KH. Salahuddin Wahid.

Oleh: KH. Salahudin Wahid*

Penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya umat Islam untuk menjalankan syariat agamanya.

Pembebasan bersyarat terhadap Abu Bakar Ba’asyir urung dilakukan karena Ba’asyir tidak mau menerima syarat setia kepada NKRI yang berdasarkan Pancasila. Yusril Ihza Mahendra mencoba membujuk dengan menyatakan bahwa Pancasila tidak bertentangan dengan Islam. Jawab Ba’asyir, kalau keduanya tidak bertentangan, mengapa NKRI tidak berdasarkan Islam saja?

Sekitar 2007-2008, saya pernah menjadi pembicara dalam seminar di Sragen yang diadakan organisasi yang dipimpin Ba’asyir. Di situ dia menyatakan bahwa Indonesia harus berdasarkan Islam. Saya sampaikan kepada peserta seminar bahwa NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam, Persis, dan lain-lain pernah melakukan perjuangan serupa. Perjuangan itu dilakukan sejak menjelang kemerdekaan, lalu dilanjutkan dalam Majelis Konstituante (1956-1959). Sejarah membuktikan bahwa perjuangan itu tidak berhasil.

Para tokoh oramas dan parpol Islam pada 1950 sampai 1970-an menganggap bahwa Pancasila itu bertentangan dengan Islam, bahwa Pancasila itu sekuler. Anggapan tidak benar tersebut muncul karena Bung Karno sebagai penggali Pancasila sering berpidato memuji Kemal Attaturk, pemimpin Turki yang sekuler. Jadi, Bung Karno dianggap tokoh-tokoh Islam berpaham sekuler dan Pancasila juga dianggap sekuler.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Tokoh NU KH Achmad Siddiq pada 1983 menulis naskah Hubungan Islam dan Pancasila. Dalam naskah itu dinyatakan bahwa Pancasila bukanlah agama, tidak dapat menggantikan agama, dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama. Juga dinyatakan bahwa sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat (1) UUD 1945, yang menjiwai sila-sila yang lain, mencerminkan tahuhid menurut pengertian keimanan dalam Islam. Dinyatakan bahwa penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya umat Islam untuk menjalankan syariat agamanya. Pada 1984, Muktamar NU menerima secara resmi dasar negara Pancasila yang lalu diikuti ormas-ormas dan parpol Islam.

Piagam Jakarta

Cukup banyak umat dan tokoh Islam yang masih meratapi dibatalkannya Piagam Jakarta. Mereka sulit menerima bahwa rumusan yang dihasilkan melalui musyawarah alot selama sekitar 21 hari diperdebatkan selama beberapa hari dalam sidang BPUPKI bisa diubah hanya dalam waktu singkat.

Pada 10 Juli 1945, Bung Karno melaporkan hasil kompromi yang dicapai dengan susah payah. Bung Karno berusaha keras dan sungguh-sungguh dalam meyakinkan anggota PPKI untuk menerima hasil kompromi tersebut. Bung Karno mengatakan bahwa Panitia Sembilan berkeyakinan bahwa inilah “Preambule” yang bisa menghubungkan dan mempersatukan segenap aliran yang ada di dalam kalangan anggota-anggota BPUPKI.

Pada 17 Agustus sore, seorang perwira Jepang menemui Bung Hatta dengan membawa pesan bahwa orang Kristen di wilayah Kaigun keberatan tehadap sila pertama “Ketuhanan dengan kewajiban untuk menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Jika anak kalimat itu tetap dipertahankan, pulau-pulau yang dihuni mayoritas umat Kristen di Indonesia Timur tidak akan bergabung dalam negara Republik Indonesia yang akan didirikan.

Pada 18 Agustus pagi sebelum sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia dimulai, Bung Karno dan Bung Hatta menggelar rapat nonformal bersama sejumlah tokoh Islam. Rapat itu membahas permintaan perwakilan umat Kristiani Indonesia Timur, seperti uraian di atas. Para tokoh Islam sebenarnya sulit menerima permintaan itu. Namun, mereka sadar, kalau satu bagian dari Indonesia Timur tidak bergabung dengan Republik Indonesia, posisi Indonesia di mata luar negeri akan melemah. Demi lahirnya negara Republik Indonesia, tokoh-tokoh Islam berlapang hati menyetujui dihapusnya tujuh kata tersebut.

Ternyata sampai kini Ba’asyir belum mampu memahami sikap tokoh-tokoh Islam pada 18 Agustus 1945 itu dan makna yang tersirat di dalamnya.

Dekrit Presidan 5 Juli 1959

Majelis Konstituante yang membahas UUD-dasar negara menjadi masalah paling sulit dicari titik temu. Ada tiga kelompok: kelompok Pancasila (247 kursi), kelompok Islam (230 kursi), dan kelompok ekonomi sosialis-demokrasi (10 kursi). Karena perdebatan begitu alot dan sulit mencapai kata sepakat dalama masalah dasar negara, muncullah usul dari Presiden Soekarno dan Jenderal TNI Abdul Hris Nasution untuk kembali kepada UUD 1945.

Fraksi pendukung Presiden Soekarno langsung menyetujui. Fraksi Islam mengambil kesempatan untuk memasukkan kembali “tujuh kata Piagam Jakarta”. Mereka setuju kembali kepada UUD 1945 apabila Piagam Jakarta dicantumkan dalam UUD 1945. Menanggapi usul Fraksi Islam, PM Juanda menyatakan bahwa Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945 oleh karena itu memberi dasar bagi pelaksanaan hukum agama.

Akhirnya, penentuan dasar negara dalam Majelis Konstituante diselesaikan dengan pemungutan suara terhadap usul memasukkan “tujuh kata Piagam Jakarta” ke dalam pembukaan UUD. Yang pro mencapai 201 suara dan yang kontra mencapai 266 suara. Usulan pemerintah untuk kembali ke UUD 1945 tanpa revisi juga dilakukan melalui pemungutan suara. Pada pemungutan suara ketiga, hasilnya 263 pro kembali ke UUD 1945 dan 203 kontra.

Karena suara terbanyak tidak mencapai 2/3 jumlah suara, tidak ada yang menang. Konstituante mengalami jalan buntu. Maka pada 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit presiden yang memberlakukan kembali UUD 1945. Butir kelima dalam pertimbangan dekrit itu menaytakan bahwa presiden yakin bahwa Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945 dan merupakan kesatuan darinya. Dua partai Islam, yaitu PPP dan PBB, ingin memasukkan pemberlakuan Piagam Jakarta dalam SU MPR 2001, tetapi tidak berhasil.

Ba’asyir dan mereka yang sepaham dengannya akan terus berjuang secara konstitusional untuk mewujudkan NKRI berdasarkan Islam. Perjuangan itu kembali akan menemui kegagalan. Jumlah pendukung gagasan seperti itu makin berkurang. Tidak ada lagi partai politik yang mendukung gagasan tersebut.

Tulisan ini dimuat di Jawa Pos ‘Opini’, Edisi Senin 18 Februari 2019.

*Pengasuh Pesantren Tebuireng periode ke-7.