ilustrasi

Dalam sebuah sistem pemerintahan, kritik terhadap penguasa adalah bagian yang sangat penting untuk menjaga keadilan, transparansi, dan akuntabilitas. Namun, cara dan etika dalam menyampaikan kritik kepada penguasa memiliki peran yang besar dalam menciptakan perubahan yang positif dan meminimalkan potensi konflik. Dalam sejarah Islam, terdapat banyak contoh teladan tentang bagaimana para sahabat Nabi menunjukkan etika luhur dalam menyampaikan kritik kepada penguasa mereka.

Salah satu kisah terkenal adalah kritik yang disampaikan oleh Abu Dzar Al-Ghifari kepada Utsman bin Affan, khalifah ketiga dalam sejarah Islam. Abu Dzar merupakan seorang sahabat Nabi yang sangat jujur dan teguh dalam prinsip keadilan. Saat dia melihat ada ketidakadilan dalam pemerintahan Utsman, dia memilih untuk menyampaikan kritiknya dengan bijaksana dan santun.

Sementara itu, Utsman bin Affan adalah sahabat Nabi yang menjadi khalifah ketiga setelah kematian Khalifah Umar bin Khattab. Utsman adalah sosok yang dermawan dan memiliki dedikasi tinggi dalam menyebarkan agama Islam. Namun, masa pemerintahannya juga diwarnai oleh kontroversi dan kritik, terutama terkait dengan pembagian harta negara dan perlakuan terhadap keluarga dan kerabatnya.

Pada masa pemerintahan Utsman bin Affan, terjadi beberapa kebijakan yang dinilai oleh Abu Dzar Al-Ghifari sebagai pelanggaran prinsip keadilan. Salah satu masalah utamanya adalah terkait dengan distribusi kekayaan dan harta benda negara. Utsman memberikan posisi penting dalam pemerintahan kepada beberapa anggota keluarga dan kerabatnya, yang menyebabkan ketidakpuasan di kalangan masyarakat. Penguasaan kekayaan yang tidak adil oleh segelintir orang ini menyulut kemarahan dan kekecewaan, terutama di kalangan sahabat yang lebih miskin.

Abu Dzar sebagai seorang sahabat yang teguh dalam prinsip keadilan dan kesederhanaan, merasa sangat terpanggil untuk menyuarakan kekhawatiran dan ketidakpuasannya terhadap situasi ini. Namun, dia tidak ingin menciptakan konflik atau ketidakstabilan dalam masyarakat dengan menyampaikan kritik secara terbuka dan tidak terkontrol. Oleh karena itu, dia memilih untuk menyampaikan kritiknya dengan bijaksana dan santun.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Kritik dan Menerima Kritik

Abu Dzar Al-Ghifari, sebagai seorang sahabat Nabi yang bijaksana dan disegani, memilih untuk menyampaikan kritiknya kepada Utsman bin Affan dengan pendekatan yang penuh hikmah. Dia menghindari menggunakan media massa atau menyebarkan kritik secara terbuka yang dapat menyebabkan perpecahan di kalangan umat Islam. Sebaliknya, dia memilih pendekatan pribadi dan langsung dengan Khalifah Utsman.

Dalam pertemuan pribadi itu, Abu Dzar dengan lembut dan hormat menyampaikan kekhawatiran dan ketidakpuasannya terhadap pembagian harta negara yang tidak adil. Dia mengajukan pertanyaan dengan sopan tentang alasan di balik kebijakan tersebut dan mencari penjelasan dari penguasa. Pendekatan ini menunjukkan etika yang tinggi dalam menyampaikan kritik, di mana dia menghormati posisi Utsman sebagai seorang penguasa dan mencoba untuk mencari pemahaman lebih lanjut tentang keputusan yang diambilnya.

Respon Utsman bin Affan terhadap kritik Abu Dzar Al-Ghifari menjadi cerminan kepemimpinan yang bijaksana dan kesediaan untuk mendengar pendapat orang lain. Ketika Abu Dzar menyampaikan kekhawatirannya, Utsman dengan sabar mendengarkan kritik tersebut. Dia tidak menolak atau mengabaikan kritik yang diajukan, tetapi sebaliknya memberikan penjelasan yang jelas tentang kebijakan-kebijakan yang diambilnya.

Utsman juga menyampaikan alasan di balik pembagian harta negara dan menjelaskan bahwa keputusan tersebut didasarkan pada pertimbangan yang lebih luas untuk memperkuat dan mengamankan umat Islam. Meskipun tidak selalu sepakat, Utsman menghargai kejujuran dan kesetiaan Abu Dzar sebagai sahabat Nabi, dan dia tidak mengambil tindakan balasan terhadapnya.

5 Etika Kritik Abu Dzar Al Ghifari

Dalam kisah kritik Abu Dzar Al Ghifari, kita bisa merumuskan 5 etika kritik yang bisa diadaptasikan ke zaman modern seperti sekarang ini. Kelima etika kritik tersebut bisa membangun hubungan yang baik antara pengkritik, rakyat, dan penguasa. Sehingga tidak terjadi kekacauan yang berpotensi menghancurkan negara. 

Pertama, Abu Dzar menunjukkan bagaimana etika dalam menyampaikan kritik sangat penting. Dia menghindari mengumbar kritik secara terbuka yang dapat menyebabkan perpecahan dalam masyarakat. Sebagai gantinya, dia memilih pendekatan pribadi dan langsung dengan penguasa untuk mengajukan pertanyaan dan mendapatkan pemahaman lebih lanjut.

Kedua, menghormati posisi penguasa. Meskipun Abu Dzar memiliki kekhawatiran dan ketidakpuasan terhadap kebijakan penguasa, dia tetap menghormati posisi Utsman sebagai khalifah dan tidak mengambil tindakan yang dapat merusak otoritas penguasa.

Ketiga, mendengarkan dan merespons kritik. Respon Utsman bin Affan yang sabar dan bijaksana terhadap kritik Abu Dzar menunjukkan pentingnya mendengarkan dan merespons kritik dengan bijaksana. Penguasa harus terbuka untuk menerima masukan dan saran dari rakyatnya demi meningkatkan kualitas pemerintahan.

Keempat, menjaga kesatuan umat. Kisah ini mengajarkan pentingnya menjaga kesatuan umat dalam menghadapi perbedaan pendapat. Abu Dzar dan Utsman memprioritaskan persatuan dan kesatuan umat Islam di atas perbedaan pandangan mereka.

Kelima, kepemimpinan yang beradab. Kepemimpinan yang beradab mencakup sikap rendah hati, kesediaan untuk mendengarkan, dan menjalankan tanggung jawab dengan keadilan. Utsman bin Affan menunjukkan keteladanan dalam hal ini dengan menerima kritik dengan baik dan memberikan penjelasan yang jelas.

Kisah kritik Abu Dzar Al-Ghifari kepada Utsman bin Affan adalah contoh teladan tentang etika mengkritik penguasa dalam sejarah Islam. Abu Dzar menunjukkan bahwa menyuarakan ketidakpuasan terhadap penguasa harus dilakukan dengan bijaksana, hormat, dan kesadaran akan tanggung jawab sebagai warga negara. Utsman bin Affan, sebagai penguasa yang bijaksana, menerima kritik dengan sabar dan membuktikan bahwa mendengarkan masukan dari rakyat adalah sikap kepemimpinan yang penting.


Ditulis oleh Muhammad Nur Faizi, Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta