KH. Salahudin Wahid (Gus Sholah) saat menyampaikan sambutannya dalam Seminar Nasional “Aktualisasi Pemikiran Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari dalam Konteks Kenegaraan dan Kebangsaan” di Pesantren Tebuireng.  (Foto: Kopi Ireng)

Oleh: KH. Salahuddin Wahid*

Menurut Bung Karno guru nasionalisme beliau adalah Douwes Dekker yang mendirikan Indische Partij pada 1912 bersama Dr Tjipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat. Semboyan partai itu ialah “Hindia bagi orang Hindia”. Bangsa Hindia yang diperjuangkan oleh ketiga tokoh itu ialah bangsa yang tidak didasarkan pada suku, agama, atau kedaerahan. Bangsa Hindia didasarkan pada kesamaan cita-cita untuk menjadi bangsa yang merdeka, adil dan bermartabat.

Pada 1913 Tjipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat diasingkan ke Belanda. Di sana mereka bergabung dengan “Indonesische Vereeniging” yang didirikan pada 1908 oleh orang-orang Indonesia di Belanda. Pada 1922 pada saat Dr Soetomo menjadi Ketua, “Indische Vereeniging” berubah nama menjadi “Indonesische Vereeniging”. Lalu pada 1925 berubah menjadi “Perhimpunan Indonesia” saat dokter Soekiman Wiryosanjoyo menjadi Ketua. “Perhimpunan Indonesia” mulai bergerak dalam bidang politik sejak Ahmad Subardjo dan Mohammad Hatta bergabung kedalamnya. Semboyan “Hindia untuk orang Hindia” diubah menjadi “Indonesia untuk orang Indonesia”. Pada 1924, majalah mereka yang bernama “Hindia Putra” diubah menjadi “Indonesia Merdeka”. Anggota Perhimpunan IndonesiaI yang lain ialah Arnold Mononutu, Sutan Sjahrir, Mr Sunario.

Kongres Pemuda 1928 melahirkan Sumpah Pemuda yang isinya ialah bertumpah darah yang satu; tanah Indonesia, berbangsa yang satu, bangsa Indonesia, menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Bangsa Indonesia yang dimaksud di sini juga tidak menyinggung agama. Yang pertama membawa agama ke dalam masalah politik ialah HOS Tjokroaminoto yang menulis buku “Sosialisme Islam”. Setelah itu Bung Karno membuat tulisan berjudul “Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme”. Gagasan itu lalu dikembangkan menjadi Nasakom pada awal 1960-an dan berakhir setelah terjadi pemberontakan G30S/PKI pada 1965.

Masalah agama dalam kehidupan politik di Indonesia baru muncul dalam persidangan BPUPKI pada Juni 1945, saat para pendiri bangsa harus menentukan dasar negara, apakah Islam atau Pancasila. Komprominya ialah Pancasila 22 Juni 1945 yang sila pertamanya berbunyi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Kompromi itu pada 17 Asustus 1945 ditolak oleh sekelompok anak muda yang menyatakan bahwa kalau sila pertama isinya seperti itu, maka kaum Nasrani dari Indonesia Timur tidak akan bergabung dengan RI. Para tokoh Islam legawa untuk menghilangkan tujuh kata itu dan menyetujui sila pertama menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Pada 1956-1959 dalam Konstituante, Partai NU bersama partai-parta Islam lain kembali memperjuangkan negara berdasar Islam. Upaya ini juga tidak berhasil. Ketika Konstituante menghadapi jalan buntu dan ada usul supaya Konstituante mengambil UUD 1945 sebagai UUD hasil produk Konstituante, NU menginginkan tujuh kata Piagam Jakarta dimasukkan ke dalam sila Ketuhanan. Akhirnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 memberlakukan kembali UUD 1945, yang sila pertamanya ialah Ketuhanan Yang Maha Esa.

Pada akhir 1984 Muktamar NU ke-27 mengakui Pancasila sebagai dasar negara. Sikap NU yang didasarkan pada kajian tentang hubungan Islam dan Pancasila yang disusun oleh KH. Achmad Siddiq itu, mengubah secara mendasar peta kepartaian di Indonesia. Menarik perhatian kita bahwa yang menyusun kajian tentang hubungan Islam dan Pancasila  adalah seorang kiai pesantren, bukan profesor dari universitas. Kiai Ahmad Siddiq adalah santri Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari. Saya menduga bahwa pengaruh pemikiran Hadratussyaikh terhadap Kiai Ahmad Siddiq dalam menyusun naskah dokumen tersebut cukup besar. Ormas Islam lain mengikuti untuk menerima secara resmi Pancasila sebagai dasar negara.

