Oleh: Dian Bagus*

Hampir setiap agama, bahkan setiap adat, mengenal apa yang disebut dengan upacara ritual. Dalam Islam, salah satu upacara ritual yang paling masif dan sekaligus paling popular ialah ritual ibadah kurban yang dilaksananakan secara serentak pada Hari Raya Idul Adha. Karena itu Hari Raya Idul Adha disebut juga dengan nama Hari Raya Idul Kurban.

Secara antropologis, ibadah kurban dalam Islam kerap disejajarkan dengan persembahan suatu atau pengorbanan kepada Tuhan atau Dewa guna menciptakan keharmonisan antara alam, manusia, dan Tuhan.

Tentu penyejajaran ini persis benar. Namun demikian, spririt pengorbanan itu memang bersifat universal dikenal dalam semua tradisi spriritualitas. Hanya saja, bentuk dan ekspresinya berbeda-beda.

Al-Qur’an menggambarkan ibadah kurban ini sebagai salah satu ibadah paling tua bagi umat manusia. Nabi Adam dikisahkan mempunyai anak, yakni Habil dan Qabil. Kedua putra Nabi Adam ini masing-masing untuk menyerahkan kurban, namun kualitas kurban mereka berbeda.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Habil sebagai seorang petani menyerahkan sebagian gandumnya yang baik-baik untuk diserahkan sebagai kurban, sedangkan Qabil sebagai seorang peternak menyerahkan binatang paling jelek untuk dikurbankan. Pada akhirnya kurban Qabil ditolak, sebagaimana diabadikan dalam Al-Qur’an surat Al-maidah ayat 27:

 وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَاَ ابْنَيْ اٰدَمَ بِالْحَقِّۘ اِذْ قَرَّبَا قُرْبَانًا فَتُقُبِّلَ مِنْ اَحَدِهِمَا وَلَمْ يُتَقَبَّلْ مِنَ الْاٰخَرِۗ قَالَ لَاَقْتُلَنَّكَ ۗ قَالَ اِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللّٰهُ مِنَ الْمُتَّقِيْنَ

Dan ceritakanlah (Muhammad) yang sebenarnya kepada mereka tentang kisah kedua putra Adam, ketika keduanya mempersembahkan kurban, maka (kurban) salah seorang dari mereka berdua (Habil) diterima dan dari yang lain (Qabil) tidak diterima. Dia (Qabil) berkata, “Sungguh, aku pasti membunuhmu!” Dia (Habil) berkata, “Sesungguhnya Allah hanya menerima (amal) dari orang yang bertakwa.” (QS. Al-Maidah [5]:27)

Beberapa upacara tradisional yang bersifat sakral dan profan di kawasan Timur Tengah mempersembahkan gadis-gadis sebagai korban dan tumbal, misalnya upacara rutin di Sungai Nil dan tempat-tempat yang disakralkan lainnya.

Di Kan’an, Irak, bayi dipersembahkan kepada Dewa Baal. Suku Aztek di Meksiko mempersembahkan jantung dan darah manusia kepada Dewa Matahari. Orang-orang Viking di Eropa Timur mempersembahkan pemuka agama mereka kepada Odion, Dewa Perang. Dalam tradisi Bilalama, Hammurabi, dan Asyiria, yang lebih tua dari tradisi Islam, sudah dikenal ada ibadah kurban.

Dalam ajaran Islam dikenal banyak versi tentang hakikat, filosofi, dan fikih ibadah kurban. Ulama Asy’ariah menanggapi perintah Allah untuk berkurban dengan panjang lebar. Menurutnya terkeadang Allah memerintahkan sesuatu yang tidak dikehendaki-Nya untuk terjadi dan atas dasar itu golongan ini berpendapat boleh menasakh hukum sebelum waktu terjadinya pelaksanaan perintah tersebut. Misalnya perintah Tuhan dalam surat As-Saffat ayat 102

فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يٰبُنَيَّ اِنِّيْٓ اَرٰى فِى الْمَنَامِ اَنِّيْٓ اَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرٰىۗ قَالَ يٰٓاَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُۖ سَتَجِدُنِيْٓ اِنْ شَاۤءَ اللّٰهُ مِنَ الصّٰبِرِيْنَ

Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim) berkata, “Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!” Dia (Ismail) menjawab, “Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.” (QS.As-Saffat [37]:102)

Perintah tersebut diperoleh melalui mimpi. Lazim diketahui bahwa mimpi para nabi merupakan wahyu. Masih dalam surat As-Saffat, ayat selanjutnya yaitu 105, ada ungkapan:

قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا ۚاِنَّا كَذٰلِكَ نَجْزِى الْمُحْسِنِيْنَ

sungguh, engkau telah membenarkan mimpi itu.” Sungguh, demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. (QS.As-Saffat[37]:105)

Ungkapan ayat tersebut bermakna bahwa yang disembelih mengakui kebenaran mimpi tersebut sehingga wajib untuk dilaksanakan. Adapun hikmah adanya semacam “musyawarah” yang dilakukan Nabi Ibrahim terhadap putranya seputar mimpinya ialah untuk melihat sejauh mana kesabaran dan ketabahan putranya dalam menaati perintah Allah.

Hikmah terjadinya perintah itu dalam mimpi, tidak dalam keadaan sadar atau terbangun, bisa dijelaskan dari beberapa sudut pandang yaitu pertama, perintah (taklif) ini sangatlah sulit dari sisi si penyembelih dan yang disembelih, sehingga dihadirkan dalam mimpi selama tiga malam sebelum dikuatkan dalam kondisi sadar. Dengan demikian, perintah itu tidak langsung diyakini sekaligus tetapi sedikit demi sedikit. Kedua, Allah SWT menjadikan mimpi para Nabi sebagai sebuah kebenaran, sebagaimana disebutkan dalam beberapa ayat Al-Qur’an seperti mimpi Nabi Yusuf, Ibrahim dan Muhammad SAW. Maksud dari mimpi tersebut adalah untuk menegaskan kebenaran mereka.

Semoga kita semua menjadi hamba-hamba Allah yang senantiasa mau dan mampu melaksanakan ibadah kurban sebagai bentuk pengabdian dan ketaatan kepada Allah SWT. Aamiin aamiin Yarabbal Aalamin


*Mahasiswa Universitas Hasyim Asy’ari