ilustrasi: www.google.com

Oleh: Wahidul Halim*

Jas hitam tergantung pada dinding dinding biru yang cetnya berbintik mengelupas. Beragam foto juga terpajang di sampingnya. Nampak foto keluarga pemilik tempat penginapan ini. Sialnya, aku tidak mengetahui siapa nama pemilik losmen yang biasa melayani tamu-tamu peziaroh makam Gus Dur. Ruangan yang disediakan cukup lebar dengan banyak kamar mandi yang tersedia.

Sampai detik ini, belum terdengar suara kicau seorang perempuan paru baya. Ia hanya kelihatan saat menerima kami untuk menginap di tempat ini. Terbesit dalam pikiran, sejak pertama bertemu dengan ibu itu, kami belum sempat mengobrol panjang lebar. Padahal ada yang ingin kutanyakan tentang foto-foto kiai yang terpajang.

Lain arah, Ibu tiba-tiba memanggil, ia mengajak untuk sarapan di warung menuju pesarehan Tebuireng. Dengan pakaian yang dikenakannya, ibu terlihat cantik. Tapi sayang, aku tidak langsung bergegas membuntutinya. Rasa penasaran dengan foto jauh mendominasi saat itu.

Dari balik kain batik terlihat bayangan hitam seseorang. Ia melangkahkan kaki dengan sangat pelan. Sehingga ketika tangannya mulai merabah kain usang itu sedikit mengagetkan. Senyum manisnya menyapaku dari lorong kotak menuju ruang tengahnya. Ia kemudian datang dan mengatakan sesuatu.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Hai dek,” senyumnya semakin melebar. “Enggih bu,” jawabku. “Sarapan dulu dek,” katanya. Kemudian ia mendekatiku dengan daster bunga-bunga berwarna coklat. Ia menanyakan, “kamu dari Ciebon ya?”. Hebat juga ibu ini, bisa menebak asalku. “Enggih bu.” aku menjawabnya singkat.

Saya juga dari Cirebon dek,” timpalnya.

Oh ya? Cirebon mana bu?” tanyaku berharap percakapan ini semakin mengalir.

Engga tau, sudah lama sekali engga ke Cirebon. Bapak yang orang Cirebon, ibu asli Jombang sini.”

Berarti engga pernah mudik nih bu?”

Engga, kemaren saja diundang, katanya sih masih ponakan, hahah, ibu sampe malu, engga kenal sama sodara sendiri disana,” cerita ibu itu dengan tawanya yang renyah.

Walah, iya bu ndak papa,” kepalaku mengangguk seperti burung mendekur tajam.

Bapak itu kiai di pondok ini dek,”

Kiai siapa bu?”

KH. Syansuri Badawi,”

Mendengar nama itu, memori otak seperti menembus awan-awan hitam. Setahun lalu, mengaji kitab Shoheh Bukhari, dibacakan oleh KH. Habib. Dari rangkaian kegiatan ngaji, 10 persen mendengarkan, sembilan persen tidur.

Ngaji ini biasa diselenggarakan ketika 10 hari sebelum Ramadan sampai 20 Ramadan. Sertifikat ijazah-an yang ku terima dari proses mengaji, memuat nama KH. Syansuri Badawi sebagai pembaca sebelum KH. Habib.

Tidak lama, raut wajah ibu itu murung. Kemudian ia memperkenalkan namanya yakni Zahroh. Ibu Zahroh menundukan kepalanya. Seolah mencoba untuk memberi isyarat, bahwa ada memori yang tidak terlupakan.

Ibu Zahroh lantas mulai bercerita bahwa dulu orang tuanya berasal dari Cirebon. “Dahulu Bapak mondok di Tebuireng,” cerita ibu Zahroh berhenti seketika, dan menanyakan kepada penulis apakah kenal dengan KH. Syansuri Badawi. Kiai besar Tebuireng? penulis yang tidak asing dengan nama tersebut hanya menganggukkan kepala. “Pernah dengar Bu.”

