ilustrasi dunia maya

Pesta demokrasi atau yang sering disebut Pemilu (Pemilihan Umum) kini tidak menyenangkan lagi. Banyak polusi digital memprovokasi rakyat untuk menabur kebencian dan memutus tali persaudaraan dengan mereka yang beda pilihan. Data Badan Pengawasan Pemilihan Umum (Bawaslu) RI menyebut jika Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) untuk tahun 2024 melonjak, terutama Yogyakarta yang menduduki peringkat kedua dengan tingkat kerawanan tertinggi sebesar 63,67%.

Tingginya angka rawan konflik pada Pemilu kali ini dipicu oleh banyaknya artikel ataupun pemberitaan bohong dari oknum yang tergabung dalam kelompok buzzer. Satu kelompok mengaburkan berita, dengan menonjolkan satu pasangan dan menjatuhkan pasangan yang lain. Pada akhirnya, rakyat terpecah belah menjadi beberapa kubu, membentuk perdebatan yang tidak akan pernah usai di kolom komentar.

Selain itu, ruang media sosial yang seharusnya menjadi ruang kreativitas juga dipenuhi oleh polusi digital yang memprovokasi rakyat secara terang-terangan. Beredar banyak video yang memojokkan calon-calon yang akan berlaga di Pemilu 2024. Video tersebut rata-rata berdurasi pendek, dan mempunyai potensi tinggi untuk memicu kemarahan rakyat. Bahkan isi dari video tersebut melenceng jauh dari bahasan Pemilu, dan lebih mengarah pada bahasan internal dari masing-masing calon.

Pada dasarnya, si pembuat konten hanya mengejar ke-viral-an semata, dan mengabaikan sisi akibat dari share video yang dilakukan. Sisi narsisme dibungkus dengan kegelapan soal pendapatan media sosial, memancing mereka untuk melakukan permainan-permainan kotor tersebut. Sehingga pada sejarahnya, Pemilu Indonesia selalu diwarnai dengan praktik-praktik kotor perpecahan diantara masyarakat, kebencian berlebih pada salah satu calon, dan pengaburan data untuk memilih calon ideal.

Contoh paling nyata adalah pada Pilkada Jakarta yang tergambarkan penuh dengan politik identitas, yang menyeret nilai-nilai keagamaan dalam benang politik. Banyak pihak yang memanipulasi data, berita, dan video-video untuk membakar kebencian pada salah satu calon.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Pada akhirnya, banyak media besar yang turut juga terseret dalam kontestasi Pemilu semacam itu. Dan setelah Pemilu, banyak terjadi penolakan-penolakan yang mengakibatkan gelombang demonstrasi dari kedua belah kubu. Peristiwa tersebut menjadi peristiwa yang akan diingat oleh bangsa Indonesia.

Bersih-Bersih Polusi Digital

Bersih-bersih digital bisa dilakukan, salah satunya dengan literasi digital di semua lapisan. Literasi digital membantu setiap individu untuk lebih cermat dalam menilai dan memverifikasi informasi yang mereka temui di media sosial dan internet. Hal ini dapat mencegah penyebaran berita palsu atau informasi yang provokatif yang dapat memicu perpecahan.

Hanya persoalannya, literasi digital yang selama ini dilakukan, hanya disasarkan kepada masyarakat umum, dan mengabaikan lapisan lain yang memiliki potensi lebih besar untuk memicu konflik. Masyarakat selalu menjadi target utama dari literasi digital karena merupakan sasaran dari dari konten sang content creator. Masyarakat seringkali dihimbau untuk selektif terhadap pemberitaan atau konten yang dibawakan oleh sang creator.

Padahal sasaran paling utama dari literasi digital sebenarnya adalah sang creator itu sendiri. Bagaimana seorang pembuat konten bisa selektif untuk memilah data dan menyajikan konten yang paling baik kepada masyarakat. Berita hoaks atau konten provokatif, tidak selalu dihasilkan dari unsur kesengajaan. Bisa juga hal tersebut diproduksi dari ketidaktahuan dari si pembuat konten itu sendiri. Dan pada akhirnya, mereka tanpa sadar ikut menyebarkan atau membuat lebih menarik konten tersebut.

Maka bersih-bersih digital harus disasarkan kepada semua pihak. Tidak hanya disasarkan kepada masyarakat umum yang menjadi penikmat konten, namun juga harus disasarkan kepada pembuat konten. Seorang pembuat konten harus menguasai lapangan. Harus menguasai materi dan dampak akibat konten yang mereka sebarkan. Sehingga dengan cara itulah, literasi digital yang dijalankan akan berjalan berdampingan dan menimbulkan efek yang lebih nyata.

Membangunkan Potensi Generasi Penerus

Gerakan literasi digital menjadi gerakan ampuh untuk membersihkan polusi digital di ruang maya. Dan aktor yang punya potensi besar untuk melakukan gerakan literasi digital adalah para pemuda. Dengan nilai adaptif yang mereka pegang, bisa menjadikan mereka sebagai agen pejuang untuk menyehatkan Pemilu dari polusi digital. Mereka bisa menjadi agen yang loyal sekaligus masif dalam melakukan perubahan.

Pun demikian, anak muda menjadi golongan yang paling banyak berinteraksi di media sosial, baik sebagai penikmat konten ataupun pembuat konten. Sehingga merekalah yang lebih mengerti tentang skema dan strategi terbaik untuk mencegah hal-hal provokatif yang muncul di media. Penguasaan materi terhadap media adalah nilai ampuh untuk menjalankan strategi literasi digital.

Setiap dari mereka adalah cerminan dari keberhasilan operasi media yang dijalankan. Sampah-sampah digital tentang provokasi dan berita hoaks bisa dibersihkan dengan penguasaan media dan semangat literasi digital yang disuarakan dengan serentak. Oleh karena itu, para pemuda harus mengikat janji untuk bersama-sama melakukan perubahan yang lebih baik.

Seperti halnya Sumpah Pemuda yang dikumandangkan pada 28 Oktober 1928 yang menghasilkan dampak besar, anak muda di masa sekarang jugaa bisa sekali lagi membuat ikrar setia untuk bersama-sama mengedukasi ataupun membuat konten yang lebih bijak dan tidak memancing kemarahan rakyat. Sehingga Pemilu 2024 menjadi Pemilu yang sehat dan bebas dari polusi digital di ruang maya.

Baca Juga: Perbedaan Pandangan Politik Masyayikh di 2024


Ditulis oleh Muhammad Nur Faizi, Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta