MENELADANI KEBERAGAMAAN YAI KA’
Hening, syahdu dan sarat oleh teladan ajakan memulai dari diri sendiri. Bertabur wangi tadharru’, takhasyu’ dan ta’abbud dalam perilaku keagamaan Yai Ka’. Sepanjang 6 tahun berjarak begitu dekat, rasanya tak pernah menemui Yai Ka’ memasuki riuh rendahnya ghibah, fitnah dan ghibah. Apalagi, terlibat dan asyik masyuk larut ke dalamnya. Yang bagi orang lain, justru bergunjing, menebar fitnah dan menabur ghibah adalah etalase dan aksesoris pribadi yang begitu mudah dijumpai di mana mana.
Sangat paralel–simak Khalid Muhammad Kalid, “Rijal Haul al-Rasul”–dengan yang pernah dinarasikan Muadz ibn Jabal ihwal sahabat Sa’ad ibn Abi Waqqas yang disebut Nabi secara eksplisit “ahli surga”. Sahabat Muadz menginvestigasi hingga menginap berhari hari di rumah Saad untuk mengetahui amal ibadah beliau sehari-hari yang menjadi maziyahnya sehingga Nabi mendikler di hadapan sahabat Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali yang tengah berhalaqah pada waktu itu bahwa sahabat Saad adalah “min ahli al-jannah”. Ternyata, Muadz tak menjumpai kelebihan apa apa dari sahabat Sa’ad, standard saja amaliyahnya.
Merasa penasaran, Muadz mengajak berbicara dari hati ke hati sembari bertanya amaliyah andalannya. Dengan mengulum senyum Sa’ad bercerita bahwa dirinya menjauh dari : menyakiti orang lain, amarah dan selalu memaafkan. Tiga laku inilah yang kemudian Nabi menunjuk Sa’ad sebagai ahli surga.
Rupanya, itulah benang merahnya keberagamaan Yai Ka’ yang sejuk, “mempribadi” dan tak menggelegak dengan formalisme ini dan itu. Yai Ka’ menghindari perdebatan fiqh yang bertabur ikhtilaf dan memilih menjalani sesuai pemahaman yang dirujuknya dari kitab klasik karya al-salaf al-shalih. Tak pernah berhitung beliau lebih baik dari orang lain, meski santri santrinya yang justru beranggapan Yai Ka’ itu bukan kiai biasa. Allah a’lam bi al-shawab. * (Catatan: H. Cholidy Ibhar santri Tebuireng angkatan 1970-1980. Kini menjadi Dosen di IAINU dan Direktur Local Govermen Reseach dan Consulting, tinggal di Kebumen Jawa Tengah)