Oleh: Moh. Zulfikri*
Mentari pagi kembali menyinari, memecah sejuknya pagi. Suasana hangat membuatku semangat untuk memulai hari. Hari ini memang lebih semangat dari biasanya, bagaimana tidak? Hari ini adalah hari terakhir dari ujian akhir semester, menandakan libur panjang akan dimulai.
Namaku Ahmad Rian. “Rian”, begitu teman teman memanggilku. Seorang mahasiswa rantau sekaligus santri di Pondok Al-Karim Jombang. Jarum jam menunjukan pukul 7 pagi. Segera kubersihkan diri dan melangkah dengan pasti ke kampus untuk mengikuti ujian. Dengan tenang kuselesaikain soal ujian, mengumpulkannya ke dosen pengawas, dan berjalan ke luar kelas tanpa menghiraukan peserta ujian lain yang masih bergelut dengan lembar ujiannya.
Setelah ujian berakhir, aku dan teman temanku nongkrong di kantin kampus, suasana riuh kantin tidak mengganggu kami dalam obrolan menyusun rencana untuk mengisi liburan.
“Jadi ke mana nih, liburan tahun baru?” celetuk salah satu temanku. Yang terlintas di pikaranku adalah Jogja.
“Jogja kayaknya menarik,” sahutku meyakinkan.
“Setuju,” timpal semua temanku menyetujuinya.
Karena hari ini ujian terakhir. Selepas berbincang, aku segera balik ke pondok untuk beristirahat. Sesampainya di depan pondok, kang Lasin menyapaku.
“Gimana ujiannya, aman?” tanya kang Lasin.
“Aman kang, lancar,” jawabku.
“Mantap kalau gitu. Masih ada ujian ga?” tanyanya lagi.
“Udah selesai kang, cuma satu mata kuliah,” jawabku.
“Ow, oh iya, nanti sore tolong bantu persiapan untuk acara penutupan yah,” pintanya. Aku mengangguk, mengiyakan.
Kang Lasin, ketua di pondokku. Muhlasin nama lengkapnya. Namun, aku sering menyapanya dengan sapaan kang Lasin. Dua tahun lebih tua dariku. Setelah ngobrol dengannnya. Aku langsung menuju kamar untuk melepaskan lelahku.
Suara gemericik air dari kamar mandi membangunkan tidur siangku. Kulihat kearah jam dinding sudah menunjukkan pukul empat sore. Aku bangun dari tidur, mandi, dan segera mempersiapkan apa saja yang dibutuhkan nanti malam ketika acara penutupan diniyah di pondok.
“Woi bangun woi,” teriak kang Lasin membangunkan santri yang masih asik dengan tidurnya.
Suara lantang itu membangunkan para santri yang masih terlelap dalam tidurnya untuk bergegas membersihkan diri dan segera mempersiapkan segala hal yang dibutuhkan nanti malam.
Saat malam tiba. Selepas jamaah Isya, aku dan teman teman santri yang lain berkumpul. Menunggu para ustad datang dan acara dimulai. Aku duduk dekat kang Lasin.
“Kang, liburan kemana?” tanyaku dengan melempar senyum.
“Gak kemana-mana, di sini aja, ngopi,” katanya.
Aku bingung pada kang Lasin, apa dia tidak pusing dengan masalah yang ada di pondok begitu banyak? Setiap ada santri yang yang bermasalah, kang Lasin yang kena omelan bu nyai. Namun, ia terlihat biasa saja. Waktunya liburan malah di pondok saja. Bukankah setiap orang butuh liburan.
Beberapa jam kemudian, Ustadz sudah datang, acara pentupan pun dimulai. Diawali dengan pembacaan istighasah, kemudian dilanjutkan dengan sambutan, lalu ditutup dengan doa dan makan bersama.
****
Sebagai anak sudah seharusnya meminta restu dan uang saku pada orang tua. Tiga hari sebelum liburan ke Yogyakarta, aku sampaikan permintaanku pada bapak melalui telepon. Namun, bapak tidak mengiyakan karena banyak keperluan lain yang lebih penting yang harus dibayar. Sedih menerima jawaban bapak yang kali ini belum bisa mengabulkan permintaan anaknya.
