tebuireng.online – BEM Ma’had Aly Hasim Asy’ari bekerja sama dengan Tebuireng Media Group mengadakan bedah novel “Guru Sejati Hasyim Asy’ari: Pendiri Pesantren Tebu Ireng yang Mengakhiri Era Kejayaan Kebo Ireng dan Kebo Kicak”  karya Masyamsul Huda untuk kedua kalinya di Tebuireng.

Kegiatan yang bertemakan “Strategi dakwah Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari” ini dilaksanakan di aula lantai 3 Pesantren Tebuireng pada  Jum’at (23/05/14) yang dihadiri langsung  penulis novel, Masyamsul Huda dan Penjamin mutu pesantren tebuireng, Ahmad Solihuddin beserta  Ali Subhan. Dan acara ini di moderator oleh Luthi Burhanuddin.

Penulis novel, Masyamsul Huda mengemukakan bahwa novel yang ia tulis ini dilatar belakangi oleh beberapa hal, diantaranya  Pertama, maraknya pe-ziaroh yang selalu mengagung-agungkan Gus dur sebagai cucu beliau  KH. Hasyim Asy’ari, yang mana mereka mulai melupakan siapa kakek Gus dur itu sendiri. Jadi  perlu juga memahamkan mereka bahwa dibalik nama Gus dur yang begitu masyhur, ada kakek beliau yang dalam hal ini adalah sebagai  tokoh utama berdirinya Nahdhatul Ulama (NU).

Kedua, adanya novel “Guru Sejati Hasyim Asy’ari”  kita bisa mempelajari sepak- terjang beliau KH. Hasyim Asy’ari, mulai bagaimana beliau mendirikan pondok pesantren, berdakwah di daerah yang waktu itu merupakan daerah pelacuran sampai bagaimana strategi beliau dalam memperjuangkan kemedekaan Indonesia.

 Menurut sang penulis. Novel yang tebalnya 270  itu, risetnya memerlukan waktu hampir dua  tahun. Penulis buku ini mengemukakan bahwa prosentase riset kepustakaan dalam novel ini adalah 50 persen, riset lapangannya 45 persen dan imajinasi penulis hanya 5 persen saja. Data yang disajikan dalam buku ini telah divalidasi oleh ayah penulis sendiri dan beberapa durriyah keluarga Tebuireng.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Pembicara kedua, Ahmad Solihuddin, mengatakan bahwa secara umum novel ini berbicara mengenai keteladanan dan perjuangan KH. Hasyim Asy’ari, baik sebagai santri tradisional yang mencari ilmu dan kehidupan, keterpanggilan jiwa seorang kyai yang memimpin pesantren untuk mendidik masyarakat dan perjuangan seorang nasionalis sejati. Dan hal yang berbeda dari buku ini dibanding buku biografi yang telah hadir adalah pembacaan geografi yang begitu dalam. Misalnya tentang asal-usul nama desa Cukir. Bahwa Cukir sendiri berasal dari kata sukir, sebutan untuk kata zugar dalam bahasa Belanda yang artinya gula, penyebutan kata itu lambat laun berubah sebab dialek masyarakat Jawa yang kesulitan melafalkan dengan kata zugar.
Selanjutnya, pembicara ke tiga, Ali Subhan mengemukakan, pesan kuat yang hendak disampaikan pada pembaca dalam novel ini adalah ; pemahaman ke-Islaman Ahlusunnah Wal Jamaah, prinsip kebangsaan yang merdeka, upaya menjunjung tinggi aspek kemanusiaan universal. Dan yang tak lupa dalam hal pendidikan, konsep yang ditawarkan oleh KH. Hasyim Asy’ari, yang mana tercantum dalam kitab beliau A’dabul A’lim Wal Mutallaim yang kesemuanya ini telah menjadi sikap hidup dan perjuangan KH Hasyim Asy’ari.

Dan di tengah-tengah diskusinya penulis menyampaikan bahwa, prinsip keislaman Ahlusunnah Wal Jamaah yang diperjuangkan KH Hasyim Asyari berpusat pada pola beragama yang tawasut, tasamuh, tawazun dan ta’adl, yang kesemuanya tercermin dalam praktik di bidang aqidah, tasawuh maupun syariah. Sedangkan prinsip kebangsaan kebangsaan yang dipegang oleh Kyai Hasyim Asy’ari berakar dari paradigma bahwa antara agama dan negara adalah berhubungan simbiosis mutualisme. Sehingga Kyai Hasyim Asy’ari menolak negara sekuler, demikian juga dengan negara agama. Dalam konteks seperti inilah melalui Kyai Wahid Hasyim, Kyai Hasyim Asy’ari menyetujui Pancasila sebagai dasar negara Indonesia.

Dan beliau juga  mengemukakan bahwa prinsip kemanusiaan universal yang diperlihatkan oleh Kyai Hasyim Asy’ari pada novel ini adalah terjaganya agama, terjaganya jiwa raga, terjaganya akal dan moralitas, terjaganya keturunan, serta terjaganya harta, termasuk terjaminnya hak atas properti dan di dalamnya juga mencakup hak atas kekayaan intelektual. Sebagai kesimpulan dari bedah buku kedua pembicara sepakat bahwa novel ini sangat layak jadi cermin agamawan dalam mensikapi berbagai persoalan sosial keagamaan kontemporer.[al-do/tebuireng.online]