ilustrasi: Tirto.ID

Oleh: Al Fahrizal*

Dalam dunia percintaan, sudah sangat umum ungkapan “jatuh cinta” atau dalam bahasa sering diistilahkan, falling in love. Sebagaimana pada artikel saya sebelumnya, orang-orang yang tengah jatuh cinta setidaknya memiliki tujuh ciri, sebagaimana yang ditulis oleh Syaikh Ibn Qoyyim Al-Jauzy.

Namun, ada satu padanan istilah yang dikenalkan oleh seorang psikolog sosial, serta filsuf berkebangsaan Jerman bernama Erich Fromm (1980), yakni standing for love atau jika diterjemahkan “bangun cinta”.

Istilah tersebut dipopulerkan oleh Erich Fromm lewat bukunya, The Art of Love (Seni Mencintai). Menurut Erich, konsep jatuh cinta cenderung mendorong seseorang bersikap pasif, ia hanya siap untuk dicintai tetapi tidak untuk mencintai.

“Jika takut tidak dicintai, berarti kamu tidak siap untuk mencintai.” – Erich Fromm

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Fall in love mendorong seseorang untuk bertindak sesuai apa yang disukai oleh orang yang dicinta. Jika memperhatikan fenomena orang-orang yang tengah kasmaran, mereka siap melakukan apa saja agar lawannya suka kepada dirinya. Mulai dari memperindah penampilan dengan berbagai treatment perawatan tubuh agar lawan jenisnya selalu menaruh cinta dan perhatian. Bahkan, tidak sikap dan perilaku seseorang yang sedang jatuh cinta juga akan berputar seratus delapan puluh derajat, sesuai yang diharapkan oleh sang kekasih.

Pada dasarnya, perubahan seseorang yang terjadi karena sedang jatuh cinta tidak salah, selagi berubah ke arah yang lebih baik. Tetapi Erich mengkritik konsep ini, karena kalau semua orang hanya konsen agar terus dicintai, lalu siapa yang siap untuk mencintai?

Konsekuensinya dari itu semua adalah exchange relationship: menyandarkan hubungan mereka pada keindahan fisik dan apa yang dimiliki pasangannya, baik harta, jabatan atau status sosial. Saat sudah bosan dengan hal-hal tersebut, mereka akan saling meninggalkan satu sama lain. Bukankah fenomena ini sering kita jumpa di tengah-tengah kita? Bahkan ada ungkapan yang terdengar seperti pepatah, “ada uang abang kusayang, tak ada uang abang kutendang,” Na’udzubillah.

Itu semua disebabkan orentasi dalam hubungan ataupun hal yang mereka lakukan adalah keinginan bukan kehendak penuh.

Maka dari itu Erich Fromm memberikan step-step agar cinta tak hanya jatuh, namun juga bangun, Standing for love. Berikut hal-hal yang harus dimiliki bagi sang pecinta:

1. Knowledge (ilmu)

Seorang pecinta sejati perlu belajar dan mencari tahu apa-apa saja tentang pasangannya. Entah itu yang disukai, dibenci, atau yang dilakukan sehari-hari. Sehingga ia akan senantiasa menjaga hubungan cintanya agar tetap selalu harmonis. Karena membangun hubungan yang baik adalah membangun pengetahuan. Semakin tajam pengetahuan kita tentang pasangan kita, semakin jauh kita jatuh dalam jurang perselisihan. Bukankah perselisihan dan masalah-masalah lain yang sering terjadi di muka bumi ini, berawal hanya dari salah paham mengenai lawan?

2. Respect (Menghargai)

Menghargai satu sama lain adalah modal utama dalam membangun cinta. Setiap manusia punya dunia masing-masing, tak cukup hanya tahu tentang dunia pasangannya, kita juga harus menghargai dunia pasangan kita tersebut. Sederhananya, saat pasangan ingin kumpul dengan sahabatnya, entah hanya sebatas temu, atau melepas rindu, kita perlu menghargai dunianya tersebut. Pun demikian sebaliknya.

3. Care (Peduli)

Hampir-hampir mirip dengan poin kedua, sikap peduli ini sering kali bercampur dengan respect. Hanya saja titik perbedaannya, terletak pada jika sesuatu yang membahayakan dan merusak bagi orang yang dicintai maka disinilah perlu sikap care, peduli. Selagi permintaan pasangan tersebut baik dan bermanfaat bagi dirinya, perlu respect terhadapan permintaan tersebut. Jadi respect bukan berarti los-losan pada pasangan tapi perlu batas terhadap pasangan tersebut.

4. Responsibility (Tanggung Jawab)

Lanjutan dari ketiga, sang pecinta tak respect dan care pada pasangannya tapi juga tanggung jawab. Dalam kasus kecil misalnya, kita melarang pasangan kita merokok, tak hanya sebatas melarang, perlu juga memberikan solusi atas pelarangan tersebut. “Yang, kamu berhenti rokokannya, ini minum susu aja, pengganti rokok yaa.” Demikian ini yang dimaksudkan responbility terhadap keputusan pasangannya.

Muara dari konsep standing for love yang dicetuskan oleh Erich Fromm ini adalah cinta itu tidak cukup hanya sekadar rasa saja, tapi juga harus diaktualkan. Karena cinta itu adalah sikap aktif, bukan pasif.

“Ga cukup hanya di kata, tapi juga sikap. Biar cintamu ga gombal.”

*Alumni Mahad Aly Tebuireng Jombang.