Oleh: Ahmad Faozan*
Saban menjelang bulan Ramadhan tiba ada semacam tradisi rutinan, ngaji kilatan, yang dilakukan oleh setiap pesantren di penjuru tanah air, tak terkecuali Pesantren Tebuireng. Tebuireng sebagai pesantren besar yang telah banyak melahirkan ulama dan tokoh hebat di republik ini memiliki tradisi rutinan dalam momentum tahunan tersebut, yakni pengajian kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim.
Kedua kitab tersebut dibaca secara giliran saban tahunnya. Tradisi yang telah dimulai sejak Hadratusyaikh hidup itu, kini dilanjutkan oleh santri senior Tebuireng, KH. Habib Ahmad. Beliau juga aktif mengajar di Madrasah Mualimin Hasyim Asy’ari di luar Ramadhan dengan menggelar pengajian di serambi masjid. Kiai yang memiliki rumah di daerah Perak Jombang ini menjadi salah satu pewaris penerus ahli hadis Sang Kiai.
Pesantren Tebuireng dikenal sebagai pesantren terkemuka dengan pesona tokoh utamanya, Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari, KH. Abdul Wahid Hasyim, KH. Yusuf Hasyim, KH. Maksum Ali, KH. Adlan Ali, KH. Idris Kamali, Gus Ishom, Gus Dur, dan lain sebagainya. Pendirinya merupakan seorang ahli hadis. Jika pengajian kitab hadis dibuka maka segeralah berbondong-bondong para santri untuk mengikutinya. Bahkan, para kiai juga banyak yang ikut mengaji kepada beliau. Serasa sangat istimewa bisa mengikuti pengajian beliau.
Sanad keilmuan yang jelas, kepakaran, dan kefasihan beliau tak dapat diragukan lagi. Bahkan, guru besar ulama tanah jawa Syaikhona Kholil Bangkalan pada satu ketika tak mau ketinggalan pengajian kitab hadis Kiai Hasyim. Suatu hal yang tak lumrah dimana, seorang guru balik mengaji kepada muridnya. Hal itu dimaknai sebagai pengukuhan kepada murid beliau yang dahulu pernah membuat beliau bahagia, karena menemukan cincin kawin sang istri yang tercebur kedalam WC. Kegigihannya dalam mengejar ilmu serta amat menghormati guru menjadikan beliau seorang yang hebat.
Pada suatu waktu, al Mukarom Syaikhona Kholil Bangkalan datang ke Pesantren Tebuireng, menemui santri beliau yang telah menjadi kiai besar. Keduanya kemudian terlibat berdialog. “Dahulu saya memang mengajar Anda. Tapi hari ini, saya menyatakan bahwa saya adalah murid Anda,” tutur Syaikhona Kholil. Kiai Hasyim pun menjawab dengan rendah hati, “Sungguh saya tidak menduga kalau Guru akan mengucapkan kata-kata yang sedemikian. Apakah, Guru tidak salah tinggal jika berguru kepada saya? Bukankah, saya ini murid Anda sendiri, Guru adalah guru saya dulu, dan juga sekarang. Selamanya saya seorang murid Guru”.
Syaikhona Kholil tetap bersikeras dengan niatnya untuk ikut belajar ke majlis Kiai Hasyim. “Keputusan dan kepastian hati kami sudah tetap, tak ada yang dapat ditawar dan diubah lagi, bahwa kami akan turut belajar di sini, menampung ilmu-ilmu Guru, dan berguru kepada panjenengan,” begitu kata kiai yang dikenal memiliki banyak karomah itu. Karakter gurunya yang amat kuat tak seorang pun mampu mencegahnya. Maka, Kiai Hasyim mengajukan syarat, diantaranya, segala kebutuhan ditanggung Kiai Hasyim seperti makan dan mencudi pakaian. Selepas shalat keduanya terkadang cepat-cepat berebut menata sandal. Perkara yang memang terlihat sepele, namum penting karena mengandung muatan pendidikan akhlak.
Kehadiran Kiai Kholil, guru besar tanah Jawa, membuat sejumlah santri ingin belajar kepada Kiai Hasyim. Kiblat Pesantren pun bergeser ke Tebuireng. Dibawah asuhan Kiai Hasyim Asy’ari banyak ulama besar terlahir, misal Kiai Wahab Hasbullah, Kiai Bisri Syansuri, Kiai As’ad Syamsul Arifin, Kiai Chudori, Kiai Ahmad Siddiq, dan lain-lain.
Menurut Zamakhsyari Dhofier, penulis buku “Tradisi Pesantren”, Pesantren Tebuireng adalah sumber ulama dan pemimpin lembaga-lembaga pesantren di seluruh Jawa dan Madura. Hadratussyaikh mampu menyatukan para ulama dan santri, serta dengan tepat dan cepat membesarkan NU setelah didirikan. Mengingat, pengurusnya banyak yang merupakan santri Tebuireng.
Kini pengajian ilmu hadis masih terus dilangsungkan di Pesantren Tebuireng. Selain melanjutkan tradisi ilmiah yang dilakukan oleh Hadratussyaikh semasa hidupnya juga untuk membuka ingatan masyarakat pesantren, jika belajar ilmu hadis ya datang ke Pesantren Tebuireng. Semoga tradisi yang baik ini terus langgeng dan para santri yang mau menekuni ilmu hadis kembali semarak. Dasarnya, wafatnya Prof. Dr. KH. Ali Musthofa Ya’kub, pakar hadis asli Indonesia yang notabene alumnus Pesantren Tebuireng ini, cukup membuat masyarakat pesantren kehilangan. Semoga Pesantren Tebuireng masih terus eksis melahirkan kader ulama dan kiai ahli hadis baru. Amin. Wallahu a’lam
*Direktur Penerbit Tebuireng