Tuhan adalah urusan yang tak kunjung padam.

Agama, ilmu, filsafat, juga seni tak pernah usai mengungkai urusan ini dari silam hingga kini.Tuhan adalah urusan abadi. Dalam kondisi perang atau damai, Tuhan tak pernahsama sekali reda dalam perbincangan manusia. Tuhan adalah tema yang tak pernah ketinggalan zaman.

Kalender menunjuk titi mangsa 13 November 1943.

Republik Indonesia saat itu belum berdiri. Pendudukan Jepang sedang bengis mencengkeram bangsa ini dan dunia sedang kacau oleh kecamuk perang besar antar-negara. Di Jakarta,seorang penyair kelahiran Medan berusia 21 tahun, menggubah bait awal sebuah puisi yang pada kemudian harisohor dalam sejarah perpuisian kita:

Tuhanku

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Dalam termangu

Aku masih menyebut namaMu

Chairil Anwar – inilah nama lengkap penyair itu. Sedang “termangu” oleh apakah penyair berjulukan “Binatang Jalang” ini ketikaitu? Barangkali ia termangu oleh kesadarannya tentang Tuhan atau barangkali kesadarannya tentang Tuhan membuat ia menjadi termangu. Ketermanguan ini tak membuat Chairil menjadi kosong atau merasa hampa. Ketermanguan ini membuat ia “masih menyebut namaMu”. Ketermanguan penyair ini masih punya bobot kesadaran ketuhanan. Sebuah ketermanguan yang teologis.

Pada tahun yang sama dengan penulisan bait pertama puisi berjudul “Doa” itu,ada peristiwa terjadi di daerah Sukamanah, Tasikmalaya.Kiai Zainal Mustofa merancang dan melakukan perlawanan fisik terhadap Pendudukan Jepang di daerahnya lantaran ketersinggungannya yang berlatar masalah ketuhanan.

Kiai Zainal menolak kewajiban ritual membungkuk ke arah Tokyo setiap pukul 7 pagi (seikere). Ritual ini merupakansimbol menghormati Hirohito (Kaisar Jepang saat itu) dan ketaatan kepada Amaterasu Omikami (Dewa Matahari dalam kepercayaan orang Jepang). Pada tahun sebelumnya, Kiai Hasyim Asy’ari dari Tebuireng, Jombang dipenjarakan oleh aparat Pendudukan lantaran menolak kewajiban seikere.

Ketuhanan adalah sebuah perjuangkan. Juga pergolakan.Tuhan bukan urusan yang gampang. Dengan alasan ketuhanan pula sering tumpah darah manusia. Amir Hamzah, penyair sebelum masa Chairil, menggambarkan ketuhanan dengan nada keras dan mengejutkan: Engkau cemburu/Engkau ganas/Mangsa aku dalam cakarmu. Ketuhanan memang urusan yang kerap menimbulkan kengerian, namun tak kunjung ditinggalkan, bahkan tetap dipuja. Ketuhanan adalah sihir keyakinan yang tak kunjung berakhir.

Pada bait selanjutnya puisi itu, Chairil menuliskan:

Biar susah sungguh

mengingat Kau penuh seluruh

Caya Mu panas suci

tinggal kerdip lilin di kelam sunyi

Dalam suasana Pendudukan Jepang yang kejam, rakyat terjerat kemelaratan. Kematian merebak. Krisis sandang dan pangan merajalela. Hidup tampak kumal dan penuh bahaya.Dalam suasana demikian, Chairil menawarkan sandaran teologis di tengah kemelut hidup yang rawan. Sebuah harapan alit di tengah masalah besar, sebuah “kerdip lilin di kelam sunyi” di pusaran perang yang ganas. Apakah Chairil hendak mengajak Tuhan turun ke dunia untuk membereskan keadaan?

Kerawanan hidup sering meremukkan eksistensi dan optimisme manusia. Pada 1943 keadaan sungguh jauh dari sejahtera. Rakyat terpaksa berbaju goni dan melahap bonggol pangkal pohon pisang. Dan konon, “kemiskinan mendekatkan kepada kekufuran”. Kerawanan hidup bisa membuat manusia mencetuskan keputusan-keputusan ekstrim semisal bunuh diri atau kepasrahan kepada Tuhan secara total.

Tuhanku

aku hilang bentuk

remuk

Tuhanku

Aku mengembara di negeri asing

Kadang tak ada jalan lain ditemukan meski setelah menempuh pengembaraan panjang. Pengembaraan akan berujung juga di titik awal: pintu rumah sendiri. Binatang Jalang dari Medan ini pun pada akhirnya mengakui dan menempatkan Tuhan sebagai satu-satunya tempat kembali: Tuhanku/di pintuMu aku mengetuk/aku tak bisa berpaling…

Binhad Nurrohmat, Penyair