Dalam imajinasi masyarakat kita, perkawinan kerap kali dianggap sebagai capaian dari perjalanan kehidupan. Namun, tak sependek itu, hal yang dianggap capaian dalam kehidupan ini perlu dipertimbangkan kembali dengan segala bentuk kesiapan dan kosekuensinya. Jika hal itu tidak dicermati dan ditimbang secara serius maka yang akan terjadi ialah kesengsaraan, kemelaratan dan berbagai konsekuensi negatif lainnya.
Pendeknya, di Indonesia terdapat dua landasan perkawinan yakni Negara dan Agama atau Adat. Kedua hal ini memiliki konstruksi tersendiri dalam menyoal perkawinan. Batas usia minimal perkawinan menjadi pro kontra serius di antara keduanya. Namun, Agama atau Adat kerap kali dijadikan dalih untuk melakukan perkawinan dini. Padahal, Agama Atau adat memiliki spirit menjunjung tinggi prinsip keadilan.
Dalam hal batasan usia minimal perkawinan, antara negera dan agama atau adat memiliki pondasi yang berbeda. Keduanya, secara garis besar dan fakta masa lalu, membolehkan perempuan menikah ketika sudah menginjak masa pubertas. Sehingga kala itu, perkawinan anak dianggap biasa saja, khususnya di wilayah pedesaan.
Namun, negara memberlakukan regulasi, melalui UU No. 16 Tentang Perubahan Atas UU No. 1 Tahun 1974 menerapkan batas minimal perkawinan yakni 19 tahun untuk laki-laki dan perempuan. Dalam hemat penulis, hal ini juga perlu dilakukan transformasi sosial yang begitu komprehensif dan mendalam untuk secara kaffah meminimalisir bahkan menghapuskan perkawinan anak. Mengingat definisi anak dalam UU No. 35 Tahun 2024 yakni seseorang yang belum berusia 18 tahun.
Belakangan ramai soal perkawinan anak, kasus-kasus berseliweran pada tiap tahunnya. Padahal, penguatan mengenai kesehatan reproduksi dan seksualitas, dan konsep keluarga bahagia telah ramai dipelajari dan didiskusikan di beragam tempat.
Dalam amatan penulis, masyarakat sering melontarkan ujaran-ujaran yang berkonotasi tidak mengangkat serius hal perkawinan. Alasan-alasan tidak logis bahkan guyonan-guyonan seksis tak jarang keluar dari lisan masyarakat seakan-akan perkawinan hanya persoalan selangkangan.
Baca Juga: Syarat Wanita yang Akan Dinikahi menurut Fikih
Dimensi kesejahteraan keluarga, masa depan si buah hati, kesiapan mental dan finansial, serta modal sosial seakan tidak pernah masuk daftar dalam benak mereka. Alasan-alasan agamis yang tidak diimbangi dengan kesiapan menikah digunakan dalih untuk mengucap ijab qobul. Mencari pahala, menghindari zina, ibadah, bahkan praktek pelajaran biologi menjadi dorongan yang tak masuk akal untuk memaksakan diri untuk menikah.
Bagaimana bisa dikatakan masuk akal jika ‘mencari pahala’ dijadikan alasan untuk perkawinan. Padahal dimensi ‘mencari pahala’ sangatlah luas, berjualan es teh jumbo untuk memenuhi kebutuhan ekonomi diri sendiri pun tak membuat Tuhan enggan memberinya pahala. Begitu pula alasan ‘menghindari zina’, anehnya hal ini sering disandingkan dengan perilaku Rasul yang jelas berbeda status serta konteks zaman dan tempat.
Dalam hal ini, perkawinan anak dianggap sebagai tindakan preventif untuk mencegah dosa besar, layaknya hubungan di luar nikah. Padahal, secara kesehatan, dengan umur yang masih tergolong muda memiliki resiko yang tinggi terhadap minimnta kesiapan proses reproduksi serta komplikasi selama persalinan. Belum lagi emosi yang begitu labil yang cenderung membawa arah pada tindak kekerasan dalam rumah tangga.
Sangat aneh memang dengan usia yang begitu belia sudah memiliki keinginan kuat untuk berhubungan badan. Memangnya tidak ada aktivitas lain yang lebih positif dan mendukung potensi dirinya?
Jokes seksis seperti ingin mempraktikan pelajaran biologi yang sangat mendiskreditkan perempuan sering berseliweran di hadapan kita. Makna perkawinan dipelintir seakan-akan hanya seputar hubungan seksual. Terlebih jokes-jokes lainnya seperti ‘sebelum diambil orang’, ‘sudah laku, jangan ditunda’, ‘mumpung masih segar’, ‘diburu sebelum matang’ dan lain sebagainya yang sangat-sangat menjadikan perempuan hanya sekadar obyek seksual semata.
Alasan-alasan tak logis ini tidak hanya menjamur dalam dunia dewasa yang berpikiran dangkal namun juga pemuda-pemudi yang gagap memahami syariat agama (Islam) secara kaffah.
Meskipun, menurut laporan BPS, tren perkawinan anak cenderung turun pada 10 tahun terakhir, hal ini tak dapat membuat perkawinan anak dibenarkan secara moral dan regulasi. Karenanya hal itu tidak hanya persoalan selangkangan melainkan otoritas perempuan atas dirinya sendiri.
Penulis: Satrio Dwi Haryono