Oleh: Muhammad Arief Albani*

Indonesia yang dahulu dikenal dengan nama Nusantara, merupakan bentangan pulau-pulau yang tersebar dan terdapat jarak (antara) dari satu pulai dan lainnya. Nusantara terdiri dari dua kata, yakni Nusa yang berarti Pulau dan Antara yang berarti jarak atau selisih. Keduanya diambil dari bahasa Sansekerta Jawa Kuno. Setidaknya nama Nusantara ini sudah ada dan digunakan sejak tahun 1293 merujuk pada berdirinya Kerajaan Majapahit yang kerap menggunakan istilah Nusantara untuk menyebutkan bentangan wilayah kekuasaannya.

Selain nama Nusantara yang digunakan Kerajaan Majapahit mulai abad ke-12 hingga abad ke-16 tersebut, kawasan kepulauan Indonesia juga pernah disebut dengan nama Hindia. Nama Hindia pertama kali digunakan oleh Vasco da Gama sekitar tahun 1498 saat dia singgah ke Nusantara dari rangkaian perjalannya menyusuri India. Nama tersebut bertahan selama kuranglebih 90 tahun, hingga kemudian pada tahun 1596 Cornelis de Hoyman mendarat di tanah air Indonesia bersama misi dagang negaranya (Netherland) dan menamakan tanah air Indonesia menjadi Hindia Belanda atau dalam bahasa Belanda disebut Nederlands Oost-Indie (Hindia Timur Belanda). Nama Hindia Belanda inilah yang paling dikenal bangsa Eropa hingga kurang lebih 350 tahun.

Nama Indonesia sendiri, baru mulai dipopulerkan kembali pada tahun 1924 oleh perkumpulan pemuda pelajar Indonesia di luar negeri yang mengganti nama perkumpulan mereka menjadi Perhimpunan Indonesia yang semula bernama Perhimpunan Hindia (Indische Vereeniging). Kemudian mulai resmi dideklarasikan pada Kongres Pemuda tanggal 28 Oktober 1928, yang kemudian diperingati sebagai Hari Sumpah Pemuda. Dicetuskan kembali oleh Ki Hajar Dewantoro, yang mengambil istilah dari sebutan seorang pengamat sosial berkebangsaan Inggris bernama George Samuel Windsor Earl.

Nama Indonesia pertama kali diperkenalkan olehnya pada tahun 1850 dengan ejaan Indu-Nesians (Elson 2008) yang berarti orang-orang Hindia atau di sekitar Samudera Hindia. Meski akhirnya tidak digunakan lagi oleh Earl karena dianggap terlalu umum, namun seorang koleganya bernama James Richardson Logan yang kemudian terus menerus menggunakan nama Indonesia untuk menyebutkan wilayah Nusantara. Setidaknya, peran Earl dan Logan tersebutlah yang kemudian menginspirasi Ki Hajar Dewantoro untuk mencetuskan kembali penggunaan nama Indonesia pada Kongres Pemuda 1928 untuk dijadikan nama bagi tanah air Indonesia namun tetap menggunakan warisan nama lama yakni Nusantara.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Penggunaan nama Indonesia, bukan saja baru digemakan kembali saat Kongres Pemuda 1928. Jauh sebelum itu, kaum muda Pesantren telah menggunakannya dan telah menjadi nama resmi bagi Pesantren untuk menyebut tanah airnya. KH Wahab Chasbullah yang merupakan salah satu tokoh muda Pesantren kala itu dan juga sebagai salah satu pendiri Jam’iyyah Nahdlatul Ulama (NU) bersama KH Hasyim Asy’ari dan KH Bisri Sjansuri merupakan tokoh Pesantren yang telah lama menggunakan nama Indonesia dalam setiap pergerakannya.

Jauh sebelum Jam’iyyah Nahdlatul Ulama berdiri pada tahun 1926, beliau KH Wahab Chasbullah telah mendirikan Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Bangsa) pada tahun 1916, yang kemudian di dalamnya menampung aspirasi gerakan kaum muda dengan mendirikan Syubbanul Wathan (Pemuda Cinta Tanah Air) pada tahun 1924. Syubbanul Wathan inilah yang kemudian hari berubah nama menjadi Gerakan Pemuda Ansor (GP-ANSOR). Dalam setiap pertemuannya, mereka mengumandangkan sebuah lagu penyemangat berbahasa Arab yang dalam salah satu baris syairnya berbunyi; “Indonesia biladi, anta unwanul fakhoma” (Indonesia negeriku, engkau panji martabatku).

