Buku terbitan Pustaka Tebuireng
  • Judul Buku: Santri Kisanak Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari
  • Penulis: Cholidi Ibhar
  • Penerbit: Pustaka Tebuireng
  • Hal: xvi+139
  • Perensensi: Dimas Setyawan Saputra*

Senyumnya yang khas dengan tutur kata yang lembut, pribadi yang terkenal tak pernah marah sedikitpun, tidak pernah membentak kepada siapapun, apalagi kepada putra-putrinya dan seluruh santri, membuat beliau dicintai oleh semua kalangan. Beliaulah KH. Shobari, santri kisanak Hadrtusykh KH. Hasyim Asy’ari.

Sosok yang penuh pengabdian

Semula bernama “bambang” tetapi setelah nyantri di Pesantren Tebuireng nama beliau diubah oleh Hadratussyaikh KH. Hasyim Asya’ari menjadi “Shobari”. Uniknya selama di Pesantren Tebuireng tak sedikitpun kiai Shobari mengaji layaknya santri-santri lainnya. Melaikan Kiai Shobari hanya mencurahkan waktu dan tenaga untuk membantu dan menyiapkan kebutuhan Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari. Meskipun tak pernah mengaji sebagaimana santri lainnya, teryata Kiai Shobari mampu menguasai kitab Mu’tabarah (ilmu induk yang dipelajari oleh setiap pesantren).

Dengan berkendara sepeda ontel, memakai baju dan sarung putih, berkopiah putih dan bersandal bakiak 33tahun lamanya Kiai Shobari mencurahkan waktu dan tenaganya untuk mengabdikan diri pada Pesantren Tebuireng. Kendati demikian pengabdian Kiai Shobari ialah tawaran langsung dari Kiai Hasyim Asy’ari ketika memintanya untuk menjadi tim pengajar di Pesantren Tebuireng. Menurut Kiai Shobari mengabdi di Tebuireng ialah lantaran untuk membalas hutang kepada almameternya terlebih jasa-jasa gurunya.

Sang Pemantik Sufistik Gus Dur

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Siapa yang tidak mengenal Gus Dur? Yah, Beliaulah kali pertama seorang presiden yang berasal dari kalangan santri. sebagaimana yang diketahui kebanyakan orang, bahwa santri selalu saja berhubungan erat dengan mengaji Al Quran, mengkaji kitab kuning dan jauh akan perihal urusan perpolitikan. Tetapi Gus Dur dapat mendobrak pandangan itu. Dialah satu-satunya kaum santri yang berbeda dengan kebanyakan santri lainnya. Selain pernah menjabat sebagai seorang nomor “wahid” di negeri ini, teryata Gus Dur telah benyak mendapatkan gelar, seperti “Bapak Pluralisme dan Bapak Bangsa”.

Sebagai sosok yang dikagumi banyak kalangan, telah banyak sekali orang-orang yang menuliskan “rekam jejak” beliau, seperti Vartin Van Bruinessen, Andre Feillard, Greg Fealy, Greg Barton, Nakamura dan dari kalangan NU sendiri. Tapi sangat disayangkan, dibalik kepunulisan “rekam jejak” mengenai Gus Dur teryata tak ada satupun pembahasan yang menyinggung tentang dunia tasawuf atau sufistik Gus Dur.

Sedangkan di dalam buku ini penulis menceritakan bahwasanya orang yang pertama kali memantik sufi Gus Dur ialah Kiai Shobari. Pada tahun 1970, Kiai Shobari meminta Gus Dur untuk membacakan kitab Al-Hikam karya Syekh Ibnu Atha’illah As-Sakandari di hadapan santri Tebuireng pada bulan Ramadan (hal.53).

Dalam kepribadian Kiai Shobari, banyak suri teladan yang bisa kita tiru. Seperti kesederhanaannya, keikhlasannya, dan sosok pengabdiannya yang totalitas. Kini peninggalan beliau, selalu dikenang dan diamalkan oleh santri-santri Tebuireng.

*Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang.