ilustrasi: sebuah pertemuan.

Oleh: Wan Nur Laila*

“Pengumuman bagi seluruh santri ditunggu kehadirannya di mushola sekarang jug,” suara dari arah kantor pengurus terdengar ke seluruh penjuru kamar santri.

Mendengar pengumuman itu membuat Hanum terbangun dan bergegas melangkahkan kaki menuju mushola meski dengan kondisi ngantuk berat. Seperti biasa tiap hari jumat pagi di pondok pesantren At Taubah adalah waktu ngaos kitab at tadzhib yang diisi langsung oleh kiai Faqih Abdillah.

Di sela-sela menjelaskan, kiai Faqih berpesan, mulakno ojok pacaran, pacaran itu isinya hanya gombal nggak ada yang serius. Inget yang terjaga pasti dapat yang terjaga juga,” mendengar nasihat itu, santri saling menatap. Sesekali ada yang menyenggol teman di sampingnya. Termasuk Hanum, seorang santriwati yang sedang jatuh cinta pada santri putra di pondok itu.

“Hai, kenapa ngelamun? tumben banget, noh dicariin mas crush ditungguin di depan gazebo utara yang sampingnya kantin pas,” ucap Safina menyampaikan pesan. Tetapi Hanum masih terlihat bengong. Barangkali ia telah kemakan nasihat Yai Faqih.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

“Kenapa kamu lagi ada masalah tah? Kok tumben gak gercep kayak biasanya…” Tanya Safina. Hanum hanya menggeleng. Ia masih menimang-nimang pesan itu. sesekali ia lempar senyum pada Safina, dan beranjak dari hadapannya.

Sesampainya di depan gazebo, Hanum langsung melihat laki-laki yang sedari tadi menunggunya sambil terduduk dengan tangan memegang Quran.

“assalamualaikum, kang…” Hanum mengucap salam, dengan matanya yang masih melirik ke sekeliling, ia tak ingin ada yang melihatnya. Tentu ia takut, karena di pesantren ia tinggal dilarang menemui lawan jenis, apalagi punya hubungan khusus.

“Waalaikumussalam, cah ayu.” Hanum terdiam saat menatap laki-laki itu.

“Ada apa mas sampean kok nyariin aku?” Tanya Hanum, menunduk.

“Nggeh dek, jadi gini tadi sampean tumut ngaos mboten?”

Nggeh tumut, enten nopo kok tiba tiba njenengan tangled ngoten?”

“Berarti sampean denger dawuhnya Yai Faqih tentang pacaran?” Hanum mengangguk.

“Iya denger, terus kenapa? Berarti bener dawuh beliau kalau njennegan selama ini cuman gombal tok!”

“Bukan begitu maksudnya. Jadi ngene lo dek kamu kan ngaji kamu juga tahu Allah itu mengharamkan pacaran karna dari pacaran bisa mendekati zina dek.” Hanum terdiam matanya berkaca-kaca. Perdebatan pun terjadi. Yang ditakutkan Hanum selama ini pun terjadi bahwa akhirnya hubungan mereka akan berakhir dan meraka pun akan sama-sama asing.

“Jika pacaran itu haram, lantas mengapa ada yang sampai menikah mas?”

Ahmad Reza Arshaka pun terdiam mendengar pertanyaan itu. Dia tahu betapa sedihnya perempuan yang menangis di hadapannya itu. Dengan tenang dia menjawab, “dek, jodoh kita itu sudah tertulis di lauhul mahfudz, mau diambil dari jalan yang halal ataukah haram dapatnya  ya sama yang itu juga. Yang membedakan itu rasa berkahnya. Bukan tentang apa, berapa atau siapa, tetapi bagaimana allah memberikannya. Entah diurulkan dengan lembut mesra atau dilempar dengan penuh murka,” lelaki itu mencoba menjelaskan.

Tangisan Hanum makin pecah terdengar dengan jelas suara sesegukan dari gadis jelita itu. Hanum benar-benar sedih dengan apa yang akan diterimanya.

“Dek, inget. Jika kamu tidak berjodoh dengan orang yang kamu kagumi, semoga nantinya kamu berjodoh dengan orang yang mengaggumi nggeh…” Jantung Hanum benar-benar lemas mendengar ucapan Reza kepadanya.

Apakah ini benar benar final chapter yang ia takutkan selama ini? Apakah ini harus benar benar berakhir sedangkan rasa yang tertanam begitu kuat dan pekat. Layaknya bagasfora dan bentala kita dalah dua atma yang tak diizinkan bersama. Mereka saling terdiam pun tak saling pandang. Suasana brisik tidak hanya dari lingkungan tapi dari hati dan pikiran Hanum masih terdiam dan menuduk.

“Inget dek, Allah tak akan kenalkan kita dengan seseorang tanpa sebab, everthing must be a reasonlelaki itu menghela napas. Hanum masih menunduk di hadapannya.

“Kembalilah menjadi sosok sholeh yang kukunal dulu mas, maafkan aku yang telah membuatmu mengenali diriku, sehingga kau melupakan segala cinta dan sayang yang sebenarnya dari tuhanmu.” Hanum menghapus air matanya. Ia menggenggam erat Quran yang ada di tangan kanannya. Mereka sama-sama diam.

Terlintas ucapan ibu dalam benak Reza. Pada akhrinya kamu akan memahami, bahwa puncak dari rasa cinta adalah keikhlasan. “Dek semoga keputusanku bisa diterima dengan baik. Kalau emang kita berjodoh sejauh dan berjarak pun kita, kita pasti kembali untuk bersama. Yakin sama allah atas takdir kisah kita dek.” Kalimat itu mengakhiri pertemuan dua santri yang sempat menjalin komunikasi intens dan mengikat komitmen untuk menuju ke jenjang relasi yang cukup serius.

“Sampai bertemu di titik di mana kita akan kembali bersama jika semesta berpihak pada kita, wassalam…” salam perpisahan itu membuat sore itu terasa lebih mencemaskan bagi Hanum. Hanum tertunduk, tangisannya makin deras, ia tak berani menatap kepergian Reza. Hanum benar-benar hancur dengan kisah asmara yang selama ini baik baik saja tiba-tiba harus selesai begitu saja.

Dia laki-laki yang mengajarkanku titik tertinggi mencintai yaitu mengikhlaskan, dia membuat aku jatuh cinta sejatuh jatuhnya.  Dia laki laki yang aku cintai tiba-tiba dan mengikhlaskannya secara tiba tiba. Sampai bertemu di masing masing takdir terbaik tuan.Hanum pun melangkah meninggalkan gazebo yang menjadi saksi mata atas selesainya kisah cintanya.

*Santri Walisongo Cukir Jombang.