Dalam mengkaji dan mendalami ilmu-ilmu agama, seseorang tidak akan dapat menghindari adanya perbedaan yang nyata antara agama per se dan ilmu agama. Namun ia juga tidak dapat melupakan adanya hubungan yang erat antara keduanya sebab beberapa nilai dasar agama seperti menghargai dan melindungi Hak Asasi Agama (HAM), keadilan, kemanusiaan, kemaslahatan umum dan lain sebagainya adalah bersifat integral dengan nilai-nilai non-agama. Ini artinya bahwa sebuah argumentasi tentang HAM umpamanya harus menggabungkan antara argumentasi yang rasional dan religious.
Sebuah argumentasi yang murni religious –yaitu yang hanya berdasarkan pada text-text agama saja- hanya akan berakhir pada tautology. Untuk itu, mempertimbangkan kaidah-kaidah rasional dalam mengutarakan berbagai argumentasi tentang berbagai macam persoalan –sekalipun persoalan itu bersifat religious- adalah suatu keniscayaan. Adalah rasio –bukan agama- yang mendefinisikan kebenaran, keadilan, kemanusian dan nilai-nilai agama lainnya. Mungkin ini sedikit bersifat paradox; bagaimana nilai-nilai agama ditentukan oleh rasio dan bukan oleh agama sendiri.
Agama hanya concern kepada nilai-nilai yang bersifat universal saja, sedang pemahaman, penafsiran dan aplikasi nilai-nilai universal itu murni menjadi hak prerogatif rasio. Dalam soal penegakan HAM, ini berarti bahwa rasio-lah yang memiliki wewenang untuk melakukannya. Bahwa agama peduli terhadap penegakan HAM adalah benar, namun pra-kondisi terhadap terwujudnya hal itu berupa terciptanya kondisi yang kondusif di mana HAM dapat ditegakkan, adalah tugas rasio untuk melakukannya.
Dalam ungkapan lain, nilai-nilai Islam yang universal harus diolah terlebih dahulu melalui proses historisasi sebelum diaplikasikan. Sejak dulu, para tokoh Islam telah melakukan proses historisasi ini tidak hanya terhadap nilai-nilai universal saja tapi juga terhadap hukum-hukum agama sekalipun. Contoh hukum agama yang telah dihistorisasi oleh para tokoh pemikir agama adalah masalah perbudakan.
Islam tidak pernah melarang perbudakan padahal perbudakan nyata-nyata melanggar dan bertentangan dengan hak asasi manusia yang paling mendasar. Sekelompok besar pemikir Islam menolak perbudakan, namun dalam rangka mengakomodir pandangan al-Qur’an, mereka melakukan proses historisasi terhadap text Kitab Suci itu yang kemudian menghasilkan sebuah pemahaman bahwa perbudakan diperbolehkan hanya pada fase sejarah tertentu saja sedang pada fase lain, tidak diperbolehkan bahkan bertentangan dengan ajaran Islam yang paling mendasar tentang persamaan status manusia.
Dalam kerangka ini pemahaman tentang penegakan HAM dalam Islam haruslah dilandasi oleh semangat untuk menterjemahkan ajaran-ajaran al-Qur’an sesuai dengan semangat zaman yang terus berkembang. Harus diakui bahwa banyak di dalam al-Qur’an statemen-statemen mengenai persamaan hak yang harus dipahami secara lebih jeli. Jika kebanyakan pemikir Muslim terdahulu memandang seorang non-Muslim umpamanya, memiliki hak secondary sebagai ahl al-zimmah dalam sebuah Negara Islam, maka pemikir Muslim kontemporer seperti Fahmi Huwaidi tidak demikian. Baginya, hak semua warga dalam sebuah negara adalah sama terlepas dari agama yang dianutnya. Pandangan seperti ini sulit ditemui dalam literatur Islam kuno yang rata-rata memposisikan non-Muslim secara diskriminatif sebagai warga negara kelas dua dengan hak-hak yang terbatas dan kewajiban yang lebih berat.
Perlu digarisbawahi bahwa sebenarnya masalah HAM bukanlah persoalan yang berada dalam ranah Syari’ah, tapi berada di bawah payung filsafat. Ini penting untuk disebutkan karena akan membawa implikasi pada cara pandang kita tentang HAM dalam Islam. Jika kita mengatakan masalah HAM berada di dalam ranah Syari’ah, maka implikasinya adalah bahwa kita tidak akan lagi memandang masalah itu sebagai persoalan spekulatif namun sudah merupakan masalah “iya” dan “tidak”, “boleh” dan “tidak boleh”. Padalah seperti persoalan-persoalan yang serupa termasuk objektifitas nilai-nilai etika, masalah kebebasan, keberadaan Tuhan, dan kenabian, masalah HAM berada di luar domain agama, walau –sekali lagi- HAM pada dirinya merupakan nilai yang bersifat religious. Apakah seseorang akan setuju dengan pandangan ini atau tidak, yang jelas diskursus pemikiran Islam kontemporer –berbeda dengan klasik- tentang HAM dan berbagai persoalan yang serupa berada dalam wilayahextra-religious dan bukan intra-religious.
