Oleh: Nurdiansyah Fikri Alfani*

Dalam sebuah waktu, Rasulullah pernah berpesan “Sampaikanlah dariku walau satu ayat” inilah yang menjadi dasar motivasi bagi umat Islam untuk berdakwah. Dakwah sendiri bisa diartikan sebagai sebuah aktivitas yang dilakukan orang muslim dengan tujuan menyebarluaskan ajaran agama Islam.

Orang yang berdakwah disebut sebagai da’i. Objek dakwah ini bermacam-macam, bisa dari orang muslim sendiri maupun tidak, karena cakupan dari dakwah sendiri sangatlah umum, cuma materinya saja berbeda sesuai dengan objek yang disasari dakwah. Di Indonesia sendiri banyak perbedaan pendapat mengenai awal masuknya dakwah Islam.

Ada yang mengatakan kalau agama Islam hadir di Indonesia sejak zaman Nabi hidup, ada juga yang mengatakan kalau Islam dibawa oleh para pedagang dari Timur Tengah atau Gujarat di India, masyhur pula sebuah pendapat kalau Islam dibawa ke Indonesia oleh para ulama yang bergelar wali songo, mereka ini ibaratkan sebuah komunitas dakwah yang punya visi dan misi untuk menyebarkan agama Islam di Indonesia.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Kemudian ada suatu hal yang menarik jika kita lihat dari cara dakwah wali songo terhadap penduduk Indonesia pada waktu itu. Kita ambil contoh misalnya Sunan Kudus atau Syekh Ja’far Shadiq yang dakwahnya berdomisli di Kudus Jawa Tengah. Keunikan dari Sunan Kudus dalam mengenalkan Islam pada penduduk Indonesia ialah dengan hal-hal yang remeh.

Misalnya, beliau membuat perkumpulan yang melibatkan seluruh aspek masyarakat di daerah itu, dan ada persyaratan ketika akan memasuki forum mereka diharuskan mencuci kaki terlebih dahulu di kolam yang telah disediakan. Ada juga aspek seni dalam dakwah Sunan Kudus, dibuktikan dengan arsitektur dari bangunan masjid Kudus yang masih kental dengan ajaran Hindu pada waktu itu, lalu beliau juga memberikan solusi bagi orang yang ingin berkurban tidak menggunakan sapi tetapi dengan kerbau, karena orang Hindu percaya kalau sapi adalah binatang yang dihormati.

Islam memang sangat mendukung kegiatan dakwah ini, tetapi perlu diperhatikan juga kita tidak boleh sembrono dalam melakukan dakwah. Kita harus cermat mengamati siapa yang akan kita jadikan objek dakwah, dan apa materi yang pantas dikemukakan untuk berdakwah. Dalam kitab madkhol ila ilmi dakwah karya Syekh Musthafa al-Bayanuni, ada keterangan yang menyinggung betapa krusialnya tahapan dalam dakwah ini.

Beliau dalam kitabnya berkata kalau dakwah harus disesuaikan dengan objek dakwah dari segi umur, keadaan, dan tingkatan, dan beliau mengistilahkan hal ini dengan at-Tadarruj. Tidak mungkin kita berbicara dengan anak SD tetapi dengan diksi yang sangat formal dan kesannya akademis. Dalam kitabnya, Syekh Mustafa mengutip ayat al-Quran surat al-Maidah ayat 48 yang menjelaskan bahwa umat nabi terdahulu diberi masing-masing syari’at yang berbeda antara satu umat dengan lainnya:

 لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَّمِنْهَاجًا…الأية ۗ…

Artinya: “…Untuk setiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang…”

Lalu juga ada sebuah perkataan yang berasal dari Siti Aisyah r.a.:

إِنَّمَا نَزَلَ أَوَّلَ مَا نَزَلَ مِنْهُ سُورَةٌ مِنْ الْمُفَصَّلِ فِيهَا ذِكْرُ الْجَنَّةِ وَالنَّارِ حَتَّى إِذَا ثَابَ النَّاسُ إِلَى الْإِسْلَامِ نَزَلَ الْحَلَالُ وَالْحَرَامُ وَلَوْ نَزَلَ أَوَّلَ شَيْءٍ لَا تَشْرَبُوا الْخَمْرَ لَقَالُوا لَا نَدَعُ الْخَمْرَ أَبَدًا وَلَوْ نَزَلَ لَا تَزْنُوا لَقَالُوا لَا نَدَعُ الزِّنَا أَبَدًا

(صحيح البخاري كتاب فضائل القران باب تأليف القران رقم 4993)

Artinya: Sesungguhnya yang pertama-tama kali turun darinya adalah surah AlMufashshal yang di dalamnya disebutkan tentang surga dan neraka. Dan ketika manusia telah condong ke Islam, maka turunlah kemudian ayat-ayat tentang halal dan haram. Sekiranya yang pertama kali turun adalah ayat, ‘Janganlah kalian minum khamar.’ Niscaya mereka akan mengatakan, ‘Sekali-kali kami tidak akan bisa meninggalkan khamar selama-lamanya.’ Dan sekiranya juga yang pertama kali turun adalah ayat, “Janganlah kalian berzina..’ niscaya mereka akan berkomentar, ‘Kami tidak akan meniggalkan zina selama-lamanya.”

Al-Quran sendiri datang dengan tidak cara terburu-buru, Allah paham betul kondisi masyarakat pada waktu itu, karena apabila mereka dipaksa untuk meninggalkan budaya dengan terburu-buru maka yang dikhawatirkan mereka akan memberontak.

Dapat disimpulkan, memanglah para da’i diharuskan tahu posisinya dalam berdakwah dan objek sasaran dakwahnya, karena akan sia-sia jika poin ini diabaikan. Dakwah yang seharusnya disampaikan dengan konteks di mana ia disampaikan malah disalahkaprahkan caranya oleh para da’i yang belum paham betul urgensi at-tadarruj dalam dakwah.


*Santri Tebuireng