Tebuireng dan Buntet memiliki hubungan yang sudah lama, bahkan sejak berdirinya Tebuireng banyak ulama-ulama dari Cirebon yang membantu pengembangan Tebuireng. Pada peringatan 10 November, ulama-ulama dari Buntet juga memiliki peran penting. Terima kasih saya sampaikan kepada semua yang telah mendukung, termasuk Prof. Dr. Sururin yang telah bersama-sama membahas buku ini sebanyak dua kali, serta seluruh hadirin, termasuk yang hadir dari Muslimat Banten, Lampung, DKI, dan juga moderator Profesor Dr. Yani, yang juga telah berpartisipasi dalam pembahasan ini.
Buku ini adalah pemersatu umat Islam, yang sudah dibahas di empat tempat sebelumnya, dan kali ini adalah pembahasan kelima. Sebenarnya, buku ini berawal dari sebuah tesis yang disusun oleh seorang mahasiswa di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, bernama El Bahri, pada tahun 2020. Tesis tersebut sangat menarik dan kemudian dibukukan. Saya menerima buku ini pada tahun yang sama, dan hal yang menarik bagi saya adalah bahwa pada waktu itu saya sedang menyusun tulisan mengenai Hadratusyaikh.
Tesis ini menceritakan tentang naskah Hadratusyaikh yang dikirimkan kepada Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi di Makkah pada tahun 1912, di tengah banyaknya aliran baru yang masuk ke Indonesia. Naskah tersebut berjudul Kafful Awam Anil Khoudli fi Syirkatil Islam, yang berisi ajakan untuk menghindari Syarikat Islam. Menurut El Bahri, naskah ini tertahan di Riyadh dan baru keluar pada tahun 2015, lebih dari 100 tahun setelah dikirimkan. Buku ini menceritakan kondisi umat Islam pada tahun 1912, yang menjadi titik simpul bagi keruwetan yang disebabkan oleh aliran-aliran baru yang masuk ke Indonesia.
Dari simpul itulah, saya mulai menelusuri lebih lanjut, dan akhirnya buku ini tersusun. Buku ini bercerita tentang perjalanan Hadratusyaikh, yang pada awalnya saya tulis untuk kepentingan pribadi. Sebab, setelah saya menggantikan KH. Shalahuddin Wahid sebagai pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng pada tahun 2020, saya ingin mengetahui lebih dalam tentang warisan yang ditinggalkan oleh Hadratusyaikh untuk pesantren ini. Maka saya mulai membuka-buka berbagai catatan, dan akhirnya buku ini terbentuk. Walaupun saya kini menjabat sebagai Ketua PWNU Jawa Timur, mungkin di sini membicarakan hal ini lebih tepat disebut sebagai Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng.
Hadratusyaikh pertama kali pergi ke Mekkah pada tahun 1893. Ada cerita menarik dalam buku yang ditulis oleh As’ad Shihab pada tahun 1936, yang mencatat bahwa KH. Hasyim Asy’ari berikrar di depan Multazam bersama enam sahabatnya dari berbagai negara pada tahun 1897. Setelah saya telusuri, ternyata pada tahun 1897 Syekh Nawawi Al-Bantani wafat. KH. Hasyim Asy’ari, yang pernah menimba ilmu dari Syekh Nawawi, berikrar setelah wafatnya guru beliau.
Syekh Nawawi Al-Bantani, yang kembali dari Mekkah pada tahun 1825, berperan besar dalam perjuangan melawan Belanda. Beliau terlibat dalam perjuangan Pangeran Diponegoro, yang berakhir dengan penangkapan Pangeran Diponegoro pada tahun 1830. Kemudian, Syekh Nawawi melanjutkan belajarnya di Mekkah dan menjadi imam di Masjidil Haram. Catatan mengenai Syekh Nawawi menunjukkan bahwa antara tahun 1880 hingga 1882, para ulama Banten yang pulang dari Mekkah seringkali mengadakan perlawanan terhadap Belanda, yang kemudian memicu kedatangan Snouck Hurgronje.
Baca Juga: Gus Kikin Ungkap Hubungan Tebuireng dengan Buntet
Pada tahun 1897, terjadi Geger Cilegon, dan saya menyimpulkan bahwa Syekh Nawawi telah memotivasi umat Islam di Indonesia untuk melawan Belanda. KH. Hasyim Asy’ari, yang belajar langsung dari Syekh Nawawi, terinspirasi untuk mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng pada tahun 1899. Lokasi pesantren ini, yang hanya berjarak 300 meter dari pabrik gula yang menjadi pusat kemaksiatan, bukanlah kebetulan, tetapi sebuah kesengajaan untuk mengatasi kemaksiatan yang merajalela.
