sumber foto: https://4.bp.blogspot.com/-q-ba9Dc69LE/WZreqhKlXtI/AAAAAAAAAKA/

Oleh: Rif’atuz Zuhro*

“Boleh kamu mencintai agama, tapi kamu jangan menjadi sebab orang benci agama. Boleh kamu mencintai Indonesia, asal bisa merawat masyarakat untuk tetap mencintai Indonesia.”

Akhir-akhir ini kita sering disuguhkan pergolakan ideologi publik tentang dua hal, islam – non islam, nasionalis – non nasionalis, dan pancasilais – non pancasilais.

Sebetulnya kedua hal tersebut tidak perlu diframing apabila hanya untuk kepentingan sesaat atau kelompok tertentu. Masyarakat seolah diseret hanya memandang sesuatu hal, soal hitam dan putih. Padahal masih ada banyak warna yang itu wujud dari sunnatullah perihal perbedaan.

Berawal dari hal itu, kita perlu refleksi sejenak siapa, kenapa, bagaimana dan apa yang sebenarnya terjadi pada bangsa yang digandrungi para penyamun ini.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Tidak bisa dipungkiri sejarah bangsa ini tidak hanya menyangkut satu kelompok saja,. Namun bangsa ini dibangun atas dasar kesepahaman dan kesepakatan untuk hidup rukun berdampingan, di tengah perbedaan yang telah muncul sejak awal bangsa ini hendak dibentuk.

Coba bayangkan? Apabila masing-masing golongan ngotot dengan apa yang diyakininya untuk tetap diterapkan di bangsa ini, tentu bangsa ini tidak akan mudah dimerdekakan tanpa adanya persatuan.

Kita mengenal kelompok nasionalis, agamis, juga kelompok yang berada di tengah keduanya, atau kelompok yang mengklaim tidak sepaham dengan dua kelompok tersebut.

Namun berkat kedewasaan berpikir founding fathers kita, mereka meletakkan ego ideologis untuk hidup rukun dalam payung Bhineka Tunggal Ika.

Meski tidak banyak sejarah yang menguliti perjuangan kaum agamis nasionalis (santri), atau lebih banyak sejarah yang menyajikan pertentangan di antara keduanya. Tentu ini harus kita akui sebagai keragaman persepsi atau sudut pandang beberapa ahli sejarah yang termaktub dalam pembukuan sejarah bangsa.

Jika ditanya mengapa hanya sedikit sekali terekamnya jejak santri dalam membangun bangsa sebelum era kemerdekaan? Intelektual NU, KH Salahuddin Wahid dalam suatu kesempatan pernah menyampaikan dalam sambutanya, bahwa pada saat itu memang belum ada budaya tulis-menulis di kalangan Nahdliyyin. Bisa jadi alasannya adalah menjaga amal baik dari jebakan sifat riya’ sehingga akan mengurangi manfaat pada saat itu.

Sehingga sejarah mudah saja ditulis tanpa ada sisi perjuangan kaum santri dalam merebut kemerdekaan bangsa ini. Terlepas dari pada itu sebenarnya yang perlu ditekankan adalah kultur dari pada santri sangat erat dengan hal-hal yang berbau dengan semangat kebangsaan, atau yang disebut nasionalis. Jadi, santri ya nasionalis.

Karena sanad santri nasionalis sangat jelas bersumber dari Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari yang mempelopori jihad melawan penjajah adalah jihad fisabilillah (adanya fatwa jihad dan resolusi jihad). Itu menunjukkan Hadratussyaikh memberikan ijazah bahwa santri tidak hanya mahir ilmu agama, tapi juga harus membela bangsanya.

Santri dan nasionalis adalah perpaduan sempurna sebagai anak bangsa yang beragama. Santri adalah anak kandung ibu Pertiwi, dan santri adalah jati diri bangsa ini. Karakter inilah yang selamanya harus terjaga dan tetap ada bahwa santri adalah sosok agamis nasionalis. Bagaimana dengan pergeseran jati diri santri yang ikut trend “bela Islam”?

Ya tidak apa-apa, biarkan saja, tidak usah dilarang, tapi dicegah dari semua lini. Penguatan jati diri santri tidak hanya tanggung jawab pondok pesantren sebagai tempat kaderisasi kaum agamis nasionalis, tapi semua pihak mempunyai andil yang ada “sebab-akibat”.

Kultur santri harus kuat, apalagi jejaring santri di Nusantara adalah salah satu kekuatan terbesar yang dimiliki bangsa ini. Jangan sampai kebobolan untuk dimanfaatkan kelompok yang hanya mempunyai kepentingan politis semata.

Saat berseluncur di dunia maya, ada pertanyaan yang cukup perlu ditanggapi di sini. Begini, mengapa lulusan pondok pesantren tidak lebih terlihat agamis dari pada orang-orang yang baru hijrah mengenal agama?

Bisa jadi ini adalah gimik, atau juga pertanyaan sungguhan dari masyarakat.

Pendapat yang asumtif sering kali berhasil menjadi sebuah opini baru di masyarakat untuk memandang sesuatu menjadi positif atau negatif. Oleh karena itu, santri harus lebih cerdas, dan kekinian, jangan coba-coba anti masyarakat, tapi ambil hati masyarakat. Karena jati diri santri sudah terpatri sebagai nasionalis (pejuang bangsa) yang sudah diijazah oleh Hadratussyaikh.

Santri selamanya nasionalis, penjaga NKRI, pembela bangsa, dan pemererat persatuan bangsa.

Gus Dur pernah mengeluarkan tulisan yang berjudul “Tuhan tidak perlu dibela”. Ya karena yang perlu dibela adalah manusia yang tertindas, terpinggirkan, teraniaya, yang butuh bantuan dan perlindungan. Wajar, manusia membela manusia, manusia membela Tuhan, apa wajar? Tentu, kaum santri pasti cerdas membedakannya.


*Penulis merupakan aktivis muda NU