YAI KA’ : BUKAN KIAI BIASA
Semua persyaratan yang bisa menyangga ke tahta sosial yang menjulang melekat pada diri Yai Ka’. Beliau tak perlu bersusah payah melakukan kapitalisasi untuk melenggang meraih derajat yang tinggi. Kedudukan menggiurkar yang bagi khalayak sangat mendambakan, everything is running well bila Yai Ka’ menghendakinya. Tak perlu melamar, tertatih tatih berjalan dan merengek rengek meraih jabatan kalau beliau tertarik mendapatkannya. Yai Ka’, dengan filter sufistik, zuhud dan wara’–nya, mampu mengusir goda-godaan materialisme, pragmatisme dan hedonisme.
Beliau demikian piawai mendamaikan tarikan pendulum yang duniawi dan ukhrawi. Yai Ka” sangat cerdik mendesign lakunya agar tak terpelanting ke dalam ajakan William Jame yang sangat digandrungi oleh penghuni negeri ini. Beliau tak mengenal, apalagi merajuk dan meminta shadaqah politik yang lazim disorong sorongkan oleh politisi. Terasa begitu kuat juga pengaruh Al-Hikam–nya Ibn Atha’illah.
Profil kezuhudan Yai Ka’ serupa dengan yang digambarkan Imam Ahmad ibn Hambal, “Al-Zahid man la yafrah idza zadat al-dunya wa la yahzan idza naqashat”. Zahid adalah orang yang tidak merasa senang manakala diberi rizki lebih dan tidak merasa susah sekiranya berkurang. Itu yang bertaut duniawiyah. Belum lagi sikap bagaimana Yai Ka’ memandang dan relasinya dengan orang lain, yang demikian kencang aroma wangi humanisme sufistik dan egalitariannya.
Cukuplah bagi Yai Ka’ berteduh dan berproses membangun pribadinya yang kokoh di kamar Condrodimuko–nya. Itu melebihi tinggal di rumah mana–pun. Bagi Yai Ka’ tak penting di dunia ini berumah bak istana yang serba mewah berikut asisten yang 24 jam siap melayani. Kebahagiaan tak bernilai menurut beliau, tidur beralas kasur yang tipis, bertembok kitab karya ulama al-salaf al-shalih, berteman radio Panasonic dan National, bermain sepakbola dengan santri santri kesayangannya. “Dan, kebahagian akhirat yang lebih baik dan abadi”, firmanNya.
Ya, Yai Ka’ bukan kiai yang biasa. Lebih lebih, predikat ini tengah mengalami desakralisasi yang luar biasa, lantaran diobral murah dan yang sejatinya tak laik menyandangnyapun kini rame rame ditahbiskan sebagai kiai. Masih ingat kemenag ketika hendak berinisiasi mekakukan sertifikasi kiai yang polemis itu ? Padahal, terselip maksud yang baik agar ada parameter yang layak berpredikat kiai itu. Allah a’lam bi al-shawab.
(Catatan: H. Cholidy Ibhar santri Tebuireng angkatan 1970-1980. Kini menjadi Dosen di IAINU dan Direktur Local Govermen Reseach dan Consulting, tinggal di Kebumen Jawa Tengah)