Pada tahun 1901, Belanda melaksanakan politik etis yang bertujuan memperbaiki irigasi, pendidikan, dan transmigrasi. Namun, yang menikmati kebijakan ini tetaplah orang-orang Belanda dan mereka yang memiliki hubungan dengan Belanda. Di tengah perubahan sosial ini, berbagai organisasi muncul, seperti Syarikat Dagang Islam pada tahun 1905, yang awalnya bergerak di bidang perdagangan. Pada tahun 1912, Syarikat Dagang Islam mengalami perubahan besar, menjadi organisasi pergerakan yang berfokus pada perbaikan pertanian, perdagangan, ekonomi, kesehatan, dan pendidikan.
KH. Hasyim Asy’ari menentang bergabungnya umat Islam dalam Syarikat Islam, yang menurutnya dipimpin oleh orang-orang yang tidak berkompeten dalam agama. Beliau menuliskan kitab Kafful Awam Anil Khoudli fi Syirkatil Islam untuk menanggapi masalah ini, yang kemudian dikirimkan pada tahun 1913 ke Mekkah. Balasan yang diterima pada tahun 1915 dari Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi menunjukkan perubahan pandangan, di mana KH. Hasyim Asy’ari akhirnya mendekatkan diri dengan Syarikat Islam. Pada tahun 1914, beliau bersama HOS Cokroaminoto dan KH. Ahmad Dahlan menjadi bagian dari organisasi ini, yang kemudian memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Syarikat Islam menjadi organisasi yang menyatukan umat Islam dari berbagai aliran, meskipun sering terjadi pergesekan di dalamnya. Puncaknya terjadi pada tahun 1921, ketika Syarikat Islam Cabang Semarang memisahkan diri dan membentuk Syarikat Islam Merah, yang akhirnya menjadi Partai Komunis Indonesia.
Pada tahun 1921, saat terjadi perpecahan dalam Sarekat Islam, perpecahan ini tidak hanya terjadi dalam organisasi tersebut, tetapi juga mencerminkan perpecahan umat Islam secara keseluruhan. Dalam situasi ini, Hadratusyaikh menuliskan risalah Ahlussunnah wal Jamaah untuk memperkuat paham Ahlussunnah kepada umat Islam di Indonesia, terutama bagi mereka yang mengikuti paham tersebut. Dalam risalah tersebut, beliau juga menyebutkan bahwa sejak tahun 1330 Hijriyah (sekitar 1912), berbagai paham baru yang bertentangan dengan Ahlussunnah mulai masuk ke Indonesia, membingungkan umat Islam yang ada di tanah air. Pada tahun 1912, saya menerima buku mengenai Kafful Awam, dan baru pada saat itu saya mulai bisa menelusuri lebih dalam mengenai perpecahan-perpecahan umat Islam tersebut.
Untuk mengatasi perpecahan yang terjadi, HOS Cokroaminoto mengadakan kongres di Cirebon pada tahun 1921 sebagai upaya konsolidasi, namun usaha tersebut tidak berhasil. Kemudian, pada tahun 1922, H. Agus Salim memimpin kongres kembali di Garut, namun hasilnya tetap belum memadai. Tahun berikutnya, pada tahun 1923, Syarikat Islam berubah menjadi partai politik, namun sejak saat itu partai tersebut tidak lagi mengakomodasi kepentingan umat Islam yang mengikuti paham Ahlussunnah wal Jamaah. Hal ini menyebabkan paham Ahlussunnah wal Jamaah berada dalam kondisi yang sangat kritis, terpecah-pecah, dan tidak memiliki organisasi yang menyatukan mereka.
Dalam situasi yang sangat sulit ini, beberapa peristiwa penting terjadi. Pada tahun 1923, KH Ahmad Dahlan, yang merupakan penasihat agama Syarikat Islam, wafat pada tanggal 23 Februari. Kemudian, pada bulan Ramadan tahun 1925, Syaikhona Kholil juga wafat. Banyak tokoh yang meninggal pada saat umat Islam yang mengikuti paham Ahlussunnah wal Jamaah dalam kondisi yang sangat lemah. Ditambah dengan kebijakan Belanda yang akan memberlakukan ordonansi mengenai perkawinan dan guru liar pada tahun 1925, yang semakin memperburuk keadaan umat Islam.
Dalam kondisi tersebut, para ulama pondok pesantren mulai mengadakan konsolidasi, mengadakan silaturahim antar ulama, dan memeriksa kitab yang akan digunakan untuk pengajaran kepada para santri. Selain itu, pada tahun 1925, terjadi perubahan kekuasaan di Hijaz. Ibnu Saud berhasil merebut Tahta Suci Makkah dari Syarif Husein dan mengangkat dirinya sebagai Raja Hijaz pada 8 Januari 1926. Kondisi ini mengkhawatirkan ulama-ulama di Indonesia yang mengikuti paham Ahlussunnah wal Jamaah, karena khawatir paham yang diberlakukan oleh Ibnu Saud akan mempengaruhi jamaah haji yang datang ke Makkah.