Kupendam dalam-dalam semua rencana liburanku. Terlintas iri di hati melihat teman-teman santri lain yang berpamitan mengisi waktu liburan, ada yang ke pantai, naik gunung, ataupun pulang ke rumah. Sebab, rumah mereka bisa dijangkau dengan sehari perjalanan. Sementara aku, hanya menghabiskan waktu liburanku di pondok. Tersisa tiga orang santri di pondokku. Aku, kang Lasin, dan satu lagi, Ewin. Namun ia mempunyai keluarga di Jombang, sehingga sering menginap di sana.
Saat malam tahun baru tiba, hanya tersisa aku dan kang Lasin yang ada di pondok. Kang Lasin mengajakku minum kopi di warung langganannya.
“Yan, nggak ngopi tah? Temenin ngopi yuk!” kang Lasin mengajakku ke luar pondok untuk ngopi, menikmati waktu yang longgar.
“Hhmmm… Ayok deh kang, males juga di pondok,” sahutku yang mulai merasa bosan.
Aku dan kang Lasin pun berjalan ke luar menuju warkop langganannya. Sembari berjalan aku berpikir heran, kenapa kok kang Lasin selalu bahagia padahal dia tidak bisa liburan seperti teman lainnya.
Akhirnya aku dan kang Lasin pun tiba di warkop langganannya, seperti biasa kang Lasin memesan kopi hitam pekat dan aku memesan kopi susu kesukaanku. Sembari menunggu pesanan datang, aku bertanya pada kang Lasin atas keherananku dengan apa yang dirasakan oleh kang Lasin.
“Kang, aku bingung, ini tahun baru pertama aku tanpa liburan dan tanpa ada orang tua di sisiku. Aku merasa bosan dengan kesendirianku, aku yang kemarin punya rencana liburan, ternyata gagal karena uang saku menipis. Dan akhirnya tahun baru ini aku hanya berdiam diri di pondok, meratapi nasib di tengah kesendirianku. Tapi anehnya kok kang Lasin biasa-biasa aja, bahkan bisa senyum lepas meskipun liburan tahun baru ini hanya di pondok saja, tidak kemana-mana. Sekiranya apa yang membuat kakang bisa santai aja di tengah kesederhanaan dalam liburan yang membosankan ini?” aku memulai segala curhatanku ke kang Lasin.
Di antara curhatan dan segala kesedihanku, pesanan kopi pun diantarkan, kang Lasin mendengarku sembari menyeruput kopinya sebelum menjawab pertanyaanku.
“Aaarrggghhhhhhh……” kopi hitam telah dinikmati oleh kang Lasin.
“Hhmmm…” kang Lasin berpikir sembari menyusun kata-kata untuk memulai menanggapi curhatanku. “Setiap orang, itu memiliki kebahagiaan masing-masing dengan cara yang berbeda-beda. Aku bisa bahagia dengan cara ini. Kamu bisa bahagia dengan cara itu,” ungkap kang Lasin.
“Tapi satu hal yang harus kamu ingat, bahagia itu tak perlu mewah, kesederhanaan pun bisa membawa kebahagiaan,” imbuhnya sebelum aku sempat menanggapi jawabannya.
“Kopi. Nih,..” Sambil menunjukkan kopinya.
“Dengan harganya yang cuma 3 ribu aja, bisa membawa kebahagiaan dari berbagai kalangan. Kunci kebahagiaan itu bukan terletak pada materi, tapi terletak pada bagaimana cara kamu bersyukur dan menikmati kehidupanmu. Jangan mengikuti nafsu dan pikiranmu dalam mencari kebahagiaan, karena kamu gak bakal menemukannya dengan cara itu, tapi carilah kebahagiaan dengan hati nuranimu, karena sejatinya kebahagiaan datangnya dari hati yang tulus bukan dari nafsu yang bulus,” kang Lasin mulai memberiku nasihat soal mencari kebahagiaan. Aku mendengarkan dengan seksama.
Obrolan dengan kang Lasin mengajarkanku agar tak selalu menyalahkan keadaan, agar aku lebih pandai mensyukuri apa yang ada dan menghargai nikmat yang diberikan Allah. Aku mulai tahu, bahwa dengan bersyukur dan menerima takdir yang digariskan pada kita, membuat kita akan tetap hidup tenang dan bahagia.
*Mahasiswa Unhasy Tebuireng Jombang.