Mars Syubbanul Wathan (Yaa Lal Wathan) sejatinya bukan hanya milik Nahdlatul Ulama, namun menjadi milik seluruh bangsa Indonesia. Dilihat dari isi liriknya yang berisi ikrar keteguhan santri sebagai anak bangsa dalam membela negara, mars tersebut sekaligus membuktikan peran kaum santri-pesantren dalam membela negaranya. Hal tersebut menandakan bahwa kaum pesantren sudah sejak lama, bahkan sebelum kemerdekaan Indonesia telah menyerukan nasionalisme Indonesia kepada kaum muda di kalangan Santri-Pesantren maupun kepada masyarakat umum.

Nasionalisme (muwathonah) Pesantren

Semangat cinta tanah air melalui mars tersebut, menjadikan kaum Santri-Pesantren sangat kental jiwa nasionalismenya sejak lama. Pesantren secara aktif mengajarkan nasionalisme pada santri-santrinya untuk mencintai negara Indonesia. Pesantren kala itu menjadi pusat pergerakan kaum muda santri, selain sebagai tempat menimba ilmu agama dan berkhidmat pada ulama/kiai.

Pesantren sejak awal tidak hanya berfungsi sebagai tempat santri dan kiai/ulama berinteraksi dalam hal keilmuan semata. Pesantren juga menjadi tempat berinteraksi sosial kemasyarakatan. Pada era pergerakan nasional yang diprakarsai pemuda nasionalis pun, pesantren beserta santrinya turut berperan aktif, bahkan bisa dikatakan menjadi pencetus awal pergerakan di Indonesia pra-kemerdekaan.

Pergerakan para santri pesantren setidaknya dapat dilihat dari gerakan KH. Wahab Chasbullah sepulang beliau dari studi di Timur Tengah. Beliau mengumpulkan kawan-kawan sesama alumni untuk berkumpul dalam perkumpulan diskusi kajian rutin. Forum diskusi yang diberi nama Taswirul Afkar pada tahun 1914 itu yang kemudian menjadi embrio berdirinya Nahdlatul Ulama pada tahun 1926. KH Wahab Chasbullah benar-benar mewakili pergerakan santri pesantren, karena beliau adalah santri KH Hasyim Asy’ari.

Setelah aktivitas kelompok diskusi para santri dalam Taswirul Afkar terus berkembang dengan berbagai dinamika, berselang dua tahun kemudian KH Wahab Chasbullah memulai gerakan yang lebih besar dengan mendirikan Nahdlatul Wathan. Ini merupakan sebuah perguruan yang lebih seperti sekolah malam atau kursus. Nama yang dikenal kala itu adalah Perguruan Nahdlatul Wathan, yang merupakan pengembangan dari kelompok diskusi Taswirul Afkar.

Di dalam Nahdlatul Wathan, para pemuda memperoleh pembekalan-pembekalan dalam bidang ke-ilmuan agama dan juga nasionalisme. Dalam hal pembekalan nasionalisme santri dalam Nahdlatul Wathan, dibentuklah sebuah wadah kepemudaan yang menitikberatkan pada konsep-konsep kecintaan pada tanah air. Wadah kepemudaan tersebut diberi nama Syubbanul Wathan, yang memang berkonsentrasi pada pembekalan nasionalisme kaum muda pesantren.

Kepeloporan (qudwah) Pesantren di Indonesia

Peran pesantren, kiai dan santri dalam perjuangan fisik kemerdekaan sangatlah signifikan dan tidak bisa begitu saja dipandang sebelah mata. Mereka bukan saja orang-orang “bersarung” yang hanya mendalami perkara agama. Mereka adalah garda depan dalam pertempuran fisik yang terjadi di berbagai wilayah di tanah air.