Itu adalah bapak saya,” sekali lagi ia tegaskan. Lalu melanjutkan ceritanya sembari air mata yang mulai memenuhi kelopak mata. “Bapak dahulu berasal dari Cirebon. Tradisi orang jaman dahulu khususnya yang berasal dari Cirebon adalah perjodohan dini.”

Bapak yang berasal dari keluarga tidak mampu. Sehari-harinya adalah mengangon kerbau, mencangkul sawah kepada pemilik dari saudagar kaya. Atas keuletan bapak, saudagar kaya mengambilnya menjadi mantu,” ceritanya dengan isak tangis.

Bapak yang berusia masih bujangan akhirnya menerima tawaran tersebut. Jelas atas persetujuan dari orang tuanya,” imbuhnya. Setelah menikah, nama Tebuireng yang terkenal saat masih diasuh oleh KH. Hasyim Asyari, membuat mertua KH. Syansuri Badawi menyuruh untuk belajar agama di Pesantren Tebuireng, karena memang KH. Syansuri Badawi terkenal cerdas. Mertuanya menyanggupi semua biaya yang harus ditanggung saat mencari ilmu di Tebuireng.

Padahal saat itu, usia pernikahannya belum lama, namun mertua bapak menyuruh bapak untuk belajar agama di Tebuireng. KH. Syansuri Badawi harus jalan kaki untuk sampai di Tebuireng,” Ibu Zahroh mulai bercerita kembali.

Setelah beberapa bulan lebih tepatnya bulan ke tiga nyantri, kiriman uang yang diterima bapak tidak datang atau sama sekali tidak dikirimi uang oleh mertuanya. Padahal dari awal sudah menyanggupi menanggung semua. Bapak yang merasa kecewa oleh mertuanya, membuat ia harus memikirkan bagaimana cara ia bisa makan sembari mencari ilmu. Akhirnya bapak menjadi juru masak nasi seluruh santri. Dengan itu masih bisa makan gratis. Belum cukup di situ, bapak memiliki kebutuhan yang lain salah satunya membeli kitab dan membayar uang bulanan pondok. Bapak pun membuka jasa laundry untuk santri,” Ibu Zahro mengusap air mata dengan tisu yang terletak diatas meja.

Setelah sekian lama, bapak akhirnya memilih bekerja menjaga toko di depan pabrik Cukir, samping pondok. Pemilik toko mengetahui keuletan yang dimiliki oleh pegawainya. serta kepandaian yang ditonjolkannya. Bahwa bapak adalah calon kiai besar di Tebuireng. Tidak lama kemudian pemilik toko menjodohkan dengan putri semata wayangnya. Yang kini menajadi ibuku,” ungkap Ibu Zahro.

Dari saat berangkat Cirebon, bapak engga pernah pulang. Sama sekali. Pas saya kecil tiba-tiba kata ibu, bapak ngimpi di suatu malam di suruh pulang ke Cirebon katanya. Saya engga tau apa-apa hanya ikut orang tua aja. Masih ingat diingatan saya, bapak puluhan tahun engga pernah pulang,” cerita itu terhenti kembali karena air mata ibu Zahroh menetes dengan sangat deras.

Bapak pulang ke Cirebon beserta seluruh keluarga kecilnya. Sampai di rumah, bapak yang sudah usia tua, banyak orang yang hampir tidak mengenalinya. Bapak langsung mengetuk pintu, ketemu dengan para keluarganya. Bapak diam menahan tangis saat melihat salah satu anggota keluarganya. Memendam rindu tidak bertemu sekian lama. Banyak yang kaget atas kemunculan bapak dan orang-orang berdatangan memeluk bapak. Kemudian bapak meninggal dunia,” air mata ibu Zahro membasahi pipinya.

Cerita itu selesai, ibu Zahroh dipanggil oleh suaminya. Dan saya harus bergegas pergi menuju kursi wisuda SMA.

*Mahasiswa uin Suka, Alumni SMA a Wahid Hasyim 2017.