Ilustrasi daging

Sering kita alami di tengah-tengah makan daging. Seperti daging ayam, sapi, kambing maupun daging-daging yang halal lainya masih terdapat sisa darah. Boleh jadi, salah satu penyebabnya kurang bersih ketika mencuci dagingnya.

Dengan melihat fenomena di atas, lantas bagaimana hukum mengkonsumsi daging yang masih tersisa darahnya menurut kaca mata fikih?

إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Sesungguhnya Allah Swt hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”  (Q.S. Al-Baqarah: 173)

Dengan menilisik ayat di atas, bahwasannya Allah Swt menegaskan darah hukumnya haram tanpa ada penjelasan kategori darah yang bagaimana yang statusnya haram. Hal demikian menurut istilah usul fikih disebut mutlaq.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Dalam tafsir Al-Qurtuby menjelaskan bahwa kejadian tersebut pernah terjadi di zaman Nabi Saw. sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Sayyidah Aisyah ra.:

وقد روت عائشة – رضى الله عنها – قالت: كنا نطبخ البرمة على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم تعلوها الصفرة من الدم فنأكل ولا ننكره

Pada suatu saat. Aisyah r.a memasak (sejenis daging) menggunakan البّرمَة (kuali yang terbuat dari batu) setelah proses memasak sudah selesai (matang). Ternyata terdapat sisa darah yang tercampur dalam masakan tersebut. Akan tetapi ketika dihidangkan masakan tersebut tetap dimakan dan rasulullah tidak menegur ataupun melarang.

Dengan adanya hadis tersebut, Imam al-Qurthubi dalam kitabnya memberi alasan bahwa tindakan Rasulullah (tidak menegur atau melarang) ialah untuk menjaga umat Islam dari beban dan kesulitan.

Hukum Sisa Darang dalam Daging

Di dalam kitab Fathul Ar-Rahman menjelaskan bahwa status hukumnya ialah ma’fu (ditoleransi):

والدَّم الباقى على اللَّحْم وعظامه نجس مَعْفُو عَنهُ لِأَنَّهُ من ‌الدَّم المسفوح وَإِن لم يسل لقلته وَلَعَلَّه مُرَاد من عبر بِطَهَارَتِهِ

“Darah yang tersisa pada daging dan tulangnya adalah najis yang dima’fu (ditoleransi)

Akan tetapi Al-Imam Muhyiddin Abi Zakariya Yahya bin Syarof an-Nawawi menghukumi darah tersebut dengan status darah yang suci:

(قوله: حتى ما بقي على نحو عظم) ‌أي ‌حتى ‌الدم ‌الباقي ‌على ‌نحو ‌عظم ‌فإنه ‌نجس.وقيل: ‌إنه ‌طاهر.

‌وهو ‌قضية ‌كلام ‌النووي في المجموع، وجرى عليه السبكي

“(Perkataannya: sehingga sesuatu yang tersisa pada tulang) dalam artian sekalipun darah yang tersisa pada tulang dan sebagainya. Maka hal tersebut najis dan ada yang mengatakan hal tersebut suci. Ini merupakan keputusan hukum perkataan Imam an-Nawawi dalam kitab Majmu’.”

Dengan penjelasan di atas maka hukum mengkonsumsi daging yang masih terdapat sisa darah hukumnya boleh dengan mempertimbangkan hukum darah tersebut ialah ma’fu bahkan Imam Nawawi menghukumi suci.

Imam Said bin Muhammad al-Hadramy, dalam kitab Syarah Al-Khadromiyah juga menjelaskan:

و) ‌من ‌النجاسة ‌أيضاً: (‌الدم) -‌بتخفيف ‌الميم ‌على ‌المشهور- ولو معفواً عنه وإن تحلب من كبد أو طحال، ومنه ما يبقى على اللحم والعظام، لكن يعفى عنه في الأكل وإن اختلط بماء الطبخ وغيره، وكان وارداً على الماء

“(Dan) termasuk dalam najis adalah (darah) meskipun dalam najis yang di ma’fu, jika berasal dari hati atau limpa, dan termasuk sesuatu yang tersisa pada daging dan tulang.Tetapi hal tersebut di ma’fu ketika di makan meskipun bercampur dengan kuah masakan dan selainnya. Dan darah merupakan sesuatu yang datang pada air”

Dengan demikian, kita bisa menghukumi status dagingnya, apakah najis atau suci. Ternyata daging  yang sudah dibersihkan namun masih tersisa darah di dalamnya masih dihukumi halal untuk dikonsumsi. Wallahu a’lam bis showab.


Referensi: Kitab Fathur Ar-rahman bisyarhi zubad, Kitab syarah khadromiyah, Kitab I’anatut tholibin, Tafsir Al-Qurtuby


Ditulis oleh  Bayu Aji Kertadinoto, mahasantri Ma’had Aly An-Nur 2 Al-Murtadlo