Bagi Yai Ka’ HP itu bukan primer
“Niki yai pun tersambung kaleh, mas Cholidy”, begitu saya dengar artikulasi yang sangat jelas dari suara santri di sebelah Yai Ka’ sembari menyerahkan HP-nya kepada beliau. Terjadilah komunikasi kiai-santri yang cukup lama. Seperti biasanya, saya yang mesti banyak memancing respon Yai Ka’. Jika tidak, pasti komunikasi tak mengalir, karena beliau demikian hematnya dalam bertutur.
Betapa berartinya HP, namun beliau tak memilikinya. Sebagai produk teknologi lainnya, tak terkecuali HP-pun memang bidimensional : ya positif, ya negatif. Lagi lagi, terpulang kepada the man behind te gun-nya. Bergantung si pemakainya. Apalagi, lewat aplikasi dan fiturnya yang kian canggih, bagi pengajar dan santri begitu berarti.
Melalui “Maktabah Syamilah”, tak perlu lagi menderet kitab bermeter meter dan menentengnya begitu berat ke tempat mengajar, berhalaqah dan bahts al-masail. Dengan postur gadget yang minimalis, dalam berbagai posisi bisa muthala’ah kitab dan dipermudah dalam mencari teks hadits, ayat dan ta’bir turats di berbagai kitab.
Kiai kiai, terlebih yang muda muda, berpeluk begitu mesra dengan komputer, laptop, tablet. Bila HP tak cukup cuma satu di disakunya, dengan pertimbangan ini dan itu. Bahkan yang dipelosokpun sudah demikian akrab menyanding produk teknologi itu. Belum lagi, silaturrahim bisa diperpendek jaraknya, kapanpun dan di manapun dengan mudah membuhul komunikasi. Lho, kok Yai Ka’ bergeming dan tak merasa perlu mengantongi HP ? Paling enak menjawabnya, itulah “sir Yai Ka'”. Yang tak mungkin semua sikapnya bisa dirasionalisasikan secara memuaskan. Belum lagi, memang beliau ingin menyimpan sendiri sikapnya.
Bagi Yai Ka’, mungkin ada argumen prinsip kemanfaatan versi beliau sendiri. Kendati, dengan berbagai bagai sisi negatif yang kian marak berseliweran di medsos dan demikian canggihnya menyelinap di akun siapapun, menjadi mengerti pula mengapa ada yang enggan ikutan dengan khalayak. Pun HP yang berprogram kontak-dikontak plus sms-an cukup berisik disibuki oleh rupa rupa penipuan. Justru, boleh jadi tak menjadi kebutuhan primer Apalagi, jika penggunaannya cuma sekedar berkomunikasi vis a vis biasa, ya tentu tak terlalu membutuhkan HP.
Hanya saja, mungkin Yai Ka’ kerapkali memergoki pengguna HP-mania, termasuk santri. Waktu banyak terbuang percuma, larut tersihir oleh magnet-nya. Hingga di desa tak urung terkena pengaruhnya pula. Biasanya sembari menuggu muadzin mengumandangkan “iqamat” bergema senandung puji-pujian dan shalawat, belakangan waktu terisi oleh baik tua maupun muda sibuk ber-HP ria. Bahkan, tak jarang saat shalat HP berdering dengan nada panggil dangdutan. Yang paling menyedihkan, hubungan antar manusia menjadi sangat impersonal, non fisik dan artifial. Walau tentu, kembali terpulang masing masing : apakah HP itu termasuk primer [dharuriyah], sekunder [tahsiniyah] atau tersier [tazyiniyah]. Bagi Yai Ka’, rupanya HP itu bukan kebutuhan primer.
(Catatan: H. Cholidy Ibhar santri Tebuireng angkatan 1970-1980. Kini menjadi Dosen di IAINU dan Direktur Local Govermen Reseach dan Consulting, tinggal di Kebumen Jawa Tengah)