Semua hal bisa diciptakan dan dicitrakan di era digital ini. Dalam hitungan detik, seseorang citranya akan nampak baik, begitu pula dengan keburukannya. Tidak butuh trackrecord atau perjuangan yang lama dan berdarah-darah. Orang yang menguasai media akan mendapatkan segalanya. Ulama yang dulu begitu sakral pun sekarang sudah menjadi bahan jualan yang mudah.
Karena kepentingan seseorang atau kelompok tertentu, ulama seringkali dijadikan korban. Oleh sebab itu, perlu didefinisikan ulang atau pemurnian makna. Masyarakat harus mengerti mana yang ulama asli dan ulama-ulamaan. Agar tidak tergerus arus di era digital ini yang begitu deras.
Kata ulama di Indonesia diartikan dengan “Orang yang ahli dalam suatu hal atau dalam pengetahuan agama Islam”. Maka pantaslah bila di Indonesia ada ungkapan “Para ulama”, karena di situ diartikan seorang. Ulama di Indonesia selalu diidentikkan dengan orang yang ahli dalam agama.
Sedangkan ulama dalam bahasa Arab merupakan bentuk jama’ dari “Alim”, yakni orang yang mengetahui. Jadi arti harfiyahnya adalah kumpulan orang yang tahu. B.J Habibi dan Albert Enstein termasuk golongan ulama karena mereka orang yang mengetahui.
Mengutip ungkapan KH. Ahmad Musthofa Bisri, ulama menurut sosiolog Arif Budiman, adalah produk masyarakat. Masyarakat melihat ada seseorang mempunyai ilmu dan akhlak yang tinggi, baru kemudian memberikan predikat ulama. Jadi bukan semata-mata karena ilmunya saja seseorang bisa disebut ulama, namun dilihat dari aspek akhlaknya juga. Sesuatu yang tabu apabila mengaku sebagai ulama tetapi akhlaknya tidak mencerminkan ulama.
Gus Mus mengungkapkan bahwa ilmu apabila tidak diamalkan maka layaknya seperti komputer. Dia punya banyak ilmu, cerdas dan pintar namun tidak mempunyai akhlak. Ketika tuannya berada di bawah, maka dia tetap duduk di atas. Ilmunya tidak memberi dampak terhadap sikapnya.
Sedangkan ulama yang kedua adalah ulama produk pers. Ketika media menampilkan seseorang sebagai ulama, kemudian diulang terus-menerus maka terbentuk opini keulamannya. Opini-opini yang ada akan menimbulkan dampak layaknya fakta. Hitler, dalam otobiografinya, mengatakan bahwa kepalsuan yang diulangi secara terus menerus diterima sebagai kebenaran. Manusia bisa membercayai apa saja. Ia bisa dipercaya pada kepalsuan.
Ulama selanjutnya adalah buatan pemerintah atau politisi. Mereka membeli 200 serban kemudian dipajang untuk konferensi pers dengan mengatakan, “Kita sudah didukung 200 ulama.” Dan yang terakhir adalah buatan sendiri. Bermodalkan peci haji yang harganya Rp 5.000 dan ditambah sorban Rp 50.000. Kemudian menghafal 3-4 ayat dan hadis. Terakhir dipoles dengan kemampuan akting, maka jadilah.
Sayangnya kesadaran masyarakat akan klarifikasi dan verifikasi tentang suatu hal belum tinggi. Mereka sering mengkonsumsi segala hal yang ada di depan mata. Terkadang tanpa membaca, sudah langsung dibagikan ke orang lain. Ini berita viral, harus cepat dibagikan agar tidak ketinggalan informasi. Padahal seharusnya tidak seperti itu dalam era digital ini.
Hal yang berbahaya adalah ketika keulamaan seseorang dipercayai dan ulama tersebut menyebarkan hal yang bertentangan dengan agama. Misalnya menghalalkan fitnah, ujaran kebencian, mengadu domba, dan mengacaukan rumah sendiri.
Gus Mus memberikan definisi sendiri tentang ulama. Ulama adalah pewaris Nabi. Maka dari itu, dia harus nempel perilaku Nabi. Ada sedikit miriplah tentang Nabi. Hal yang paling menonjol dari perilaku Nabi sebagai pemimpin adalah ‘Azizun alaihi ma anittum. Nabi tidak tahan melihat penderitaan yang terjadi kepada umatnya. Karena ingin seperti Nabi, maka dia harus melihat umat dengan mata kasih sayang. Seandainya Nabi Muhammad itu kasar, brangasan, tentu tidak akan ada yang dekat Rasulullah.
Kita berdoa agar pemimpin kita diberi petunjuk oleh Allah, supaya tidak melupakan Tuhannya. Orang yang melupakan Tuhan akan dibuat melupakan diri sendiri. Lupa diri kalau dia itu manusia. Lupa diri kalau dia itu Indonesia, beragama, ulama, panutan, dan sebagainya. Betapapun kemampuan seseorang, maka jangan melupakan tuhan. Karena kalau lupa, Tuhan akan membuatnya lupa diri.
*Disarikan dari talkshow Gus Mus dalam acara Mata Najwa dengan beberapa penambahan