Buku kumpulan cerita santri mengenang KH. Salahuddin Wahid (Gus Sholah). (Foto: Dimas)
  • Judul Buku : Gus Sholah Dalam Cerita dan Kenangan Santri Milenial
  • Penulis : Tim Penerbit Pesantren Tebuireng
  • Penerbit : Pustaka Tebuireng
  • Tebal : xxxiii + 158
  • Cetakan : I, Juli 2020
  • ISBN : 9786028805919
  • Peresensi : Dimas Setyawan Saputra*

“Jangan kau tangisi kepergiaan seseorang yang meninggalkan jejak di belakangnya. Tapi tangisilah, kepergiaan mereka yang tak meninggalkan jejak di belakangnya.”

Ungkapan di atas mungkin mudah untuk dibaca bahkan dipahami. Tetapi tidak untuk dilaksanakan saat kita benar-benar merasa kehilangan atas sosok yang selama ini kita cintai. Sudah menjadi dasar naluri alami manusia bersedih dan rindu yang teramat dalam tatkala harus ditinggal oleh sang guru. Terlebih sosok sang guru sudah kita anggap sebagai orangtua sendiri. Dan sang guru telah menganggap kita sebagai anaknya sendiri.

Nyatanya, kepergiaan KH. Salahuddin Wahid atau biasa disapa Gus Sholah masih menyisakan kerinduan dan duka mendalam bagi para sanak saudara terlebih para santrinya. Bahkan sebagian santri, masih mempercayai bahwa Gus Sholah sesungguhnya tidaklah pergi. Melainkan beliau hanya pulang, dan suatu saat kita akan berjumpa. Meskipun itu entah kapan.

Gus Sholah mencintai para santrinya layaknya mencintai putra-putri beliau. Semua dipandang sama. Sama rata. Tak ada yang berbeda di hadapan beliau. Beliau tidak pernah sekali-kali membedakan para santri-santrinya. Tidak peduli, santri tersebut menyandang gelar “santri senior” atau “santri junior”. Gus Sholah mencintai semuanya sebagaimana kasih sayang seorang ayah terhadap anaknya.

Kecintaan beliau tidak hanya sebatas kepada para santrinya saja. Tetapi kecintaan kepada semua manusia. Beliau menanamkan pada kami bahwa  mencintai dan memandang manusia sebagai manusia harus secara untuh. Tidak membeda-bedakan. Sebagaimana pesan beliau, “Manusia adalah manusia. Apapun kebangsaannya, apapun agamanya, apapun sukunya, manusia adalah manusia. Tidak peduli pandangan politiknya, tidak peduli kaya atau miskin, tidak peduli pandai atau tidak, tidak peduli apa pangkat dan kepemimpinannya, manusia adalah manuisa. Dia bisa cantik, dia bisa jelek, dia bisa kurus, dia bisa gemuk, dia bisa tinggi, dia bisa pendek, manusia adalah manusia.”

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Ungkapan Gus Sholah tersebut membutikan bahwa beliau sosok manusia yang telah “selesai pada dirinya sendiri”, sehingga tidak sedikitpun membedakan antar satu sama lain. Dan ungkapan itu pula yang menjadikan ribuan orang hadir saat prosesi pemakaman beliau di area makam kelaurga Pesantren Tebuireng.

Gema kalimat thoyibah disertai dengan isak tangis menggema mengantarkan kepergiaan beliau menuju peristirahatan terakhir. Beliau telah selesai pada dirinya. Beliau telah selesai pada tugas-tugasnya. Beliau telah sukses mengamalkan sebuah pepatah sebagaiamana yang berbunyi. “Ketika engkau lahir, orang sekitarmu tersenyum atas kelahiranmu. Sedangkan engkau menangis. Tetapi disaat engkau wafat, kini orang-orang menangismu dan engkau tersenyum”, dan engkau duhai guru, rindu ini tak mungkin sirna walau dimakan oleh waktu.

Kerinduaan yang teramat mendalam, mendorong spirit para santri beliau menuangkan pada sebuah buku yang berjudul “Gus Sholah Dalam Cerita dan Kenangan Santri Milenial”. Buku ini mencoba membuka kenangan kecil ketika para santri bersama beliau. Di samping beliau. Dan dididik secara langsung oleh beliau. Tak ayal, pada proses kepenulisan buku ini, para santri tak kuasa menahan isak tangis saat mengenang diri sang guru tersebut.

Seluruh santri beliau bersepakat, bahwa setiap tingkah dan ucapannya selalu berjalan beriringan. Tidak pernah sedikitpun tutur katanya berbenturan dengan prilakunya. Selain itu, diri Gus Sholah tidak banyak memberikan materi yang sulit dipahami. Tidak cukup mengajarkan pada kami dengan bentuk aksi nyata.

Sebagaiaman salah satu kesaksian santrinya yakni “saya (santri) pernah diminta BEM Ma’had Aly Tebuireng mengudang Gus Sholah untuk berkenan menjadi pembicara dalam acara ospek sekaligus menutupnya. Saat itu beliau menyanggupi dan minta dijemput, saat hujan lebat. Sebelum pikul 14.00, saya (santri) sudah bersiap di depan Ndalem Kasepuhan. Seperti biasa beliau sangat disiplin, sudah siap sebelum pukul 14.00 dan sudah menunggu jemputan saya. Soal menghadiri undangan, beliau selalu tepat waktu. Jarak dari Ndalem ke lokasi acara, Gedung Yusuf Hasyim cukup dekat, sekitar 100 meter, kemi berjalan beriringan, satu payung bersama. Ketika di depan gedung, ada sampah bungkus permen di depan kami. Saat itu, saya kira sampah kecil tidak masalah dan akan dibersihkan oleh petugas kelak. Jadi, saya tidak berniat mengambilnya, cuek saja. Di luar dugaan, Gus Sholah berhenti dan memungut sampah “kecil” tersebut. Dalam hati, kenapa saya tidak mengambilnya? Saat itu saya seperti ditampar, malu bukan kepalang. Benar kata beliau, karakter itu dari pembiasaan yang terus dilakukan berulang-ulang.” (hlm.6)

Sepenggal cerita di atas adalah sedikit keteladanan Gus Sholah yang diberikan kepada para santri. Dan pastinya keteladanan yang ada pada dirinya masih teramat banyak. Bagai tetesan air di samudra, keluasaan ilmu dan tinggi akhlaknya tak mungkin kami teguk secara keseluruhan. Tetapi izinkan kami sebagai santri untuk sedikit meneguk keluasaan samudra keilmuan untuk menghilangkan dahaga kehausaan ilmu.

Terakhir, pesan penulis kepada pembaca buku ini kelak disuatu hari, disaat membaca keteladanan Gus Sholah melalui buku ini, tolong hadirkan sosok Gus Sholah di hadapan para hadirin. Dan penulis sangat yakin, ketika para pembaca menghadirkan sosok sang guru, sejatinya beliau akan hadir pada hati sanubari hati yang terdalam. Pada jiwa-jiwa yang rindu akan sosok beliau.

Keriduan yang tak lekang oleh waktu. Abadi hingga penghujung waktu. Salam rindu kami padamu guru. “Hai jiwa-jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati tenang lagi diridai, lalu masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku, dan masuklah dalam Surga-Ku.” Al Fatihah…

*Mahasantri Mahad Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang.