Oleh: Ma’muri Santoso*
Bulan suci Ramadan telah memasuki pekan terakhir. Umat Muslim telah menjalankan ibadah puasa maupun amaliyah sunnah lainnya. Bulan penuh rahmat, berkah, serta ampunan menyisakan hari-hari yang terakhir. Momentum yang dari awal sangat dinantikan karena memiliki nuansa yang sangat istimewa ini hendaknya dapat kita manfaatkan dengan sebaik-baiknya.
Puasa sendiri dimaknai sebagai al imsaaku ‘ani al mufthiraat min thuluu’i al fajri ila ghuruubi al syamsi ma’anniyah, menahan diri dari segala sesuatu yang dapat membatalkan puasa. Menahan diri untuk tidak melakukan sesuatu yang dilarang, mulai dari terbitnya fajar sampai dengan tenggelamnya matahari dengan disertai niat.
Hakikat puasa sebenarnya tidak sebatas menahan lapar dan dahaga seperti makan ataupun minum, melainkan memiliki makna yang lebih luas bagi umat muslim yang menjalaninya. Dengan berpuasa diharapkan seseorang akan menjaga nafsu dan syahwat. Selain itu, puasa juga bermakna menahan diri dari segala sesuatu yang dibenci Allah SWT, baik yang bisa dilakukan oleh mata, lisan, telinga, serta anggota badan lainnya.
Orang yang berpuasa tetapi masih melakukan kebohongan, menggunjing, memfitnah, menyebarkan hoaks, maupun melakukan tindakan-tindakan yang dapat merugikan pihak lain, maka hal yang demikian tentu saja dapat membatalkan pahala ibadah puasa yang dikerjakannya.
Melalui ibadah puasa sebulan penuh, setiap muslim ditempa agar dapat menjadi insan yang peka, empati, peduli, dapat merasakan derita sesama, serta akan melahirkan sikap ta’awun yakni semangat tolong menolong dan bekerja sama dengan orang lain secara tulus.
Sikap beragama yang tidak sebatas membentuk pribadi yang saleh secara individu, melainkan juga dapat melahirkan kesalehan sosial. Sikap peduli terhadap nasib sesama serta mampu menumbuhkan jiwa solidaritas sosial.
Dengan menghayati dimensi berpuasa diharapkan akan mampu menumbuhkan benih-benih kasih sayang, tolong menolong, serta dapat membangun solidaritas sosial dalam kehidupan sehari-hari, mulai dari diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara, serta kemanusiaan secara universal.
Sikap hablun minallah harus berkorelasi langsung dengan hablun minannas. Hubungan baik terhadap Allah SWT yang mesti berkorelasi positif terhadap hubungan baik dengan sesama manusia. Penempaan penuh selama Ramadan hendaknya akan menumbuhkan semangat solidaritas kebangsaan, peduli terhadap nasib sesama, serta menjunjung tinggi martabat kemanusiaan.
Solidaritas Kebangsaan
Sudah tiga Ramadan kita masih dihadapkan pada situasi dan kondisi penanganan dan pemulihan dari persoalan pandemi Covid-19. Dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan oleh pandemi juga sangat terasa di tengah-tengah masyarakat. Ditambah pula dengan munculnya sejumlah bencana alam di negeri ini.
Oleh karena itu, spirit ibadah puasa diharapkan akan mengasah kepedulian serta memupuk solidaritas kita untuk bersama-sama membantu pihak lain. Apa yang dihadapi orang lain pada hakikatnya adalah masalah kita sebagai sesama warga bangsa.
Hal penting lainnya yang dapat dilakukan untuk memupuk solidaritas kita ialah dengan menjaga perasaan seperti kehati-hatian dalam berucap, bersikap, serta bertindak. Jangan sampai ucapan dan perilaku kita menyinggung maupun menimbulkan kerugian terhadap pihak lain.
Kesalehan sosial akan mampu memupuk solidaritas kebangsaan. Hal ini tentu saja akan menguatkan rasa persatuan kita sebagai satu bangsa. Setiap muslim hendaknya mampu mewujudkan bahwa puasa yang dijalankannya dapat menjadi berkah bagi sesama.
Membantu pihak lain dengan memberikan pertolongan, harta, tenaga, pikiran, maupun bantuan kemanusiaan dalam bentuk lainnya dalam suasana yang sangat dibutuhkan jelas merupakan ibadah yang sangat dicintai Allah SWT.
Saatnya kita menjadikan momentum ramadhan ini untuk meningkatkan kesalehan sosial, peduli terhadap sesama, serta dapat menguatkan solidaritas kebangsaan. Dengan demikian diharapkan dapat tercapai tujuan dari ibadah puasa itu sendiri, yakni membentuk pribadi yang bertakwa.
*Instruktur Nasional Jatman, Santri PP. Al Aqobah dan PP. Tebuireng Jombang.