Santri Ngaji Kitab bersama KH. Fahmi Amrullah (Gus Fahmi) di Masjid Tebuireng. (Foto : Masnun)

Sudah menjadi tradisi di pesantren, pengajian kilatan kitab-kitab klasik atau kitab kuning, khusunya di pesantren-pesantren salaf. Terlebih lagi, ketika sudah memasuki bulan suci Ramadan yang penuh berkah. Intensitas pengajian kilatan yang bermodel bandongan tentunya melonjak drastis dibandingkan hari-hari biasa.

Seperti halnya pesantren pada umumnya, Tebuireng juga rutin membuka pengajian kilatan untuk santri dan masyarakat umum setiap tahun. Dalam perkembangannya, pesantren Tebuireng menyiapkan pengajian kitab di bulan Ramadan dengan berbagai macam kitab yang lebih varian, mengingat jumlah santri dan peserta yang kian bertambah dari tahun ke tahun. Ramadan tahun kemarin saja, jumlah peserta pengajian kilatan mencapai kurang lebih 250 orang. Mereka ada yang berasal dari pondok dan masyarakat sekitar, serta dari daerah yang cukup jauh seperti Banten, Jakarta, dll. Para pendatang  ini oleh pengurus kebanyakan diinapkan di ruang tamu. Uniknya walaupun sudah disediakan tempat, mereka lebih memilih untuk menginap di kamar santri. Tamu-tamu yang seperti itu biasanya merupakan alumni Tebuireng dan ingin bernostalgia dengan kamar yang dulu pernah mereka tinggali. Mereka mengaji di Tebuireng seraya mengenang masa lalu saat menimba ilmu di pondok pesantren yang didirikan oleh Kiai Hasyim ini.

Awalnya, pengajian kilatan ini adalah momentum bagi mereka untuk sekadar mengisi waktu luang. KBM (Kegiatan Belajar Mengajar) di sekolah yang dikurangi karena puasa Ramadan menyebabkan adanya waktu yang kosong. Maka pengajian yang berbasis santai ini merupakan trobosan yang pas untuk memanfaatkan waktu luang itu. Walaupun qori’ dalam pengajian kilatan ini membaca kitab dengan tempo yang cepat, penulis lebih suka mengistilahkan dengan kata ‘santai’. Hal itu disebabkan karena memang santri yang mengikuti pengajian bandongan ini bisa memaknai kitabnya seraya bersantai seperti menyandarkan tubuhnya di dinding. Bahkan sudah tidak menjadi hal yang aneh lagi ketika banyak santri yang mengaji sembari merebahkan tubuhnya di lantai atau sajadah. Maklumlah, sejak terbitnya fajar hingga dini hari penuh dengan pengajian kitab.

Adapun kitab yang paling digemari dalam momentum seperti ini adalah dua kitab hadis paling shahih yaitu kitab Jami’ush Shahih al Bukhari dan juga Jami’ush Shahih Muslim. Dua kitab hadis paling fenomenal ini dibaca rutin oleh Kiai Habib Ahmad sebagai qori’ (pembaca kitab) di Masjid Pesantren Tebuireng. Menurut pengalaman penulis, Kitab Shahih Bukhari yang berjumlah empat jilid dapat beliau khatamkan dua kali Ramadan. Sedangkan Kitab Shahih Muslim dapat beliau baca selesai cukup satu bulan Ramadan karena memang jilidnya yang hanya berjumlah dua.

Tidak jauh berbeda dengan santri putra, santri putri Tebuireng juga mengadakan pengajian kilatan tiap Ramadan. Selepas jama’ah shalat Shubuh, Dhuhur, Ashar, serta selepas jama’ah shalat Tarawih pun selalu dibacakan kitab-kitab pengajian kilatan. Suara sang qori’ tak henti-hentinya menggema di segala penjuru penjara suci ini untuk menjelaskan isi kitab.  Khusus sehabis jama’ah shalat Maghrib, kegiatan ngaji kitab bandongan diganti dengan kegiatan tadarus A Quran secara individu. Tepat sekali memang, mentadabur ayat-ayat Allah SWT dalam keadaan fresh setelah melepas dahaga bersama.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Khusus bagi santriwati tingkat SLTA, pengurus pesantren menggelar pengajian kitab yang dikarang oleh Syaikh Nawawi al Bantani. Tepatnya kitab Uqud al Lujain Fi Bayani Huquq az-Zaujaini yang dilakukan selepas jama’ah Tarawih. Harapannya, dengan mengaji kitab ini, santriwati mempunyai wawasan lebih luas mengenai dunia pernikahan dan berkeluarga, khusunya dalam hak dan kewajibannya sebagai istri nantinya.

Sebelum kepulangan santri, biasanya ada penutupan pengajian Ramadan yang digelar di Tebuireng. Salam takdzim dan petuah-petuah bijak dari para pengurus serta qori’ disampaikan kepada para santri dan keluarganya ketika sudah pulang. Sebelum kembali ke ‘kampung rindu’ (kampung halaman tempat kelahiran, red), para santriwan dan santriwati itu diberi amanah untuk bisa menyampaikan ilmunya kepada masyarakat walaupun sebulan.  Setelah melihat kekurangan lalu kembali lagi ke pesantren untuk menutup kekurangan-kekurangan itu. Semoga pada akhirnya, mereka bisa mengamalkan kalam Tuhan: “Li yundziru qoumahum idza roja’u ilaihim la’allahum yahdzarun”. Wallahu a’lam.


Penulis : Ananda Prayogi

Editor : Munawara, MS

Publisher : Rara Zarary

#Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Tebuireng