Sumber gambar: http://www.voa-islam.com/read/citizens-jurnalism/2017/11/25/54502/perjuangan-belum-selesai/

Oleh: M. Rizki Syahrul Ramadhan*

Menyebarnya faham kebangsaan atau nasionalisme yang menjadi salah satu faktor runtuhnya Turki Usmani paska perang dunia pertama menandai berakhirnya kekhalifahan Islam secara umum. Semangat daulah al-islami telah tergantikan oleh nasionalisme negara-bangsa (nation-state). Bahkan Turki yang menjadi pusat kekhalifahan terakhir juga merubah haluan negaranya menjadi negara yang berbasis bangsa.

Di Indonesia, imperialisme yang telah mendunia masih nyaman hinggap di atasnya. Di bawah jajahan Belanda, bangsa Indonesia telah beragama Islam, bahkan menempati nilai 90% ketika menjelang merdeka (Deliar Noer: 1987). Seiring berjalannya waktu, kesadaran untuk membebaskan diri dari penjajahan melalu gerakan bersama (nasionalisme) mulai terbangun. Dengan mayoritas penduduk beragama Islam dan kesadaran nasionalisme, bangsa Indonesia dilanda dua pilihan ke depannya.

Pilihan pertama adalah membentuk, atau setidaknya mendasarkan, negara yang dicitakan dengan dasar syari’at Islam. Pilihan kedua adalah menerapkan konsekuensi nasionalisme yang meleburkan perbedaan penduduk, termasuk agama. Permasalahan tersebut mewujud pada pilihan ideologi yang akan dipakai oleh bakal negara Indonesia, yaitu antara Islam dan sekularisme.

Beberapa cendekiawan muslim telah mendokumentasikan perdebatan antara kelompok yang condong pada pilihan pertama, atau Islamis, dengan kelompok yang condong pada pilihan kedua, atau nasionalis. Dengan menggunakan cara baca Deliar Noer (1926-2008), tulisan ini akan mengulas dan merefleksikan puncak perdebatan yang terjadi pada tahun 1945, tahun yang memuat penobatan hari kemerdekaan Negara Republik Indonesia.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Noda Hitam Kemerdekaan

Persiapan kemerdekaan Indonesia pada masa jajahan Jepang diawali dengan mengadakan Sidang Badan Penyelidik atau BPUPKI. Badan Penyelidik mengadakan dua kali sidang. Pada sidang pertama, 29 Mei s.d. 02 Juni 1945, yang membicarakan hal-hal umum kemeredekaan, Soekarno membuat pidato yang sangat piawai dan berpengaruh tentang dasar negara. Pidato ini kemudian dikenal dengan Lahirnya Pancasila. Sidang kedua, 10 s.d. 14 Juni 1945, membicarakan isi konstitusi negara yang hendak dibentuk.

Sidang kedua BPUPKI ini memulai suatu babak baru dalam pertikaian secara parlementer antara kalangan Islam yang ingin menegakkan ideologi Islam dan kalangan nasionalis yang netral agama. Untuk mengatasi hal itu, dibentuklah Panitia Kecil yang terdiri dari 9 orang, termasuk Kiai Wahid Hasyim sebagai perwakilan Islam. Melalui Panitia Kecil, disepakatilah Piagam Jakarta sebagai bakal dasar negara. Sampai pada tahap ini, bisa dikatakan kalangan Islam menang.

Tetapi kemenangan itu buyar ketika pada bulan Agustus 1945 semua tuntutan mereka dibatalkan. Badan Penyelidik yang telah menyepakati Piagam Jakarta tiba-tiba dibubarkan dan diganti dengan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Di dalamnya, hanya dua orang perwakilan Islam yang diangkat, Ki Bagus Hadikusumo dan Kiai Wahid Hasyim, lalu ditambah satu orang lagi setelah Proklamasi Kemerdekaan. Perwakilan Islam ini yang akan memperjuangkan rumusan dasar negara sebagaimana dalam Piagam Jakarta di sidang Panitia Persiapan.

Perwakilan Islam belum menyerah untuk memperjuangkan kata “kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya”. Namun, sebelum sidang Panitia Persiapan dimulai, Hatta mengundang perwakilan Islam untuk meninjau kembali rumusan mereka. Dari Hatta, dikatakan bahwa berdasarkan informasi seorang perwira angkatan laut Jepang, rakyat Kristen di Indonesia Timur akan menolak masuk dalam Republik Indonesia jika rumusan tersebut ditetapkan. Hatta sekaligus menyarankan kepada perwakilan Islam untuk menarik rumusan itu.

Akhirnya, pada tanggal 18 Agustus 1945, kata-kata tentang kewajiban menjalankan syari’at dihapus dari mukadimah konstitusi yang terkenal dengan Undang-Undang Dasar 1945. Sebagai gantinya, kata-kata tersebut diganti dengan Ketuhanan Yang Maha Esa yang masih merepresentasikan keinginan kalangan Islam. Sejarah tentang pembubaran tiba-tiba BPUPKI dan interupsi personal Hatta sebelum sidang PPKI di atas kemudian dikenal dengan nuqthah (titik/noda) hitam sejarah Indonesia (Suryanegara: 2009).

Perjuangan yang Belum Selesai

Hasil musyawarah dalam persiapan kemerdekaan Indonesia bagaimanapun telah mengawali syarat berdirinya sebuah negara yang menaungi masyarakat Indonesia saat ini, termasuk masyarakat Islam di dalamnya. Terlepas dari “kekalahan” perwakilan Islam di akhir sidang persiapan, umat Islam pada akhirnya dapat merasakan hidup damai di dalamnya setelah sekian lama berada di bawah jajahan bangsa lain. Hidup damai, hal itulah yang dituju pada awal pendirian Negara Indonesia.

Ketika perwakilan Islam menarik rumusan “menjalankan syari’at Islam” sebagai bakal dasar negara yang diperjuangkan, salah satu alasannya adalah demi menghindari terjadinya kericuhan besar. Masyarakat Indonesia yang sudah menanti-nanti kemerdekaan pada saat itu dilanda kekhawatiran bahwa kemerdekaan yang sebenarnya tidak akan pernah tercapai karena perdebatan yang terjadi antara kelompok nasionalis dan Islamis. Kekhawatiran tersebut berkemungkinan besar melahirkan chaos yang menutup cita hidup damai masyarakat.

Sampai di sini, dapat dipahami mengapa Kiai Wahid Hasyim dan perwakilan Islam lain menyepakati dasar negara yang diusung oposisinya. Namun bukan berarti perjuangan politik Islam selesai sampai di situ. Dalam perjalanan sejarah setelahnya, umat Islam melalui partai politik terus memperjuangkan penguasaan politik. Hal itu muncul demi pengawalan penerapan syari’at Islam di Indonesia.

Konsekuensi dari ditariknya rumusan Piagam Jakarta dan penetapan Pancasila-UUD ‘45 di Indonesia adalah perlunya perjuangan politik berkelanjutan dari umat Islam Indonesia. Perjuangan memberlakukan syari’at Islam tanpa mengusik kedamaian masyarakat harus terus dilakukan sebagaimana upaya Kiai Wahid Hasyim terdahulu. Tentunya perjuangan ini tidak melulu berwujud pendirian khilafah islami. Melainkan perjuangan yang benar-benar mempertimbangkan kondisi damai bagi masyarkat.

Maka terdapat dua sisi pertimbangan dalam perjuangan tersebut. Sisi pertama adalah pemberlakuan syari’at Islam dan sisi kedua adalah pemertahanan kondisi damai masyarakat. Hal yang terakhir ini sepertinya gagal dipahami oleh teman-teman HTI. Wujud praktis dari dua pertimbangan tersebut adalah perlunya memasukkan perwakilan Islam yang baik dan kompeten dalam jajaran penguasa Indonesia. Untuk itu, tahapan mulai pengaderan, pemetaan kondisi, hingga kompetisi kampanye sehat harus dilakukan. Di sini lah perjuangan yang harus terus dilanjutkan.


*Penulis adalah mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang.