YAI KA’ MEMAKNAI “ISTANA”–NYA

Seperti biasa, secara berkala saya bersama almarhum Mansur, Abdul Munir dan Asy’ari sowan ke “istana” Yai Ka’. Se-petak kamar yang mungil, penuh sesak al-kutub al-shafra’ atau kitab kuning, terhampar pula kasur tipis sebagai alas rehat dan rebahan Yai Ka’
Kendati begitu sempit, namun di Kawah Condrodimuko beliau semua seisi kamar tertata rapi dan ruangannya begitu bersih.

Mansur termasuk santri Yai Ka’ yang begitu rajin mengabarkan santri beliau yang sukses meraih strata soal yang terhormat, sukses melanjutkan studi dan sukses selaku pengusaha. Sembari meluncur ucapan hamdalah dan tersenyum puas dari tangannya telah lahir santri santri yang berhasil eksis di tengah tengah masyarakat, tak tersembul sedikitpun rasa “bagaimana bagaimana”. Solah Yai Ka’ memiliki tafsir tersendiri ihwal kesuksesan itu.

Makanya, tak terbersit sedikit pun raut wajah “jealousy” atau kecemburuan kepada keberhasilan orang lain, apalagi santrinya sendiri. Pastilah, Yai Ka’ mampu membangun rumah megah dan perabot yang wah, namun di sinilah beliau selalu teringat kisah Umar yang menangis iba menyaksikan Nabi terbangun dari tidurnya dan terlihat begitu mencolok lekuk bekas alas tikar pelepah kurma di pipi Nabi. Padahal, betapa mewahnya istana raja Romawi dan Persia. Seperti Ibnu Mas’ud bercerita :

نام رسول الله صلی الله عليه وسلم علی حصير فقام وقد اثر فی جنبه ، فقلنا يارسول الله لواتخذنا لك وطاء. فقال : “مالي وللدنبا، ماانا فی الدنیا الاكراكب، استظل تحت شجرة، ثم وتركها”

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

“Nabi tidur di atas tikar. Ketika bangun, tampak di tubuhnya bekas cetakan tikar. Aku bilang :”Nabi, bolehkah kami ambilkan kasur untukmu ?”. Nabi mengatakan :”Apalah artinya aku dan kehidupan di dunia ini. Di sini aku hanyalah bagai penunggang unta yang bernaung sementara di bawah pohon. Sesudah itu berangkat lagi dan meninggalkan tempat itu”

Atau menarik pula menyertakan kisah Nidzam al-Mahmudi untuk memahami Yai Ka’ dan pilihan istana Kawah Condrodimukonya. Penganut tasawuf ini kaya raya, meski justru karyawan karyawannya yang lebih makmur. Memilih hidup dengan menempati gubuk kecil di dusun yang terpencil. Salah seorang putranya bertanya kepada Nidzam al-Mahmudi, “Mengapa ayah tak membangun rumah yang besar lagi indah, padahal ayah mampu ?”.

Jawab al-Mahmudi, seberapa besar rumah kita, yang kita butuhkan hanyak tempat untuk duduk dan berbaring. Apalagi, rumah besar acapkali menjadi penjara bagi penghuninya. Nah, melalui benang merah keteladanan itulah tersambung dengan nalar, sikap dan pilihan Yai Ka’ terhadap “istana”–nya.

(Catatan:  H. Cholidy Ibhar santri Tebuireng angkatan 1970-1980. Kini menjadi Dosen di IAINU dan Direktur Local Govermen Reseach dan Consulting, tinggal di Kebumen Jawa Tengah)