Sumber gambar: kanalyoutube

Oleh: Mohammad Naufal Najib Syi’bul Huda*

Siapa yang tak mengenal sosok Nabi Muhammad? Manusia agung yang ditunjuk oleh Tuhan semesta alam sebagai penutup para nabi. Beliau memiliki tugas yang sangat mulia, yakni menyempurnakan akhlak manusia. Seperti hadis-hadis yang sering kita dengar, bahkan kita sudah hafal di luar kepala yang berbunyi,

إنما ‌بُعِثْتُ ‌لأتمم مكارمَ الأخلاقِ

“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak.”

Dari sini, kita mulai paham mengapa nabi harus memiliki akhlak mulia. Jika nabi yang notabene sebagai pedoman tidak bisa memberikan teladan yang baik, lantas bagai mana bisa umatnya ingin meniru langkah jejak beliau?

Bicara mengenai akhlak beliau, sepertinya sifat jujur menjadi topik menarik untuk dibahas. Nabi Muhammad sangat menekankan kita untuk berperilaku jujur. Beliau pernah bersabda,

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

قُلِ ‌الْحَقَّ، ‌وَلَوْ كَانَ مُرًّا

“Berbicaralah jujur walaupun itu pahit!”

Mengutip dari kitab Subul As-Salam, Imam As-Shonani menjelaskan bahwa perintah berkata jujur tersebut mencakup jujur dengan diri sendiri dan orang lain. Setelah itu, beliau juga menjelaskan maksud dari kalimat “ولو كان مرا”. Pada kalimat tersebut, nabi menyebut kata “مرا” yang berarti pahit sebagai perumpamaan. Mudahnya, mengatakan hal yang benar merupakan tindakan yang sulit untuk dilakukan, sama halnya menelan benda pahit karena rasa pahit tersebut.

Salah satu hal menarik dari Nabi Muhammad adalah beliau tidak pernah berbohong sekalipun beliau bercanda. Nabi Muhammad bersabda,

“إِنِّي لَأَمْزَحُ وَلَا أَقُولُ إِلَّا حَقًّا”

“Sesungguhnya, aku juga bercanda dan aku tidak berkata kecuali berupa kebenaran.”

Dalam kitab Ihya’ Ulumiddin Imam Al-Ghozali memberikan beberapa contoh bahwa Nabi tetap menjaga kejujurannya meskipun dalam keadaan bercanda. Kisah pertama terjadi ketika Nabi mengatakan kepada seorang perempuan paruh baya bahwa perempuan yang tua tidak akan masuk surga.

عَنْ الْحَسَنِ قَالَ أَتَتْ عَجُوْزٌ إِلَى النَّبِيْ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لَهَا صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ عَجُوْزٌ، فَبَكَتْ، فَقَالَ إِنَّكِ لَسْتِ بِعَجُوزٍ يَوْمَئِذٍ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى {إنا أنشأناهن إنشاء فجعلناهن أبكاراً}

“Diriwayatkan oleh Hasan, dia berkata bahwa pada suatu hari ada seorang nenek datang menghampiri Nabi. Kemudian Nabi berkata kepadanya bahwa orang tua tidak akan masuk surga. Mendengar hal itu, sang nenek menangis. Lalu nabi Muhammad kembali berkata bahwa sesungguhnya pada saat itu engkau bukanlah orang tua, Allah berfirman, Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (bidadari itu) secara langsung, lalu Kami jadikan mereka perawan-perawan.”

Baca Juga: Meneladani Akhlak Nabi Muhammad SAW

Kisah selanjutnya datang dari Ummu Aiman yang mengadu kepada Rasulullah bahwa suaminya telah mendoakan beliau.

قَالَ زَيْدٌ بِنْ أَسْلَمَ إِنَّ امْرَأَةً يُقَالُ لَهَا أُمُّ أَيْمَن جَاءَتْ إِلَى النَّبِيْ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ إِنَّ زَوْجِي يَدْعُوكَ قَالَ وَمَنْ هُوَ أَهُوَ الَّذِي بِعَيْنِهِ بَيَاضٌ قَالَتْ وَاللهِ مَا بِعَيْنِهِ بَيَاضٌ فَقَالَ بَلَى إِنَّ بِعَيْنِهِ بَيَاضًا فَقَالَتْ لَا وَاللَّهِ فَقَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ أَحَدٍ إِلَّا وَبِعَيْنِهِ بَيَاضٌ وَأَرَادَ بِهِ البَيَاضٌ الْمُحِيطَ بِالْحَدَقَة.

Zaid bin Aslam berkata bahwa ada perempuan yang dijuluki Ummu Aiman mendatangi Nabi dan berkata “Sesungguhnya suamiku telah mendoakanmu”. Mendengar hal tersebut, Nabi Muhammad menjawab “Siapa dia? Apakah dia adalah orang yang terdapat putih-putih di matanya”. Karena Ummu Aiman tidak merasa demikian, dia menolak dengan tegas “Demi Allah, tidak ada putih-putih di mata suamiku”. Nabi tetap memberikan tanggapan yang sama “Iya, sesungguhnya terdapat putih-putih di mata suamimu”. Ummu Aiman tetap mengelak “Tidak, Demi Allah”. Kemudian Nabi menjawab “Tidak ada satu pun orang kecuali terdapat putih-putih di matanya”, yakni putih-putih yang mengelilingi pupil.

Kisah terakhir berasal dari perempuan yang ingin minta tunggangan kepada Nabi.

جَاءَتِ امْرَأَةٌ أُخْرَى فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ احْمِلْنِي عَلَى بَعِيرٍ فَقَالَ بَلْ نَحْمِلُكِ عَلَى ابْنِ الْبَعِيرِ فَقَالَتْ مَا أَصْنَعُ بِهِ إِنَّهُ لَا يَحْمِلُنِي فَقَالَ صلى الله عليه وسلم مَا مِنْ بَعِيرٍ إِلَّا وَهُوَ ابن بعير

Suatu ketika, ada perempuan yang menghampiri Nabi lalu berkata “Wahai Rasulullah, bawalah aku di atas unta”. Nabi menanggapinya dengan gurauan, beliau berkata “Iya, tapi kami akan membawamu di atas anak unta”. Dengan sedikit kesal, wanita itu membalas “Aku tidak bisa berbuat apa-apa dengan anak unta tersebut, dia tidak mampu untuk membawaku”. Lalu, beliau menjelaskan maksud dari perkataan beliau “Tidak ada satu pun unta, kecuali dia adalah anak unta”

Dari tiga kisah di atas, kita bisa memahami betul bahwa Nabi Muhammad sangat menjaga lisan dari perkataan bohong. Tak heran mengapa Nabi Muhammad layak menyandang gelar manusia yang memiliki akhlak sempurna.



*Mahasantri Ma’had Aly An-Nur II.