Kebenaran agama tidak hanya diukur secara metafisik dan teologis, tapi juga secara sosial, logis dan etis. Jika selama ini kesempurnaan Islam hanya dipahami dari sudut pandang metafisik dan teologis, maka sejatinya kesempurnaan Islam itu juga terletak pada sisi social, logis dan etis. Itulah sebabnya belakang ini pemahaman Islam lebih banyak dititik beratikan pada ketiga aspek terakhir itu, dan bukan pada dua aspek pertama. Bukan karena aspek metafisik dan teologis tidak lagi relefan, tapi karena dimensi sosial dan sebagainya lebih menentukan apakah sebuah agama dalam era moderen ini mampu memperlihatkan dinamikanya apa tidak.
Sebuah masyarakat yang mengaku mengenal dan berpegang pada nilai-nilai agama haruslah sadar bahwa untuk memelihara dimensi “dalam” dan “luar” agama yang mereka anut, mereka harus melakukan upaya-upaya kongkret menyuguhkan agama itu dalam bentuk yang damai dan sejuk. Masyarakat agama –karena sifatnya yang agamis- sepatutnya tidak puas dengan “kesempurnaan” internal agamanya, tapi juga harus membuktikan kesempurnaan agamanya itu secara empirik, pragmatik, dan praktis. Sesungguhnya tidak ada salahnya jika kita katakan bahwa kebenaran –dan tidak hanya kesempurnaan- sebuah agama tergantung pada kemampuannya menterjemahkan ajaran-ajarannya ke dalam kontek sosial. Hampir semua masyarakat bersifat multi-ethnik, multi-religious dan seterusnya. Agama dituntut untuk memahami karakter ini dan kemudian merumuskan langkah-langkah strategik dalam rangka mengimplementasikan ajaran-ajarannya sesuai dengan kondisi sosial itu.Menghargai ciri khas sebuah entitas sosial, dan melindungi hak-hak asasi manusia yang ada di dalamnya merupakan inti dari ajaran agama yang tidak hanya akan menjamin kestabilan sebuah masyarakat, tapi juga akan mempertahankan karakter religiositasnya. Jika sebagian orang berasusmi bahwa keutuhan dan “keselamatan” sebuah agama hanya dapat dipertahankan melalui formalisasi ajarannya, maka sejatinya hal itu merupakan upaya mereduksi agama yang jauh lebih luas dari sekedar formalisasi.
Sebagai poin terakhir, saya ingin mengatakan bahwa belakangan ini ada semacam asumsi bahwa sensitifitas terhadap isu HAM merupakan ketertundukan terhadap liberalisme relatifistik. Ini asumsi yang tidak benar dan muncul semata-mata karena pemahaman yang salah terhadap liberalisme relatifistik. Pada sisi lain, ini justru merupakan pelecehan terhadap agama karena merupakan pengakuan terhadap peran penting liberalisme relatifistik –dan penolakan terhadap peran agama- dalam hal penegakan HAM.
Memang benar, bahwa HAM dalam bentuk dan formatnya yang moderen diformulasikan oleh para tokoh Enlightenment yang liberal tanpa adanya keterikatan apapun terhadap agama, keyakinan kepada Tuhan, atau pengakuan terhadap agama sebagai sumber kebenaran dan pembenaran. Benar pula bahwa pemikir agama terlalu terlambat merespon isu HAM yang diusung oleh para tokoh Enlightenment ini. Namun harus pula diingat bahwa keterlambatan para pemikir agama bukan tanpa sebab. Setidaknya ada dua sebab kenapa itu terjadi. Pertama, karena para pemikir agama merasa bahwa mereka sudah memiliki khazanah pemikiran yang cukup mengenai etika, hak asasi manusia, dan sejenisnya sehingga tidak perlu adanya pengayaan lebih lanjut. Akibatnya, para pemikir agama tidak terpanggil untuk bergabung dengan pemikir Barat dalam rangka urun rembuk membahas masalah HAM dan yang sejenisnya.
Kedua, karena bahasa agama dan bahasa hukum agama adalah bahasa kewajiban, dan bukan bahasa hak. Akibatnya, kaum beragama tidak terlalu peduli pada hak ketimbang pada kewajiban. Mereka lebih memperhatikan perintah agama dari pada apa yang dapat mereka peroleh dari agama sebagai hak. Lebih tepatnya lagi, kaum beragama lebih tertarik untuk menjalankan kewajiban agama dalam rangka mencari hak ketimbang sebaliknya.
Ini semua bukan berarti bahwa agama adalah anti dan bertentangan dengan konsep moderen tentang HAM. Justru sebaliknya, ini merupakan masukan bagi mazhab-mazhab pemikiran Barat seperti liberalisme yang justru selama ini memonopoli diskursus tentang HAM, sebuah diskursus yang secara politis praktis banyak diterjemahkan dalam sebuah pesta disebut demokrasi.
Abdul Kadir Riyadi
Pengasuh Rubrik Telaah Akidah Majalah Tebuireng