahnya. Simbol-simbol Islam misalnya bulan-bintang, bendera bertuliskan kalimat syahadat, kakbah, kaligrafi, serban, dan berbagai macam pakaian.

Pada suatu kesempatan, penulis sebagai seorang desainer grafis pernah dihimbau untuk menjauhi lambang bulan-bintang. Yang menghimbau tersebut ialah guru penulis dari kalangan aktivis NU. Menurut beliau, memasang simbol bulan-bintang ini mencirikan diri sebagai salah satu kelompok garis keras yang kini tumbuh di Indonesia. Penulis memahami itu kemudian berpikir untuk menggantinya dengan simbol lain. Padahal salah satu banom NU yaitu Anshor memakai simbol itu, hanya saja dengan sembilan bintang.

Dalam sejarah, mulanya simbol bulan-bintang digunakan oleh Kesultanan Turki Utsmani pada abad ke-10 (92301342 H/1517-1923 M) sebagai simbol resmi kesultanan. Simbol ini awalnya ialah simbol politik dan tidak ada hubungannya dengan agama. Sebelum itu, bulan-bintang merupakan lambang Kota Konstantinopel yang berhasil ditaklukkan Kesultanan Turki Utsmani pada tahun 1453. Sejak dipakai oleh Turki Utsmani yang merupakan kekaisaran Islam, lambang itu menjadi lambang umat Islam yang berada di bawah kekuasaannya. Hingga sekarang, lambang itu masih mengidentifikasikan sebagai simbol Islam.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Di kesempatan lain, penulis memberikan sebuah hasil kreasi kepada seorang klien. Di situ terdapat bendera hitam bertuliskan “Laa ilaaha illa Allah Muhammadun rasulullah”. Klien itu memberikan feedback agar penulis menghilangkan gambar tersebut. Penulis sadar, ternyata bendera semacam itu memang sering di pakai oleh kalangan yang sama dengan kasus di atas. Lebih lagi, bendera itu banyak kita lihat dikibarkan oleh ISIS (Islamic State of Iraq and Syiria) yang sudah terkenal kebengisannya membunuh banyak orang.

Bendera bertuliskan “Laa ilaaha illa Allah Muhammadun rasulullah” sudah ada sejak masa Nabi Muhammad dengan sebutan liwa’ dan rayah. Liwa’ ialah bendera putih berukuran besar dengan tulisan hitam, sementara rayah berukuran kecil digunakan saat berperang dan dipindahtangankan dari khalifah ke panglima. Mungkin karena fungsinya sebagai panji perang, sehingga tidak pantas dikibarkan dalam kondisi damai.

Lebih dari itu, sekarang cadar juga identik sebagai pakaian orang berpaham radikal. Apalagi setelah rangkaian kejadian bom bunuh diri yang meledak di wilayah Surabaya dan sekitarnya belakangan ini. Mungkin ada yang menyanggah bahwa model pakaian tersebut lahir dari budaya Arab. Namun harus diakui, cadar merupakan pakaian penutup aurat sesuai dengan pendapat mazhab Syafi’i, yakni menutup seluruh anggota badan tanpa terkecuali (dalam keadaan di luar shalat). Begitulah kira-kira kondisi di Indonesia sekarang ini. Padahal, tidak semua yang bercadar itu radikal. Perlahan cadar sebagai simbol radikalisme akan semakin menguat, bukan lagi sebagai simbol Islam.

Awalnya, penulis tidak mempermasalahkan pencantuman simbol-simbol tersebut karena merupakan simbol Islam. Namun lama kelamaan muncul stigma yang mencirikan pemakainya sebagai golongan garis keras. Sehingga untuk menghindari anggapan-anggapan yang tidak sesuai itu, penulis mulai jauh-jauh dari simbol-simbol tersebut.

Pertanyaannya, masihkah Islam butuh dengan simbol-simbol itu? Untuk menjawabnya, tentu butuh pemikiran yang amat rumit. Orang yang masih berpengetahuan setingkat penulis ini tidak akan mampu menjawabnya. Mengembalikan simbol-simbol itu menjadi simbol Islam, bukan simbol radikalisme termasuk pekerjaan yang berat. Namun jika simbol itu ditinggalkan, sama saja seperti orang Indonesia yang direbut batiknya tapi diam saja. Dan apakah kita juga membiarkan kebudayaan dan kekayaan kita diambil?

Lebih parah lagi jika Islam sudah menjadi simbol radikalisme. Itu artinya setiap orang yang memeluk agama Islam, dia pasti punya keinginan untuk memaksa orang lain agar seiman. Seperti itulah yang diusahakan oleh musuh-musuh kita di luar sana. Untungnya itu hanya menjadi isu internasional, sedangkan di Indonesia Islam masih berwajah kasih.

Penulis juga masih menimbang-nimbang, apakah untuk merebut kembali simbol Islam kita harus tidak segan memakai simbol-simbol itu? Saat kita sudah tidak segan memakainya, bagaimana kalau kita malah dicap dengan stigma yang buruk tadi? Situasi dilematik ini yang membuat penulis sukar untuk menentukan antara dua pilihan tadi.

Dari semua itu, catatan yang paling harus diingat ialah bahwa simbol bukanlah substansi. Islam penuh dengan simbol-simbol. Kakbah adalah simbol, sementara shalat kita menyembah kepada Allah SWT. Orang yang memakai baju ihram adalah simbol bahwa ia sedang berhaji. Orang yang berjubah-serban adalah simbol orang yang bertakwa. Semua itu hanya simbol, sehingga tak jarang simbol-simbol itu bertentangan dengan substansi yang sesungguhnya.


*) Redaksi Majalah Tebuireng