foto: Diskusi buku dalam Sekolah Membaca Tebuireng Media Grup.

Oleh: Dimas Setyawan*

Dunia santri tidak bisa dipisahkan dengan buku atau kitab kuning. Bagi santri, buku tidak hanya menjadi sebuah bahan bacaan untuk penunjang keberhasilan pendidikan semasa di pesantren. Tetapi buku adalah sahabat terbaik sepanjang masa, sebagaimana bunyi pepetah masyarakat Arab:

خَيْرُ جَلِيْسٍ فيِ الزَّمَانِ كِتَابٌ

“Sebaik-baik teman duduk pada setiap waktu adalah buku.

Banyak hal cara yang dilakukan oleh santri dalam mencintai buku. Pertama, bila buku itu milik pribadi, barangkali santri akan merawatnya dengan sebaik mungkin; dengan menyampul bagian covernya dan bentuk upaya lainnya.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Kedua, banyak kita temui kecintaan seorang santri ketika mencintai buku justru menyembunyikan buku-buku tersebut agar tidak dipinjam.

Ketiga, hal yang paling banar dalam mencintai buku, tidak sedikit santri meminjam buku ke orang lalu berupaya agar tidak dikembalikan. Walau dikembalikan, itu juga dalam tempo yang cukup lama, bahkan bisa berbulan-bulan.

Bila berbicara jujur, penulis seringkali berada di posisi nomor tiga dalam mencintai buku. Dan teryata apa yang penulis lakukan dalam mencintai buku tidaklah seorang diri. Berabad-abad lalu, sekitar abad ke-6 Hijiriyah, hiduplah seorang pakar Hadis dan bahasa Arab di daerah Baghdad, bernama Ibn al Khasysyab.

Ibn al Khasysyab dikenal sebagai sosok pembaca buku yang hebat, bisa bertahan duduk berjam-jam di tempat seburuk apapun jika sudah ada buku menarik minatnya. Tetapi Ia juga tersohor sebagai peminjam buku yang memiliki banyak cara untuk tidak mengembalikan buku pinjamannya. Ketika ditanya oleh sang pemilik buku, Ia selalu memiliki jawaban standar: “Buku itu ada di antara tumpukan buku-buku lain. Sulit sekali guna mencarinya.

Kisah di atas penulis yakini bukanlah hal yang patut ditiru oleh seorang santri dalam meminjam buku. Tetapi penulis juga hendak menunjukan perihal pinjam meminjam buku dengan segala persoalannya yang justru merupakan bagian dari kekayaan literasi yang kita miliki.

Al-Khatib al-Baghdadi dalam karyanya yang berjudul, “al-Jami’ li Akhlaq al- Rawi wa al-Sami, telah mengkhusukan dua bab tentang persoalan pinjam meminjam buku. Satu bab pertama berisi anjuran untuk meminjamkan buku kepada siapapun yang membutuhkannya serta celaan kepada orang yang pelit dalam hal itu.

Lalu bab selanjutnya mengenai anjuran untuk segera mengembalikan buku pinjaman dan larangan untuk menahannya terlalu lama. Karya ini ditulis sekitar abad ke-5 yang secara tidak langsung  menginformasikan kepada kita bahwa orang yang tidak mau meminjamkan buku dan orang yang menahan-nahan pinjaman buku terlalu lama sudah terjadi sejak dulu.

Dalam kitab itu, Al-Khatib al-Baghdadi mengutip peryataan dari Sufyan al-Tsauri yang menyatakan bahwa siapapun yang enggan meminjamkan buku miliknya, maka akan ditimpa oleh salah satu dari tiga bencana: dibuat lupa akan ilmu-ilmunya, atau mati dengan membawa ilmu yang tidak bermanfaat, bahkan kehilangan buku-bukunya. Sungguh itu ancaman yang sangat serius.

Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari juga mengkhususkan 1 bab terakhirnya dalam kitab Adabul ‘Alim Wal Muta’alim, mengenai adab seorang santri ketika meminjam buku. Beliau menganjurkan kepada santri untuk meminjamkan buku kepada temannya. Beliau juga meningatkan kepada sang peminjam untuk tidak menahan buku pinjamannya terlalu lama di sisinya, bila sudah tidak diperlukan kembali buku tersebut maka harus segera mungkin dikembalikan kepada pemiliknya.

Selain itu terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan oleh peminjam buku, antara lain: tidak boleh melakukan perbaikan tulisan tanpa sepengetahuan pemiliknya, tidak memberi catatan di pinggir, tidak menulis bagian sesuatu pada bagian lembaran-lembaran kosong, tidak meminjamkan dan menitipkan kepada orang lain bila tidak ada perlunya, dan tidak menaruh wadah tinta di atas buku pinjamannya.

*Mahasantri Mahad Aly Hasyim Asy’ari.