
Tebuireng.online– Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur, KH. Abdul Hakim Mahfudz hadiri acara Pra Kongres XVIII Muslimat NU Jawa Barat, Bandung, pada Ahad (5/1/2025). Dalam acara yang dihadiri oleh berbagai tokoh ulama dan hadirin dari berbagai daerah, termasuk Muslimat NU dari Banten, Lampung, DKI Jakarta, serta para peserta dari berbagai organisasi Islam lainnya.
Dalam pembukaan acara yang juga membedah Buku Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari Pemersatu Umat itu, Gus Kikin sebagai penulis mengungkapkan pentingnya hubungan historis antara Pondok Pesantren Tebuireng dengan Buntet, Cirebon. Menurutnya hubungan antara Tebuireng dan Buntet sudah terjalin sejak lama, bahkan sejak berdirinya Tebuireng.
“Banyak ulama-ulama Cirebon, khususnya dari Buntet, yang turut berperan dalam membantu perjalanan dan perkembangan Pesantren Tebuireng,” ungkap Pengasuh Pesantren Tebuireng itu seraya menegaskan peran penting para ulama Buntet dalam peristiwa bersejarah, seperti peran mereka pada 10 November yang ikut memperjuangkan semangat persatuan umat.
Lebih lanjut, dalam acara ini, Gus Kikin membahas mengenai buku yang telah ia tulis, yaitu KH. Hasyim Asy’ari: Pemersatu Umat, yang kini telah dibahas dan dibedah di lima tempat. Buku ini, menurut Cicit Hadratussyaikh itu berawal dari sebuah tesis yang menyelidiki konsep pemikiran KH. Hasyim Asy’ari yang tertuang dalam naskah Kafful Awam Anil Khoudli fi Syirkatil Islam, yang ditulis oleh Hadratussyaikh pada tahun 1912 untuk menanggapi perkembangan Syarikat Islam yang dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam yang benar.
Buku tersebut menceritakan bagaimana KH. Hasyim Asy’ari, dengan dukungan dari ulama-ulama besar, berjuang untuk mengatasi perpecahan yang ditimbulkan oleh perbedaan paham dan aliran dalam tubuh umat Islam pada masa itu.
Menurut Gus Kikin, karya ini juga merupakan usaha untuk mengetahui lebih dalam apa yang diwariskan oleh Hadratussyaikh kepada Pondok Pesantren Tebuireng, yang dibangun dengan tujuan memperkuat nilai-nilai Islam yang sesuai dengan ajaran Ahlussunnah wal Jamaah. Melalui buku ini, berharap umat Islam dapat belajar dari sejarah untuk memperkuat persatuan, sebagaimana yang dilakukan Hadratussyaikh melalui berbagai pendekatan dan konsolidasi ulama.
Salah satu momen penting yang dibahas dalam buku ini adalah perjuangan KH. Hasyim Asy’ari dalam menyatukan umat Islam yang terpecah, khususnya dalam menghadapi ancaman dari pihak kolonial Belanda yang memaksakan kebijakan-kebijakan yang menekan kehidupan sosial umat Islam. Pada akhirnya, melalui konsolidasi yang intens, terbentuklah organisasi Nahdlatul Ulama pada tahun 1926, yang menjadi wadah untuk menyatukan umat Islam Indonesia di bawah semangat Ahlussunnah wal Jamaah.
Acara tersebut juga dihadiri oleh sejumlah tokoh, termasuk Ketua Umum PP Muslimat NU, Dr. Hj. Khofifah Indar Parawansa, yang turut memberikan sambutan. Dalam sambutannya, Khofifah mengapresiasi kontribusi besar yang diberikan oleh KH. Hasyim Asy’ari dalam mempersatukan umat dan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia melalui jalur pendidikan dan dakwah.
“Semoga semangat persatuan yang telah dicontohkan oleh Hadratussyaikh dapat terus menginspirasi kita semua dalam menghadapi tantangan zaman,” kata Khofifah.
Gus Kikin juga menegaskan bahwa pentingnya ukhuwah atau persatuan umat tidak hanya terbatas pada perbedaan pemahaman, tetapi lebih pada tujuan bersama untuk memperjuangkan kemerdekaan dan kesejahteraan umat. Beliau mengingatkan bahwa perbedaan pemahaman, seperti yang terjadi dalam perjalanan sejarah umat Islam Indonesia, harus bisa disatukan dalam semangat untuk meraih ridho Allah.
Acara ini diakhiri dengan doa dan harapan agar semangat persatuan yang ditanamkan oleh para ulama terdahulu, seperti Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari, terus hidup dan memberikan manfaat bagi umat Islam Indonesia dan seluruh umat manusia.
Pewarta: Ilvi Mariana