ilustrasi syarat wanita yang akan dinikahi

Hukum nikah perlu dipahami oleh setiap umat Islam, pasalnya bagi seorang muslim pernikahan adalah ibadah yang paling lama selama ia hidup di dunia. Hal inilah yang membuat Rasulullah SAW sangat menganjurkan seorang muslim untuk menikah.

Nikah mempunyai beberapa rukun dan syarat yang harus dipenuhi. Rukun dan syarat menentukan hukum suatu perbuatan, terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan dari segi hukum yang dilakukan.

Bu Fitri adalah janda dua anak yang baru saja ditinggal mati oleh suaminya, demi untuk memenuhi kebutuhan anaknya, akhirnya Bu Fitri rela banting tulang untuk menghasilkan uang yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan anaknya di setiap hari.

Dua bulan setelahnya, akhirnya Bu Fitri sudah tidak mampu lagi untuk memenuhi kebutuhan anaknya sebab di-PHK oleh perusahaan ia bekerja. Di waktu itu pula, ada seoarang pria yang sanggup untuk memenuhi kebutuhan anaknya, akan tetapi dengan syarat Bu fitri harus menikah dengan pria tersebut, tanpa berpikir panjang akhirnya Bu Fitri menerima tawaran pria tersebut hingga keduanya menjadi suami istri.

Lantas bagaimana pandangan syariat menyikapi pernikahan yang dilakukan oleh Bu Fitri dan suami barunya? Mari kita bedah kasus permasalahan ini dengan paparan hukum yang telah ditetapkan oleh para ulama.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Syarat Istri yang Akan Dinikahi

Rukun nikah itu ada lima yaitu istri, suami, wali, dua saksi, dan sighot[1]. Yang di mana setiap satu darinya mememiliki ketentuan secara terperinci. Dan apabila lima rukun nikah di atas tidak terpenuhi atau syarat-syarat di dalamnya ada yang kurang, maka nikah tersebut dianggap tidak sah, lantas apakah Bu Fitri sudah memenuhi kriteria sebagai calon istri?

Syarat pertama istri yang boleh untuk dinikahi adalah sepi dari ikatan pernikahan, jadi ketika calon isteri tersebut masih ada tali pernikahan dengan lelaki lain, maka hukum pernikahannya adalah batil. Sebagaimana pendapat yang dipaparkan oleh Syekh Wahbah Az-Zuhaili dalam kitab Fiqh Al-Islami.

ومن الأنكحة الباطلة: نكاح المرأة المتزوجة أو المعتدة، أو شبهه، فإذا علم الزوجان التحريم، فهما زانيان، وعليهما الحد، ولا يلحق النسب به.

“Di antara nikah yang batil adalah nikahnya perempuan yang sudah bersuami, atau perempuan yang sedang dalam masa ‘iddah, atau sejenisnya, apabila keduanya sama-sama mengetahui bahwa pernikahan tersebut haram, maka keduanya telah melakukan zina dan dikenakan had, serta anak hasil keduanya tidak dinasabkan pada suaminya”.

Syarat kedua adalah wali menyebutkan identitas wanita yang akan dinikahkan kepada calon suami, semisal “aku akan menikahkan anakku yang bernama fatimah kepadamu”, sehingga ketika wali memiliki banyak anak perempuan kemudian ia mengatakan “aku akan menikahkan salah satu anak perempuanku ke kamu” maka ucapan tersebut belum dianggap cukup[2].

Syarat ketiga adalah tidak ada hubungan mahrom dengan calon suami, baik melalui nasab, persusuhan, atau perjodohan. Sebagaimana firman allah swt dalam surat An-Nisa ayat 23.

حُرِّمَتۡ عَلَيۡكُمۡ أُمَّهَٰتُكُمۡ وَبَنَاتُكُمۡ وَأَخَوَٰتُكُمۡ وَعَمَّٰتُكُمۡ وَخَٰلَٰتُكُمۡ وَبَنَاتُ ٱلۡأَخِ وَبَنَاتُ ٱلۡأُخۡتِ وَأُمَّهَٰتُكُمُ ٱلَّٰتِيٓ أَرۡضَعۡنَكُمۡ وَأَخَوَٰتُكُم مِّنَ ٱلرَّضَٰعَةِ وَأُمَّهَٰتُ نِسَآئِكُمۡ وَرَبَٰٓئِبُكُمُ ٱلَّٰتِي فِي حُجُورِكُم مِّن نِّسَآئِكُمُ ٱلَّٰتِي دَخَلۡتُم بِهِنَّ فَإِن لَّمۡ تَكُونُواْ دَخَلۡتُم بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيۡكُمۡ وَحَلَٰٓئِلُ أَبۡنَآئِكُمُ ٱلَّذِينَ مِنۡ أَصۡلَٰبِكُمۡ وَأَن تَجۡمَعُواْ بَيۡنَ ٱلۡأُخۡتَيۡنِ إِلَّا مَا قَدۡ سَلَفَۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ غَفُورٗا رَّحِيمٗا 

“Diharamkan atas kamu menikahi ibu-ibumu, anak-anak perempuanmu, saudara-saudara perempuanmu, saudara-saudara perempuan ayahmu, saudara-saudara perempuan ibumu, anak-anak perempuan dari saudara laki-lakimu, anak-anak perempuan dari saudara perempuanmu, ibu yang menyusuimu, saudara-saudara perempuanmu sepersusuan, ibu istri-istrimu (mertua), anak-anak perempuan dari istrimu (anak tiri yang dalam pemeliharaanmu) dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum bercampur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), tidak berdosa bagimu menikahinya, dan diharamkan bagimu istri-istri anak kandungmu (menantu), dan diharamkan pula mengumpulkan dalam pernikahan dua perempuan yang bersaudara, kecuali kejadian pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.

Syarat keempat adalah bukan wanita yang sedang menjalani masa iddah. Masa idah perempuan itu ada beberapa kategori, di antaranya adalah sebab ditinggal mati oleh suaminya dan dia tidak dalam keadaan hamil, maka masa idah yang harus dilakukan adalah empat bulan lebih sepuluh hari. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al-Baqoroh ayat 234:

والَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجاً يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْراً

“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri hendaklah para istri itu menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari

Ketika sebab ditinggal mati suaminya dan dia dalam keadaan hamil, maka masa idahnya adalah sampai melahirkan. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al-Thalaq ayat 4:

وَأُولاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ

“Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka adalah sampai mereka melahirkan kandungannya”

Ketika sebab ditalak oleh suaminya dan dia tidak dalam keada,an hamil, maka masa idahnya adalah tiga kali pesucian atau tiga bulan, sebagaimana firman Allah SWT Al-Baqoroh ayat 228:

وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنّ

“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya

Jadi dapat kita ambil kesimpulan bahwa pernikahan yang dilakukan oleh Bu Fitri dengan  suami barunya hukumnya adalah tidak sah, karena Bu Fitri tidak memenuhi syarat keempat yaitu belum selesai masa iddah, atau harus menjalani masa iddah sebagaimana penjelasan di atas.

Baca Juga: Jangan Menikahi Enam Perempuan Berikut


[1] Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Malibari, fathul muin, Maktabah As-Syamilah, hal. 451

[2] Ibid


*Ditulis oleh. Yoppy Wahyu Ramadhan, Mahasantri Ma’had Aly An-Nur II Al Murtadlo Malang.