Untuk merespon peristiwa ini, KH Wahab Hasbullah menjadi yang paling aktif dalam mengumpulkan ulama-ulama di Indonesia. Dengan restu dari KH Hasyim Asy’ari, para ulama sepakat untuk mengirimkan utusan ke Raja Abdul Aziz Ibnu Saud pada 31 Januari 1926. Rapat yang dipimpin oleh Hadratusyaikh memutuskan untuk membentuk sebuah komite yang disebut Komite Hijaz. Dalam rapat tersebut, diputuskan pula untuk mendirikan sebuah organisasi yang diberi nama Nahdlatul Ulama. Misi pertama Nahdlatul Ulama adalah misi internasional, untuk menyelamatkan paham Ahlussunnah wal Jamaah, tidak hanya di Indonesia, tetapi juga secara global.
Sementara itu, Syarikat Islam semakin melemah, ditambah dengan tekanan dari Belanda yang memberlakukan ordonansi mengenai perkawinan dan guru liar. Untuk menyikapi hal ini, KH Hasyim Asy’ari mengundang berbagai organisasi Islam untuk berkumpul di Tebuireng, di mana beliau menuliskan Al-Mawaid, sebuah kitab yang berisi wejangan-wejangan bagi umat Islam yang mengikuti paham Ahlussunnah wal Jamaah. Di sinilah kemudian Hadratusyaikh membuka pengajian bagi umat Islam dari berbagai latar belakang, seperti Habaib, Wahabi, Muhammadiyah, dan Syarikat Islam. Setelah beberapa tahun, tepatnya pada tahun 1934, HOS Cokroaminoto wafat, dan semua organisasi Islam sepakat untuk menyatukan diri.
Proses penyatuan tersebut berlanjut dengan terbentuknya Federasi Majelis Islam Ala Indonesia (MIAI) pada 21 September 1937, atas inisiatif Hadratusyaikh Hasyim Asy’ari. Tahun berikutnya, pada tahun 1938, Nahdlatul Ulama kembali bergabung, diikuti dengan bergabungnya Gabungan Politik Indonesia (GAPI) dan Persatuan Arab Indonesia (PAI). Dengan demikian, pada tahun 1940, seluruh umat Islam yang sebelumnya berada di bawah organisasi-organisasi masing-masing akhirnya bersatu di bawah naungan MIAI. MIAI kemudian, atas permintaan Jepang, berubah menjadi Masyumi. Semua proses ini menjadi bagian dari sejarah perjuangan umat Islam Indonesia menuju kemerdekaan negara kesatuan Republik Indonesia.
Setelah saya telusuri background sejarahnya sampai ke proklamasi saya tidak menemukan sebab lain saya hanya bisa menyimpulkan bahwa itu karena terbentuknya atau tercapainya ukhuwah di tahun 38 dimana sesuai dengan Qonun Asasi ukhuwah mendapatkan ridho dari Allah, itu yang akhirnya saya simpulkan bahwa yang namanya persatuan itu yang penting bisa menjangkau ridho Allah ta’ala, dengan ridho Allah itulah Allah menurunkan anugerahnya dan kebetulan anugerah zaman itu adalah anugerah kemerdekaan negara kesatuan Republik Indonesia.
Jadi, itu ada beberapa catatan yang saya catat, kenapa Hadratusyaikh yang tadinya bermusuhan memusuhi Syarikat Islam kemudian beliau istislam bergabung, itu saya melihat kalau beda-beda paham itu nanti bisa di satukan kalau didalam semangat untuk memperjuangkan kemerdekaan diutamakan daripada perbedaan paham. Tahun 37 demikian juga, ukhuwah itu perbedaan paham yang sangat luar biasa, Wahabi, Syarikat Islam, kemudian organisasi-organisasi lain yang awalnya 13 organisasi berkembang sampai ke-25 itu semua beda paham tapi mampu disatukan dibawah naungan Majelis Islam Indonesia.
Banyak hal yang dapat kita pikirkan, apa hakikat dari perjalanan beliau yang zaman itu mulai awal tahun 1900 sampai tahun 1945 banyak kejadian-kejadian namun mampu diatasi dengan solusi-solusi, langkah-langkah para ulama yang mana sekarang ini tergabung dalam Nahdlatul Ulama. Demikian masih banyak yang lain, karena setelah kemerdekaan ada resolusi jihad yang ada hubungannya dengan Buntet. Tapi demikian yang bisa saya sampaikan.
Oleh: Pengasuh Pesantren Tebuireng, KH. Abdul Hakim Mahfudz // Disampaikan dalam acara bedah buku Hadratussyaikh Pemersatu Umat dalam acara Pra Kongres XVIII Muslimat NU di Bandung Jawa Barat.
Ditranskip oleh: Ilvi Mariana