Menjadi pertanyaan yang sulit untuk dijawab, mengapa selama hampir 40 tahun ormas Islam baru menerima Pancasila? Saya menduga bahwa para tokoh Islam dan para ulama menafsirkan  bahwa Pancasila itu bersifat sekuler, tidak bersifat agamis, padahal sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Tafsiran itu timbul karena dalam berbagai kesempatan Bung Karno sering menyebut nama Kemal Attaturk sebagai tokoh yang menjadi rujukan Bung Karno. Para tokoh Islam mengetahui bahwa Kemal Attaturk itu menghambat perkembangan Islam di Turki dan pandangannya bersifat sekuler yang anti agama

NU yang dipimpin oleh Hadratussyaikh memaknai sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam pengertian bahwa sila-sila yang lain harus sesuai dan tidak bertentangan dengan sila Ketuhanan. Berdirinya Kementerian Agama bagi NU adalah wujud dari pengejawantahan sila pertama Pancasila. Menteri Agama Wahid Hasyim memaknai sila pertama itu dengan kebijakan membuat MoU dengan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada 1951 untuk memberikan pengajaran agama di sekolah dan mendirikan madrasah yang menjadi tonggak masuknya pendidikan Islam ke dalam sistem pendidikan nasional.

Penafsiran terhadap sila pertama itu diperkuat dengan lahirnya UU Perkawinan (1974), UU Peradilan Agama (1989), Inpres tentang Kompilasi Hukum Islam (1991) dan sejumlah UU yang memberi ruang bagi apirasi umat Islam. Perlu kita ingat bagaimana proses pembahasan UU Perkawinan yang menjadi UU pertama yang memasukkan ketentuan syariat Islam yang partikular ke dalam sistem hukum Indonesia. Saat itu para pemuda dan mahasiswa Islam menyerbu ke dalam Ruang Sidang Pleno DPR saat terjadi pembahasan RUU Perkawinan yang bertentangan dengan syariat Islam.

Akhirnya UU Perkawinan disahkan pada Januari 1974 dan mengatur bahwa perkawinan adalah sah bila dilakukan sesuai dengan hukum agama masing-masing. Golkar, PPP, dan Fraksi ABRI menyetujui UU Perkawinan sedangkan PDI menolak. Kejadian yang sama juga terjadi pada pengesahan terhadap UU Peradilan Agama. Golkar, PPP, dan Fraksi ABRI menyetujui UU Peradilan Agama sedangkan PDI menolak.

Hal yang sama juga terjadi dalam pembahasan RUU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). UU Sisdiknas masih mempertahankan keberlangsungan pendidikan Islam di bawah Kementerian Agama. Yang menolak hal itu adalah PDI Perjuangan dan beberapa partai kecil. Partai-partai besar lainnya menyetujui UU tersebut.

Sejumlah contoh diatas menunjukkan, bahwa walaupun sebagian besar rakyat Indonesia menerima Pancasila sebagai dasar negara, masih terdapat perbedaan dalam menafsirkan Pancasila, khususnya pada sila pertama. Dalam konteks masa kini, sejumlah masalah masih perlu mendapat perhatian yaitu masalah pemidanaan LGBT, kawin sesama jenis, perkawinan antar agama, penistaan agama, keberadaan Syi’ah dan Ahmadiyah dalam negara republik Indonesia.

HAM menjadi masalah utama dalam menafsirkan sila pertama. Dalam menyikapi kaum LGBT, aspek HAM menjadi dasar argumentasi pendukung LGBT. Mereka tidak mau memahami bahwa dalam pasal 28J bahwa HAM Indonesia masih harus menyesuaikan diri dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, dan ketertiban umum.

Kita berharap seminar ini bisa memberi sumbangsih yang berharga terhadap upaya memaknai Pancasila khususnya sila pertama.


*Pengasuh Pesantren Tebuireng Jombang.

#Disampaikan dalam Seminar Nasional “Aktualisasi Pemikiran Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari dalam Konteks Kenegaraan dan Kebangsaan” yang dilaksanakan di Pesantren Tebuireng, Ahad (28/01/18).