Dalam catatan sejarah terbentuknya Laskar Hizbullah (Pasukan Allah) pada tahun 1943, para kiai dan santri pesantren telah mempersiapkan diri jauh-jauh hari untuk tujuan berperang menghadapi penjajah dalam makna perang yang sesungguhnya. Bukan lagi hanya melakukan dialog yang kerap merugikan pihak kita, namun sudah bersiap untuk bertarung jiwa raga demi kemerdekaan Indonesia. Dalam Laskar Hizbullah ini berisi para kiai pesantren yang terbilang “khos”. Tercatat nama-nama seperti KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Chasbullah, KH. Bisri Sjansuri, KH. Mas Mansur, KH. Ki Bagus Hadikusumo, KH. Abdul Kahar Mudzakkir, H. Agus Salim, KH. Ahmad Sanusi, KH Abdul Wahid Hasyim, KH. Muhammad Ilyas dan lain-lain (Najmuddin 2020).

Satu tahun setelah terbentuknya Laskar Hizbullah di Jakarta, pada tahun 1945 tepatnya dua hari sebelum pecah pertempuran heroik 10 November 1945 di Surabaya, terbentuk lagi sebuah kelompok pemuda bernama Laskar Sabilillah. Kedua kelompok laskar pemuda yang notabene berisi santri pesantren tersebut, menghadirkan bukti pada kita bahwa peran aktif kiai, santri dan pesantren sangatlah pantas untuk memperoleh apresiasi dan tidak bisa dilupakan begitu saja.

Peneguhan kembali eksistensi Laskar Hizbullah sebagai kelompok laskar besutan kiai pesantren yang di dalamnya berisi santri pesantren, kembali dilakukan pada 20 Oktober 1945. Munculnya Resolusi Jihad NU yang difatwakan oleh Rois Akbar Nahdlatul Ulama KH. Hasyim Asy’ari pada 19 dan 22 Oktober 1945 sangat berpengaruh pada proses mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Proses perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia serta mempertahankan kembali kemerdekaan, tidak lepas dari peran para santri pesantren sebagai pelopor. Tanpa mengesampingkan tugas utama mereka di pesantren, para santri secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan selalu intens melakukan persiapan-persiapan dalam mensikapi gejolak pergerakan pemuda untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan.

Kepeloporan pesantren dan santrinya dalam terbentuknya negara ini sangatlah jelas. Tonggak kemerdekaan Indonesia adalah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, yang dibacakan oleh seorang santri pesantren bernama Soekarno. Beliau adalah santri Pesantren Darul Funun el-Abbasiyah di Padang. Sebelumnya beliau juga menjadi santri Raden Mas Panji Sosrokartono di Bandung, menjadi santri KH. Abdul Mu’thi di Madiun, menjadi santri KH. Ahmad Basyari di Cianjur dan bahkan menjadi santri KH. Hasyim Asy’ari.

Dalam perumusan dasar negara yang kemudian menjadi “Piagam Jakarta”, ada peran santri pesantren yang menjadi pelopor di dalamnya. Tokoh-tokoh Pesantren seperti KH. Wahid Hasyim, KH. Agus Salim dan Abdul Kahar Mudzakir merupakan tokoh santri yang memberikan andil dalam perumusan tersebut. Begitu pula halnya pada pembentukan kabinet saat Perdana Menteri dipegang oleh Ali Sastroamijoyo. Tokoh santri pesantren KH. Zainul Arifin Pohan yang pernah menjadi Panglima Laskar Hizbullah ditunjuk sebagai Wakil Perdana Menteri.

Dalam perjalannya hingga saat ini, sejarah Indonesia mencatat banyak tokoh Pesantren dari kalangan santri maupun kiai yang sangat berjasa dalam pembentukan negara ini. Banyak dari kalangan pesantren yang kemudian menjadi pemimpin negara dan ditetapkan sebagai pahlawan nasional.

Maka pantaslah kiranya, negara memberi apresiasi kepada pesantren dan santri atas dedikasi nasionalisme (muwathonah) yang membentuk rasa cinta tanah air dan kepeloporan (qudwah) santri pesantren dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Hari Santri Nasional 22 Oktober setiap tahunnya, adalah hadiah yang cukup mewakili perjuangan para santri pesantren. Bukan penghargaan dan pengakuan yang diniatkan santri pesantren dalam berkiprah di negara ini. Peran santri pesantren di negara ini semata-mata adalah bentuk khidmat santri pesantren kepada tanah airnya dan khidmat santri pesantren kepada agamanya.


*Alumni Pesantren Tebuireng