ilustrasi perbedaan pandangan politik masyayikh
ilustrasi perbedaan pandangan politik masyayikh

Politik boleh panas, namun suasana hati haruslah tetap dingin. Begitulah ungkapan yang tepat untuk mengungkapkan kondisi saat ini. Seperti yang kita tahu, apapun yang dilandasi oleh amarah hanya akan memberikan penyesalan di kemudian hari, Begitupula menyikapi perbedaan pandangan politik menjelang Pemilu 2024 mendatang. Hingga saat ini, secara individu, beberapa kiai dan ulama di lungkungan nahdliyin telah memiliki pandangan masing-masing terkait arah dukungan terhadap pasangan Capres-Cawapres tertentu.

Nahdlatul Ulama sebagai Rumah Besar Nahdliyin

Sudah kita ketahui bahwa secara keorganisasian NU tidaklah berpolitik praktis. Namun, secara individu para kadernya dibenarkan untuk aktif terjun ke dunia politik praktis. Tentu saja tanpa membawa embel-embel organisasi. Apalagi memanfaatakan fasilitas dan kekayaan organisasi untuk kepentingan individu.

Sesuai Muktamar Nahdlatul Ulama ke-18 di Krapyak, Yogyakarta pada bulan November 1989 telah ditentukan Sembilan pedoman berpolitik bagi nahdliyin. Bahwa politik bagi Nahdlatul Ulama adalah pengembangan nilai-nilai kemerdekaan yang hakiki dan demokratis, mendidik kedewasaan bangsa untuk menyadari hak, kewajiban, dan tanggungjawab untuk mencapai kemaslahatan bersama.

Kedewasaan dalam berdemokrasi tidak serta merta muncul tanpa adanya upaya yang mengusahakan atmosfer demokrasi tercipta yang demikian. Elit politik, simpatisan, dan konstituen harus menyadari bersama, bahwa dalam proses penyelenggaraan negara memerlukan kerjasama yang positif. Pengalaman pahit penggunaan identitas dan simbol agama, golongan, suku harus menjadi pembelajaran yang harus teru diingat.

Integrasi sebuah bangsa apalagi sebesar dan semajemuk bangsa Indonesia dalam prosesnya banyak dihadapkan pada berbagai tantangan, kepentingan politik, campur tangan negara asing yang berusaha mengoyak persatuan, serta ketidakdewasaan dalam berdemokrasi. NU sebagai ormas yang sangat besar memikul tanggung jawab untuk menangani itu semua.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Apabila dimulai dari internal kalangan nahdliyin hal yang utama dan pertama ialah menyadarkan bahwa proses politik lima tahunan merupakan siklus yang wajar dan tidak perlu menggunakan cara-cara yang amoral dalam pencapaiannya. Sesuai amanat Ketua Umum PBNU, KH Yahya Cholil Staquf, bahwa kader NU tersebar dalam semua unsur partai politik. Sehingga secara langsung dan tidak langsung, para kader yang terlibat dalam proses tersebut harus menjaga netralitas dan independensi organisasi dalam dinamika politik.

Dengan semua hal tersebut, NU akan memiliki wibawa yang cukup diperhitungkan dengan tidak terseretnya sebagai organisasi masyarakat keagamaan dengan konstituen yang besar. Terlebih, sebagai amanah para pendahulu, hal demikian harus terus dirawat dan dijaga untuk menjaga kebesaran nama Nahdlatul Ulama.

Perbedaan Pandangan Politik di Kalangan Masyayikh

Pedoman yang perlu dipegang oleh masyarakat NU bahwa, “Perbedaan pandangan di antara aspirasi-aspirasi politik warga Nahdlatul Ulama harus tetap berjalan dalam suasana persaudaraan, tawadhu, dan saling menghargai satu sama lain, sehingga dalam berpolitik itu tetap dijaga persatuan dan kesatuan di lingkungan Nahdlatul Ulama”. Pedoman inilah yang perlu dipahami sebagai langkah strategi organisasi dalam mengajari para kadernya untuk mencapai kedewasaan berdemokrasi.

Dalam kontestasi politik 2024, beberapa kiai dan ulama secara individu telah mendeklarasikan dukungannya terhadap capres-cawapres tertentu. Sebagai muhibbin dan pengikut ulama, warga NU juga harus memahami positioning atau posisi menghadapi hal yang demikian. Tidak bijak apabila dengan perbedaan pandangan politik menimbulkan gap yang cenderung menganggap negative pandangan politik yang lain.

Setiap pilihan yang timbul tentunya berdasarkan pertimbangan kemaslahatan umat oleh para masyayikh. Maka, cara pandang yang demikian yang harus diterapkan dan dicontoh oleh para warga dan kader NU. Berpolitik bagi para masyayikh ialah sebesar-besarnya untuk kemaslahatan umat yang menjadi tujuan utama. Dengan demikian telah selesai dasar pemikiran untuk menciptakan kondusifitas arus bawah konstituen.

Yang kedua, haram hukumnya bagi para kader dan warga NU melontarkan komentar dan ucapan-ucapan yang berpotensi merusak stabilitas dan kondusifitas demokrasi yang sedang berjalan. Perbedaan pilihan adalah keniscayaan, maka menjelek-jelekan pilihan orang lain atdalah satu dari sekian pertanda ketidaksiapan menghadapi demokrasi. Terlebih membawa-bawa nama masyayikh di lingkungan nahdliyin untuk membenarkan tindakan tersebut.

Ketiga, jauhkan penggunaan ‘politik identitas’ sebagai bahan kampanye dan segala hal yang berkaitan dengan proses politik. Indonesia sangatlah majemuk dalam segala hal. Api yang muncul sekecil apapun akan sangat mudah membara apabila disulutkan.sesorang yang berniat memecah belah persatuan dan kesatuan adalah musuh bersama yang perlu dilawan. Identitas bukan hanya soal agama, suku ataupun golongan. Namun, NU sebagai organisasi juga tidak dibenarkan diseret-seret ke dalam politik praktis sebagai “merk” yang digunakan untuk kampanye.

Kedewasaan politik membutuhkan kesabaran dan kerjasama semua pihak. Pola-pola yang selama ini telah dipertahankan oleh para ulama untuk menjaga kestabilan umat harus terus diertahankan. Dilain hal, upaya-upaya untuk memecah belah umat harus terus dilawan. Beban pendidikan politik bagi semua khususnya warga NU adalah beban yang memiliki urgensi kaitannya dengan upaya menerapkan salah satu kaidak politik bagi Nahdlatul ulama, yakni politik yang berwawasan kebangsaan dan menuju integrasi bangsa dengan langkah-langkah yang senantiasa menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan untuk mencapai cita-cita bersama, yaitu terwujudnya masyarakat adil dan makmur lahir dan batin dan dilakukan sebagai amal ibadah menuju kebahagiaan di dunia dan kehidupan di akhirat.

Baca Juga: Gus Sholah: NU Tidak Boleh Masuk Politik Praktis


Ditulis oleh Nur Muhammad Ikhsanun, Santri Pondok Pesantren Al Barokah, Karangwaru, Yogyakarta.