pak subandiOleh: Bambang Subandi*

Hafalan merupakan metode pembelajaran yang paling klasik. Bangsa-bangsa kuno selalu menggunakan metode hafalan dalam pembelajaran anak didik mereka. Bangsa Cina kuno mengajarkan materi filsafat kuno dengan metode hafalan. Hingga saat ini, filsafat Konfusius masih melekat dalam benak masyarakat Tionghoa. Selain sebagai ajaran hidup, filsafat Konfusius ini juga menjadi etika sosial, bahkan strategi bisnis para taipan. Demikian pula, bangsa Arab kuno membanggakan diri dalam hafalan syair. Bagi bangsa Arab, syair tidak saja menjadi etos kerja yang memberikan semangat keberanian dan menumbuhkan kekuatan baru, tetapi juga syair sering dijadikan sebagai tuntunan hidup. Para penyair adalah orang-orang yang terpandang dan dianggap sebagai cendekiawan pada zamannya.

Ketika Nabi diangkat sebagai Rasul, wahyu ayat Al Quran langsung dihafalkan di luar kepala. Dalam surat al Qiyamah, malaikat Jibril mula-mula membacakan wahyu untuk Nabi. Bacaan ini diikuti dengan pelan oleh Nabi. Akhirnya, malaikat Jibril menjelaskan kandungan wahyu hingga Nabi mampu menghafalkan bunyi, tulisan, dan kandungan ayat-ayat Al Quran. Di hadapan para sahabat, Nabi menyampaikan wahyu ayat Al Quran yang diterimanya serta memerintahkan para sahabat untuk menghafalkannya. Para sahabat yang memiliki kemampuan dalam penulisan diperintahkan untuk mencatatnya. Catatan ini selalu diperiksa oleh Nabi, meski Nabi dinyatakan sebagai “Ummiy” (orang yang tidak dapat membaca maupun menulis). Hafalan para sahabat tersebut selalu dikontrol oleh Nabi, terutama pada bulan Ramadhan.

Metode hafalan dalam transformasi ajaran Islam telah berlangsung lama hingga pada masa ini. Pembukuan Al Quran di masa Khalifah Usman bin‘Affan tidak menghentikan metode hafalan, karena pembukuan tersebut hanya sebagai standarisasi bacaan Al Quran. Di masa sahabat, hafalan masih terbatas ayat-ayat Al Quran dan teks hadis-hadis Nabi. Pada masa setelah sahabat, hafalan makin bertambah, yakni penambahan tafsir sahabat serta interpretasinya atas teks hadis Nabi. Karena itu, metode hafalan telah menjadi tradisi keilmuan pada masa keemasan Islam.

Metode hafalan mampu mencerdaskan otak manusia. Hal ini dapat dibuktikan melalui biografi para ilmuwan muslim di zaman keemasan Islam. Di masa anak-anak, para ilmuwan muslim telah menghafal Al Quran, banyak hadis, serta beberapa pendapat ulama. Ketika usia mereka telah menginjak akhir remaja, para ilmuwan muslim berganti haluan keilmuan. Di antara mereka, ada yang masih tetap memperdalam studi Islam. Ada juga yang berpindah untuk mendalami filsafat hingga menemukan konsep-konsep saintifik. Karena itu, para ilmuwan muslim memiliki interdisipliner ilmu. Imam Abu Hanifah yang dikenal sebagai ahli hukum Islam rasionalis ternyata memiliki kepakaran dalam bidang bisnis dan arsitektur. Begitu pula, Ibnu Rusyd yang mampu menjelaskan perbandingan madzhab hukum dalam kitab Bidayatul Mujtahid ternyata merupakan seorang dokter bedah yang terkenal.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Pada masa imperialisme Barat, tradisi hafalan masih dipertahankan di lembaga-lembaga pendidikan tradisional. Madrasah Hijaz merupakan kawasan pendidikan yang menerapkan tradisi hafalan. Para ulama Indonesia pernah mengenyam pendidikan di kawasan ini. Hingga masa kemerdekaan Republik Indonesia, pesantren yang memiliki hubungan dengan Hijaz masih menggunakan tradisi hafalan. Hal ini berbeda dengan kondisi Mesir yang terpukau oleh kemajuan Eropa Barat, terutama negara Perancis yang menjajah Mesir. Sebagian besar ulama yang berada di negeri ini menyerukan untuk mengikuti tradisi pendidikan Barat yang menekankan pada aspek analisis-kritis. Pembaharuan Islam model Mesir pun mengalir hingga ke tanah air Indonesia. Akhirnya, benturan antara kaum tradisionalis dan modernis tidak dapat dielakkan.

Pola pendidikan pesantren yang tradisionalis masih mempertahankan tradisi hafalan. Melalui tradisi ini, santri terproteksi dari sikap dan tingkah laku yang buruk. Kemaksiatan dinilai sebagai faktor utama dalam penurunan daya ingat. Demikian pula, penghormatan kepada para guru dianggap sebagai faktor utama kemanfaatan hafalan di kemudian hari. Dalam upaya mempertahankan hafalan, para santri tidak hanya mengulangi hafalannya, melainkan pula melakukan kegiatan ibadah ritual tertentu. Di antara mereka, ada yang menghafalkan seraya berpuasa Daud. Ada pula yang selalu bangun di malam hari untuk mengulangi dan menambah hafalan setelah ritual shalat malam. Selain itu, keberadaan makam pendiri pesantren menjadi tempat yang mengesankan bagi santri penghafal. Dengan demikian, makam, masjid, gedung madrasah, kamar, dan hampir semua tempat di pesantren penuh dengan untaian hafalan para santri. Meski tidak ada peraturan yang tertulis, nyaris tidak ada santri yang keluar untuk sekadar mencari hiburan.

Di pesantren Tebuireng, setoran hafalan kitab apapun kepada KH. Idris Kamali selalu ramai di pagi hari. Karena itu, santri terbaik pesantren Tebuireng saat itu dapat diukur dengan banyaknya hafalan kitab, terutama hafalan Al Quran. Santri alumni pesantren Tebuireng juga menerapkan metode hafalan tatkala ia mendirikan pesantren di daerahnya. Hafalan telah teruji di pesantren sebagai cara penajaman kecerdasan otak dan mata hati. Hafalan juga membuat santri terfokus dalam mendalami ilmu-ilmu agama, sehingga ia mampu memandang masalah agama secara luas melalui pengamatan teks yang lebih terperinci. Ini yang membedakan ulama produk pesantren dengan ulama produk sekolah Islam. Sebagai contoh, huruf jar memiliki bermacam-macam fungsi dan hubungan (taalluq). Kitab Mughni Labib yang dibaca santri penghafal Nazham Alfiyah Ibnu Malik akan menemukan hal ini. Dalam ilmu Tafsir, santri yang terfokus pada teks untuk menguraikan makna lebih dalam termasuk kategori tafsir adabi. Buku tafsir al Mishbah karya M. Quraish Shihab selalu menunjukkan keluasan dan keluwesan makna setiap huruf dalam teks suci Al Quran.

Dalam pergaulan sehari-hari, santri penghafal sulit dibedakan dengan kebanyakan orang pada umumnya. Santri penghafal biasanya memilih waktu hening untuk melancarkan hafalannya, tanpa diketahui oleh orang lain. Mulutnya lebih banyak diam seraya menjadikan hafalan sebagai dzikir dalam pikirannya. Tidak ada penampilan khusus bagi santri penghafal, sehingga makin menyulitkan dalam membuat identifikasi. Hal ini berbeda dengan santri sarjana maupun bukan sarjana yang ditandai dengan gelar akademik di namanya. Ketika pemerintah menyelenggarakan Musabaqah Tilawatil Quran, banyak pesantren yang enggan mengirimkan utusannya. Prinsipnya adalah bacaan dan hafalan bukan dijadikan sebagai kebanggaan, melainkan cara hidup. Santri penghafal memiliki jadwal tetap yang tidak dapat digugat. Hafalan membuat santri penghafal lebih terhindar dari maksiat. Santri penghafal juga tidak terlalu semangat dalam menggapai materi duniawi. Lebih dari itu, santri penghafal lebih mencintai ilmu dibandingkan dengan harta. Karena itu, metode hafalan telah terbukti melestarikan tradisi pesantren. Hilangnya motede ini berakibat pada tergerusnya tradisi pesantren.

*Alumnus Pesantren Tebuireng (1987-1997), Dosen di Universitas Hasyim Asy’ari (Unhasy) Tebuireng Jombang dan Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya.