Ilustrasi: M. Iqbal

Oleh: Muhammad Masnun*

Surabaya mencekam. Terorisme menunjukkan taringnya kembali. Pada Minggu, 13 Mei 2018, di saat ribuan masyarakat Jawa Timur membaca istighosah dan doa bersama di lapangan Polda Jawa Timur, terjadi pengeboman di tiga gereja lintas aliran di Surabaya, yakni Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela di Jalan Ngagel Madya, Gereja Kristen Indonesia (GKI) di Jalan Diponegoro, dan Gereja Pantekosta Pusat di Jalan Arjuna. Lalu, pada Ahad malam kemarin publik dikejutkan kembali dengan bom di Rusunawa Wonocolo Sidoarjo, belakang Polsek Taman. Senin pagi tadi, menambah daftar kasus teror maraton ini, Mapolrestabes Surabaya juga menjadi sasaran teror bom bunuh diri.

Menurut data dari Kompas.com, Polda Jatim menyebut ada 17 orang tewas dalam serankaian bom pada hari Ahad. Rinciannya, 14 orang meninggal dunia dan 41 orang mengalami luka-luka akibat pengeboman ini di tiga geraja di Surabaya dan tiga orang meninggal di Rusunawa Wonocolo Sidoarjo. Sementara data dari tribunnews.com empat (4) orang tewas dalam serangan bom di Mapolrestabes Surabaya.

Kapolri Jenderal Tito Karnavian menyatakan bahwa pengeboman itu dipimpin oleh Dita Supriyanto, Ketua Jamaah Ansharut Daulah (JAD) Surabaya. Pelaku pengeboman di tiga gereja Surabaya adalah satu keluarga. JAD merupakan kelompok pendukung utama ISIS. JAD di Indonesia didirikan oleh Aman Abdurrahman yang sekarang ditahan di Mako Brimob. Tito menganggap kasus ini ada hubungannya dengan bentrok Napi Terorisme dan polisi di Mako Brimob.

Bicara soal kasus terorisme, sering kali Islamlah yang dikambinghitamkan. Islam Indonesia yang sejatinya sejuk dan moderat menjadi tercemar dengan adanya terorisme. Dalam buku Radikalisme Retoris karya Dr. Fathurin Zen, Sh., M.Si disebutkan bahwa penggabungan “Islam” dan “Teroris” itu diawali ketika peristiwa 11 September 2001. Sebelum itu, keduanya tidak saling berkaitan secara langsung.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Amerika Serikat yang kala itu dipimpin oleh Presiden George W. Bush seolah-olah pahlawan global “Anti Teror”. Tesis Samuel Huntinton tentang adanya benturan antara budaya yang dialamatkan pada komunitas Islam menjadi pemicu bagi stigmatisasi Islam sebagai agama kekerasan, semakin menambah kesalahan pandang dunia Barat terhadap Islam secara keseluruhan.

Perang melawan terorisme yang pada awalnya murni untuk mengutuk tindakan kekerasan yang tentu saja musuh bersama umat manusia, oleh pemimpin dan media Amerika diubah secara perlaham melalui terpaan opini publik global menjadi perang melawan Islam. Ada yang secara tegas dan tajam menyerang kelompok Islam radikal, tetapi selanjutnya digeneralisasi menjadi umat muslim.

Kebanyakan pengeboman yang terjadi praktiknya dengan bunuh diri. Pelaku merelakan dirinya mati atas ideologi yang dia ikuti. Dengan jargon “Isy kariman au mut syahidan (hidup mulia atau mati syahid” seolah menjadi dewa doktrin. Bahkan mereka bisa jadi bangga atas apa yang mereka lakukan. Ideologi bisa menembus batas pemikiran nalar seseorang.

Memang pelaku kejahatan sulit teridentifikasi apabila kejahatan itu belum terjadi. Ditambah lagi regulasi undang-undang terorisme yang masih kurang mendukung. Maka, perlu diberlakukan undang-undang yang preventif serta efektif terhadap terorisme. UU yang sekarang, tidak bisa menjadikan polisi menangkap seseorang tanpa melakukan pidana terlebih dahulu dan ada bukti hukumnya.

Proses revisi Undang-Undang tentang Terorisme yang tidak kunjung usai mengakibatkan munculnya kekecewaan masyarakat terhadap wakil-wakil rakyat. Wakil yang ada di kursi singgasana Senayan terkesan menarik ulur mengenai terorisme. Muncul spekulasi bahwa ada kepentingan di balik belum terselesainya revisi undang-undang.

Menurut Prof. Dr. Achmad Mubarok, MA., terorisme memiliki tiga ciri, yakni (1) menyebarkan rasa takut kepada publik, (2) menghancurkan infrastruktrur publik seperti gedung jembatan atau alat transportasi publik, (3) menimbulkan korban tak berdosa dalam jumlah besar.

Peperangan teror dan anti teror dewasa ini sebenarnya merupakan peperangan antara dua teroris. Pertama, teroris yang berusaha mendominasi kekuasaannya (terutama ekonomi) di dunia. Kedua, teroris yang dalam posisi terpojok dan dengan segala keterbatasan yang dimilikinya merasa harus mempertahankan eksistensinya dengan segala cara. Melihat dari data-data tersebut, terorisme yang terjadi di sini adalah teroris yang posisinya terpojok. Pimpinan mereka terkurung di penjara Mako Brimob. Ini merupakan bentuk resistensi atau perlawanan mereka.

Presiden Indonesia, Joko Widodo menyatakan bahwa korban-korban akan dijamin semua biaya pengobatan dan perawatannya oleh negara. Memang sudah seperti itu yang harus dilakukan. Namun perlu diawasi pelaksanaannya, jangan sampai hanya penghibur belaka.

Tragedi di Surabaya dan Sidoarjo dua hari ini, memberikan penjelasan kepada publik bahwa siapa saja bisa menjadi pelaku teror. Satu keluarga di Surabaya, yaitu bapak, ibu, dan keempat anaknya mengebom diri di tiga titik. Mereka layaknya keluarga yang bekerjasama dengan pembagian tugas yang  cukup jelas. Siapa sangka, kepala rumah tangga dan ibu rumah tangga yang dikenal tidak tertutup dan biasa bersosialisasi dengan lingkungannya bisa mengajak serta anak-anaknya yang tiga di antaranya di bawah umur melakukan tindakan teror bom.

Maka, kita perlu menjaga betul anggota keluarga kita dari doktrinasi ekstrim apapun motif dan caranya. Mereka yang melakuka pencucian otak, bisa masuk dalam berbagai organisasi, majlis keilmuan agama, organisasi pemuda, hingga masuk ke sekolah-sekolah dan kampus. Pastikan keluarga kita bebas dari hal-hal tersebut.

Namun, masyarakat tidak perlu merasa ketakutan sebab aksi terorisme yang terjadi. Bila merasa takut, maka mereka sukses menjalankan terornya. Semua upaya penangkalan dan pencegahan terorisme harus dilakukan secara bersama-sama, masif, dan berkesinambungan. Pendidik memberikan ilmu yang baik. Juru dakwah memberikan pesan-pesan Islam santun dan mencerahkan. Keluarga memberikan perhatian yang cukup terhadap anggota-anggotanya. Dan penegak hukum yang berjalan dengan koridornya.

Islam adalah agama damai. Islam adalah agama cinta dan kasih. Islam tidak mengajarkan kekerasan, justru mengajarkan berbuat baik pada sesama, termasuk pada non-muslim, bahkan pada hewan, tumbuhan, dan alam. Kalau kita ingin Indonesia tidak seperti Suriah dan negara-negara terdampak kaum ekstrimis lainnya, maka pemerintah, aparat, dan rakyat harus bersatu melawannya. #KamiTidakTakutTeroris #Bersatulawanterorisme #TerorismebukanIslam #Islambukanterorisme.


*Pengurus Cabang PMII dan redaktur Tebuireng Online