sumber foto: https://encrypted-tbn0.gstatic.com/

Oleh: KH. Fawaid Abdullah*

Mereka itu tidak pernah saling mengungguli satu sama lain, tidak saling sombong, tidak foya-foya, tidak saling hina, tidak saling hasud, tidak saling melemahkan satu dengan lainnya. Para ulama zaman dahulu benar-benar menjaga dan meneladani akhlak baginda Nabi Muhammad Saw. menjauhi permusuhan dan sifat sembrono. Mereka benar-benar menjaga keutamaan satu sama lain.

Sahabat Jabir bin Abdullah menceritakan bahwa sahabat Umar bin Khattab pernah berkata kepada Abu Bakar as-Shiddiq r.a.: “siapa orang yang paling baik setelah wafatnya baginda Nabi?”, Abu Bakar r.a. menjawab: “yang paling baik itu adalah orang yang berbicara dihadapanku ini”. Yaitu sahabat Umar bin Khattab.

Muhammad bin Ali bin Abi Thalib bertanya kepada ayahnya. “Siapa sebaik-baik manusia setelah sepeninggal baginda Nabi Muhammad Saw.?”, Ali menjawab: “Abu Bakar”. “Kemudian siapa?”. “Lalu Umar bin Khattab”. “Kemudian siapa? Engkau ayah?”. “Aku ini bukan siapa-siapa, kecuali laki-laki dari kalangan muslim biasa”.

Begitulah akhlak mereka, sifat tawaḍu’-nya sangat luhur dan tinggi, tidak menampakkan bahwa dirinya lah yang lebih sempurna dan mulia dibanding yang lain. Tidak adigang-adigung satu sama lain. Benar-benar saling hormat, saling menghargai dan saling tawaḍu’. Tidak ada sama sekali rasa saling iri, hasud dan dengki.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Suatu waktu, ketika Imam Izzuddin bin Abdussalam datang ke Mesir, mufti Mesir dan ahli hadis Imam al-Hafidz Abdul Adhiem al-Mundziriy mengurungkan (tidak jadi) berfatwa karena kedatangan Sulthonul Ulama, Izzuddin bin Abdussalam.

Konon, Sufyan Al Tsauri menuntun unta yang dinaiki Imam al-Auza’iy sambil berkata: “luaskanlah jalan ini untuk al-Syaikh, maksudnya adalah Syaikh Imam al-Auza’iy”.

Ketika Imam Hasan al-Basri ditanyai tentang sosok Amr bin Ubaid, beliau menjawab: “Ia adalah laki-laki bagaikan malaikat dan seperti para Nabi tatkala mengajarkan adab tatakrama dan tatkala mendidik”.

Abu Bakar As-Syaasiy ketika menjadi pengajar Madrasah An-Nidhomiyah di Baghdad setelah Abu Ishaq al-Syairozi dan Abu Hamid al-Ghazali, ia sangat mengagungkan dan memuliakan gurunya, para pendahulu nya tersebut. As-Syaasiy menangis ketika duduk di mimbar majlis dimana dulu para guru-gurunya duduk di tempat yang sama dan teringat ketika dulu dirinya diajar para guru tersebut.

Diceritakan, Imam Syafi’i pernah menyampaikan nasehat ketika al-Layts bin Sa’d wafat dan dimakamkan : “Demi Allah, sungguh engkau termasuk orang-orang yang bahagia dan sempurna karena memiliki empat perkara ini yaitu; ilmu, amal, zuhud dan wara’.

Begitu lah, para Ulama zaman old itu saling memuliakan dan saling menghormati, saling tawaḍu’ satu dengan lainnya. Akhlak yang sangat mulia dan luhur sekali. Bagaimana dengan zaman now ?

Wallahu A’lam


*Santri Tebuireng 1989-1999, Ketua Umum IKAPETE Jawa Timur 2006-2009, saat ini sebagai Pengasuh Pesantren Roudlotut Tholibin Kombangan Bangkalan Madura.


Disadur dari kitab Irsyadul Mukminin, karya Allahyarham Gus Ishom Tebuireng yang Legendaris.